Teka Teki
Satrio Piningit
Oleh:
Mohamad Sobary
Sebuah
media di Jawa Tengah mengangkat isu Satrio Piningit. Saya ditanya, kenapa dalam
dunia modern yang sudah demikian rasional, kita masih percaya pada gagasan
Satrio Piningit?
Mungkin
sebabnya, di dunia modern yang disebut sudah demikian rasional ini pun, hidup
kita—juga di dunia politik—sangat sering tidak rasional. Tidak jarang kita berhadapan
dengan yang serba-“tidak ideal”. Kita mau memilih tokoh, misalnya, tapi yang
mau dipilih itu tidak ada.
Kita
“dipaksa” memilih stok lama yang sejak dulu tidak kita pilih. Kita
menghindarinya karena bayangan kita mengenai “yang ideal” itu tak terpenuhi.
Kita lalu
merasa skeptis. Kemudian perasaan tanpa semangat, serba-apatis, dan tak ingin
terlibat dalam politik, meluas. Kita bicara mengenai “golput”, atau sikap tak
peduli yang menjengkelkan.
Orang—sampai
saat ini—masih juga bertanya, kita akan memilih siapa. Ketika dijawab, memilih
yang terbaik, keresahan selanjutnya muncul, “yang terbaik” itu tidak ada.
Politik lalu berhadapan dengan sejenis jalan buntu.
Ketika
para pemimpin di Jakarta, yang masing-masing memiliki kepentingan politiknya
sendiri, berpendapat seorang perempuan, tak peduli partainya menang, tak boleh
menjadi pemimpin, arti praktisnya tak boleh menjadi presiden, jalan politik pun
betul-betul buntu.
Mereka
berakrobat. Tiap pihak merasa dirinya yang pantas menjadi presiden. Tapi entah
bagaimana, saat itu posisi tersebut ditawarkan pada Gus Dur, dan ia pun menjadi
presiden.
Sekali
lagi, di dunia modern, yang sudah demikian rasional ini, orang-orang pandai
yang disebut tokoh-tokoh masyarakat, melakukan tindakan tidak rasional. Apa
gunanya pemilihan umum kalau pemenangnya tak boleh menjadi presiden? Bukankah
ini berarti pemenang tak boleh menjadi pemenang karena ia seorang perempuan?
Kalau
dirumuskan dengan akal yang logis, lurus, dan apa adanya, berarti seorang
perempuan tidak boleh menang. Kalau dalam kontes politik terbuka ia ternyata
menang, kemenangannya dibatalkan. Pembatalan ini wajib hukumnya.
Siapa di
antara tokoh-tokoh itu—yang punya ambisi politik sendiri—yang bisa dianggap
paling bertanggung jawab? Amien Rais merumuskan apa yang disebut “poros
tengah”, pencari jalan keluar, pada hakikatnya sama dengan yang lain. Itu
karena bayangannya, jalan keluar hendaknya memihak dirinya. Namun, ketika Gus
Dur menerima tawaran tanpa berpikir panjang, ambisi para tokoh pun lenyap.
Serasional-rasionalnya
dunia politik modern, yang sudah menempuh cara memilih pemimpin dengan “pemilu”
dan menggunakan prinsip rasional, yang diterima semua pihak: one man one vote,
kenyataannya diperlukan sebuah poros yang dicari-cari. Politik rasional pun
masih tidak rasional.
“Kartu
Langit”
Dalam
politik rasional yang tidak rasional ini, apa salahnya muncul campur tangan
dari dunia mitologi, yang bicara tentang Satrio Piningit tadi? Dalam logika
macam ini, bisa juga disebutkan Satrio Piningit itu “kartu langit” yang
dimainkan diam-diam.
Tokoh
yang disebut “kartu langit” ini bisa siapa saja. Kita boleh menyebut siapa saja
nama yang mana pun juga, sejauh penjelasan kita masuk akal. Nama yang piningit,
artinya yang dipingit, jelas bukan nama-nama yang sudah lama kita ketahui
sebagai calon presiden.
Mari kita
sebut semua nama yang dianggap potensial oleh partai mereka, atau oleh
masyarakat pendukung mereka masing-masing. Semua nama boleh disebut, disertai
rangkaian prestasinya, sikap politiknya, garis perjuangan politiknya, juga
idealisme yang hendak diperjuangkannya.
Kalau
dikatakan “semua nama”, berarti nama siapa pun boleh disebutkan dan boleh dianggap
dialah yang Satrio Piningit tadi. Dengan ukuran-ukuran rasional tertentu, serta
dengan subjektivitas yang tak disembunyikan, saya menyebutkan di sini nama
Jokowi.
Saya
bukan anggota tim suksesnya, bukan teman ngopinya, dan bukan bagian apa pun yang
berseliweran di sekitarnya beberapa jam sehari. Saya berada di jarak yang jauh.
Meskipun begitu, bagi saya tampaknya Jokowi yang disebut “kartu” yang dimainkan
kekuatan-kekuatan langit secara rahasia.
Ia
“dimainkan” dengan baik di Solo dan menyandang sukses di luar dugaan. Belum
selesai tugasnya di sana, ia “dimainkan” lagi di Jakarta, dengan cara yang
begitu elegan meskipun agak kurang pantas. Kurang pantas karena tugasnya di
Solo belum selesai, dan kurang pantas—maaf, penampilannya yang tak meyakinkan
bagi orang-orang Jakarta. Namun, “kartu” ini menang dengan gemilang di Jakarta.
Soal
pro-kontra mungkin lumrah dan biasa terjadi di dunia politik. Main bola tingkat
kampung saja bisa menimbulkan pro-kontra. Apalagi, mungkin secara pribadi
Jokowi tak tertarik dunia politik, dan karena itu mungkin tak berambisi untuk
bermain di wilayah politik.
Fenomena
ini mungkin malah bisa menjadi penjelasan yang bagus, bahwa ia sekadar “kartu”
yang dimainkan kekuatan-kekuatan langit tadi. Sekarang ia menjadi calon
presiden, berhadapan dengan tokoh Jakarta yang gagah-gagah, hebat-hebat, semua
serbamentereng, serbaberpengalaman, dan punya postur paling “josss” untuk duduk
di Istana Negara. Ini tentu saja dengan catatan, yang seperti itulah yang
didambakan rakyat.
Kalau
rakyat membutuhkan tampah “ndeso” yang sangat sederhana, bagaimana? Mungkin ini
bisa membuat banyak kalangan jengkel. Namun, adakah pemilu di dunia ini yang
betul-betul rasional, serta semua pemilih membuat keputusan memilih hanya
sepenuhnya rasional? Ini masalahnya.
Sekali
lagi, “kartu” ini dimainkan kekuatan-kekuatan langit dengan penuh keyakinan.
“Langit” menjadikannya seorang Satrio Piningit, artinya “jago” yang siap
bertarung di medan laga yang keras sekalipun.
Satrio
Piningit memang serbapenuh rahasia dan kelihatan tidak cocok menurut ukuran
biasa. Tapi “langit” sering punya rencana dan takdir tersendiri yang tak masuk
akal bagi kita. Hidup memang sering tak masuk akal. []
SINAR
HARAPAN, 21 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar