Terorisme
dan Agenda Presiden Mendatang
Oleh:
Hasibullah Satrawi
HINGGA
saat ini, para calon presiden (capres) dan segenap kekuatan politik yang
mendukungnya lebih tertarik membahas upaya-upaya politik untuk memenangkan
pemilihan presiden (pilpres) yang sudah di depan mata. Apa yang akan mereka
lakukan bilamana menjadi presiden kelak? Pertanyaan itu hampir tak terbahas.
Intensitas pembahasan program kerja presiden mendatang tampak kalah jauh jika
dibandingkan dengan pembahasan figur cawapres dan koalisi.
Sejatinya
para capres mulai memperkenalkan program-program kerja kepada khalayak luas.
Semakin awal program kerja dikenalkan kepada publik akan semakin baik, hingga masyarakat
mendapatkan gambaran program para capres secara utuh dan menyeluruh. Di antara
program kerja yang mendesak disampaikan kepada publik ialah terkait dengan
upaya membangun Indonesia damai, khususnya dari ancaman terorisme dan kekerasan
ekstremis. Hal itu sangat penting mengingat terorisme masih menjadi persoalan
serius bagi bangsa ini.
Tidak
lama ini, contohnya, Densus 88 kembali menangkap pihak-pihak yang diduga
terkait dengan jaringan terorisme di banyak daerah, seperti di Klaten, Jawa
tengah (15/5), di Indramayu, Jawa Barat (12/5), dan Lamongan, Jawa Timur
(13/5). Semua itu menunjukkan bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi
segenap masyarakat.
Balas
dendam teroris
Setidaknya
ada empat agenda utama bagi presiden terpilih ke depan terkait dengan persoalan
terorisme. Pertama, pola serangan kelompok teroris terhadap aparat keamanan.
Perubahan pola serangan terhadap aparat keamanan menunjukkan bahwa terorisme di
negeri ini masih jauh dari kata selesai. Alih-alih, aparat keamanan yang kerap
berhasil menangkap dan menembak mati para tokoh utama terorisme di negeri ini
justru menjadi target balas dendam mereka dalam beberapa waktu terakhir.
Semua itu
menunjukkan bahwa pemberantasan terorisme melalui pendekatan keamanan dan
senjata tidaklah memadai untuk menyelesaikan persoalan terorisme hingga ke
akar-akarnya mengingat banyak akar masalah terorisme yang tak dapat
diselesaikan dengan pendekatan senjata, seperti pembenaran secara teologis,
persoalan ketidakadilan global, kemiskinan, atau bahkan persoalan keluarga.
Di
hadapan akar-akar persoalan seperti di atas, pendekatan senjata tak jarang
justru membuat jaringan terorisme lebih kuat, persis seperti film-film
Terminator yang menampilkan sosok terbuat dari timah; semakin ditembak sosok tersebut
justru semakin kuat.
Pada
beberapa bagian, pendekatan senjata yang selama ini digunakan untuk
‘membersihkan’ Republik dari jaringan terorisme mengalami kondisi seperti dalam
cerita film Terminator di atas. Alih-alih menyelesaikan terorisme, pendekatan
senjata justru menimbulkan semangat balas dendam di kalangan para teroris
terhadap aparat keamanan dengan semangat mati satu tumbuh seribu.
Regenerasi
muda
Inilah
agenda kedua dalam upaya menghadapi persoalan terorisme, yaitu persoalan
regenerasi kelompok teroris. Apalagi regenerasi jaringan terorisme belakangan
justru membidik anak-anak muda yang sejatinya akan menjadi pemangku masa depan
bangsa. Berdasarkan pengalaman penulis mengisi banyak acara di kalangan
anak-anak muda, tidaklah susah menemukan pikiran-pikiran bercorak radikal
seperti keyakinan kelompok teroris ataupun kelompok radikal secara umum yang
anti terhadap Pancasila, anti-NKRI, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam
perjuangan keagamaan dan yang lainnya.
Hal yang
harus ditegaskan ialah bahwa anak-anak muda yang terjerumus ke jaringan
terorisme sesungguhnya hanyalah korban. Mereka ialah korban dari jaringan
terorisme yang kerap mengincar mereka untuk dijadikan sebagai generasi penerus.
Mereka ialah korban dari para orangtua yang sibuk dengan urusan karier sembari
menyerahkan masa depan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah.
Mereka
korban dari para guru yang sejatinya juga menjadi sahabat, tak sekadar mengajar
dan menghukum mereka. Mereka juga korban dari sistem pendidikan kita yang gagal
membangun semangat kebangsaan di kalangan anak-anak itu.
Oleh
karenanya, anak-anak muda yang terlibat jaringan terorisme ataupun kelompok
radikal tidak sepantasnya dijadikan sebagai pihak ‘tertuduh’ dalam persoalan
terorisme. Sebaliknya, semua pihak sejatinya berempati, merangkul, dan
mengembalikan mereka ke pelukan Ibu Pertiwi.
Penanganan
korban
Ketiga,
penanganan korban terorisme. Berdasar pengalaman program-program pendampingan
yang dilakukan Aliansi Indonesia Damai (Aida) terhadap para korban, penanganan
korban terorisme sangat tidak maksimal. Hal itu berlaku dari hulu sampai hilir.
Di
tingkat hulu, contohnya, banyak korban kerap bercerita tentang kelambanan
pemerintah dalam menangani korban terorisme pascaterjadinya sebuah aksi
terorisme. Sebagian dari mereka harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan
penanganan medis karena lambatnya jaminan dari pemerintah.
Sementara
itu, di tingkat hilir, persoalannya justru lebih ironis lagi. Program-program
pencegahan terorisme, contohnya, lebih memberikan peran kepada aparat, pejabat,
pengamat, atau mantan pelaku terorisme. Hal itu bisa dilihat dari pelbagai
macam program pencegahan terorisme, baik yang dilakukan pemerintah ataupun
swasta, termasuk di dalamnya media. Sangatlah jarang media menampilkan
perspektif para korban. Justru yang kerap hadir ialah perspektif pengamat,
aparat, pejabat, atau mantan pelaku terorisme.
Padahal,
secara teori, sejatinya perspektif korban harus dikedepankan (setidaknya
sejajar) jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif ‘tak langsung’ seperti
di atas. Hal itu terjadi karena korbanlah yang mengalami, merasakan, dan
benar-benar mengetahui dampak kejahatan terorisme. Korban ialah cermin besar
kejahatan terorisme. Siapa pun yang ingin mengetahui kejahatan terorisme,
sejatinya melalui perspektif para korban.
Dengan
semua keterbatasan yang ada, selama ini Aida memberikan peran kepada para
korban bom melalui program-program pemberdayaan dan pendampingan. Hal itu
dilakukan mengingat tidak semua korban siap mengambil peranan dalam upaya
membangun Indonesia damai yang jauh dari persoalan kekerasan bersifat
ekstremis, baik karena faktor psikis ataupun latar belakang sosial yang
berbeda-beda. Padahal, semua korban terorisme mempunyai pengalaman yang unik
dan sangat berharga bagi upaya membangun Indonesia damai.
Oleh
karenanya, sejatinya presiden terpilih memberikan perhatian yang besar terhadap
para korban terorisme ke depan, baik terkait biaya pengobatan dan
bantuan-bantuan lainnya ataupun dalam konteks upaya menghadapi persoalan
terorisme. Hingga upaya menghadapi persoalan terorisme berjalan secara lebih
sejati dan komprehensif.
Keempat,
dukungan secara struktural. Diakui atau tidak, upaya pemberantasan terorisme
selama ini masih bersifat setengah hati. Hal itu bisa dilihat dari dukungan
struktural yang kurang memadai. Apa yang dialami para korban bisa dijadikan
sebagai contoh dari kurangnya dukungan struktural dalam upaya menghadapi
persoalan terorisme. Setahu penulis, tidak ada peraturan apa pun dari
pemerintah yang bisa dijadikan sebagai pegangan khusus manakala terjadi aksi terorisme,
khususnya untuk penanganan para korban terorisme secara medis pada masa-masa
darurat.
Padahal,
dengan belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, adanya peraturan seperti itu
sangat dibutuhkan. Setidaknya untuk memastikan para korban langsung mendapatkan
penanganan secara medis, tanpa menunggu hal-hal yang bersifat birokratis.
Inilah agenda penting bagi presiden terpilih mendatang dan sejatinya dijelaskan
oleh para calon presiden dan wakil presiden sedini mungkin. Sangat disayangkan
karena agenda penting seperti ini justru acap terlupakan di tengah ingar-bingar
pembahasan tentang koalisi, cawapres, dan seterusnya. []
MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2014
Hasibullah Satrawi ; Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA)
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar