Memutihkan
Korupsi
Oleh: Moh
Mahfud MD
Ada fakta
yang menggidikkan yang tampaknya membuat kita hampir frustrasi, yakni korupsi
bukan hanya tidak bisa diberantas, melainkan semakin menggila dan meluas. Kalau
dulu korupsi terjadi pada tingkat implementasi APBN dalam bentuk proyek-proyek,
sekarang korupsi terjadi sejak penyusunan rancangan APBN.
Oknum
pemerintah dan anggota DPR bekerja sama melakukan korupsi saat pembahasan
Rancangan UU-APBN. Sudah banyak yang dijatuhi hukuman dan sedang diproses dalam
kasus ini. Kalau dulu pada umumnya korupsi dengan miliaran atau ratusan juta
rupiah sudah sangat menghebohkan, sekarang ini korupsi yang menghebohkan hanya
korupsi yang mencapai ratusan miliar dan triliunan. Korupsi miliaran atau
ratusan juta sudah dianggap berita biasa dan kita bersikap permisif atasnya.
Kalau
dulu korupsi dilakukan secara kolutif oleh pengusaha hitam dan pejabat- pejabat
pemerintahan (eksekutif), sekarang ini korupsi sudah dilakukan secara hampir
merata oleh para pejabat di lingkungan legislatif, yudikatif, tingkat pusat,
dan daerah. Semakin banyak kita meributkan korupsi, semakin banyak pula korupsi
terjadi. Hampir tak ada lini kecil pun di negeri ini yang bebas korupsi.
Eksekutif degan segala birokrasinya busuk, legislatif sangat kotor, yudikatif
belepotan mafia. Kita sudah membuat berbagai UU yang mengatur secara lebih
keras upaya memerangi korupsi tetapi korupsi terus mengganas.
Secara
kelembagaan, kita sudah membentuk lembagalembaga baru seperti Komisi Yudisial,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi korupsi semakin
menggurita dan semakinkencangmembelitleher- leherkita. Salah satu masalah utama
yang kita hadapi dalam upaya pemberantasan korupsi ini adalah penyanderaan oleh
kasus-kasus masa lalu, yakni kasus korupsi peninggalan Orde Baru yang masih
membelit kita. Tepatnya, kita tersandera oleh kasus-kasus dan orang-orang masa
lalu sehingga kita tidak bisa bergerak maju.
Kita
terjebak ke dalam benang kusut korupsi yang tak jelas ujung dan pangkalnya.
Ketika melakukan reformasi pada tahun 1998, kita bertekad memerangi korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), tetapi kita tidak berani memutus hubungan dengan
”kasus dan orangorang” korupsi pada masa lalu. Orang-orang yang diberi tugas
memerangi korupsi adalah juga orang-orang yang pernah terjerat korupsi pada zaman
Orde Baru. Akibatnya, korupsi tak terselesaikan karena ketika pejabat-pejabat
itu akan menyelesaikan korupsi mereka pun terancam oleh korupsi-korupsinya
sendiri. Celakanya, banyak sekali pejabat yang kemudian tetap menjadi pejabat
dengan cara koruptif dan kolutif pula.
Banyak
orang menjadi pejabat karena menyuap sehingga sesudah menjadi pejabat bukan
memerangi korupsi, melainkan membuat korupsi-korupsi baru. Terasa sekali, kita
tersandera oleh korupsi-korupsi dan koruptor masa lalu maupun korupsi dan koruptor-koruptor
baru yang masih bercokol di berbagi institusi kenegaraan atau pemerintahan
kita. Saat kita akan membongkar kasus korupsi kerap muncul hambatan, misalnya,
yang terancam terkena tindakan mengungkit- ungkit kasus lama supaya dibongkar
lebih dulu. Bisa juga pejabat yang harus menegakkan hukum atas kasus korupsi
justru menghambat karena dirinya sendiri adalah bagian dari korupsi itu.
Jadi,
kita seperti tersandera dan terjebak dalam situasi maju tak bisa, mundur tak
mungkin. Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Jawabannya, putuskan
hubungan dengan korupsi masa lalu. Kita harus mengakhiri penaganan kasuskasus
lama itu secepatnya agar bisa memulai dengan langkahlangkah baru. Kalau
begini-begini terus, bergerak tanpa kemajuan, berarti kita sedang membiarkan
negara ini menuju kehancurannya karena digerogoti oleh korupsi-korupsi yang
terus berkembang biak secara ganas. Belajar dari pengalaman negara-negara lain,
seperti sering saya kemukakan di berbagai forum, ada dua pilihan kebijakan
untuk memutus hubungan dengan masa lalu agar kita bisa memulai langkah-langkah
baru.
Pertama ,
larangan menduduki jabatan publik melalui lustration policy (kebijakan
lustrasi) bagi kelompok orang tertentu; Kedua , pemutihan kesalahan masa lalu
(national pardon), tetapi diancam dengan hukuman sangat berat jika melakukan
korupsi setelah pemutihan. Melalui kebijakan lustrasi, kita bisa membuat
undangundang yang melarang orangorang tertentu yang terlibat dalam politik dan
pemerintahan masa lalu untuk menduduki jabatan publik. Misalnya ada yang
dilarang menduduki jabatan politik dan pemerintahan untuk selamanya atau untuk
waktu tertentu, bergantung pada tingkat kesalahan dan posisinya di masa lalu.
Sangat
mungkin kebijakan lustrasi sulit dilakukan karena UU-nya memerlukan persetujuan
dari orang-orang yang akan terkena lustrasi itu. Oleh sebab itu, ada pilihan
kedua yakni pemutihan. Dengan pemutihan dimaksudkan bahwa korupsikorupsi masa
lalu dinyatakan ditutup tanpa pengadilan karena diampuni atau diputihkan. Sang koruptor
diberi pengampunan dengan keleluasaan, boleh mengembalikan atau tidak
mengembalikan hartaharta hasil korupsinya.
Setelah
itu, terhitung hari diundangkannya pemutihan itu, jika yang bersangkutan
melakukan korupsi bisa dijatuhi hukuman terberat, termasuk hukuman mati seperti
di China. Pemutihan seperti ini bisa juga diterapkan pada kasus-kasus
pelanggaran HAM di masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Nelson Mandela di
Afrika Selatan melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi. Kita
harus bergerak maju untuk membangun Indonesia baru. Tak bisa kita selalu dalam
posisi terkunci di jalan buntu seperti sekarang ini. []
KOMPAS,
17 Mei 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar