Darurat
Terorisme
Oleh:
Said Aqil Siradj
MUSIM darurat
telah tiba. Derasnya berbagai persoalan yang menggerojok seakan telah
menobatkan negeri kita sebagai ”negeri darurat”.
Ada
darurat bencana, darurat kemacetan dan banjir, darurat korupsi, darurat
kekerasan dan intoleransi, darurat kejahatan seksual, dan sekarang ada darurat
terorisme. Ungkapan darurat terorisme muncul kembali setelah belum lama ini
terbit buku bertajuk Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan
Deradikalisasi” yang ditulis oleh Mayjen Agus Surya Bakti, Deputi I Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme.
Pertanyaan
pun layak dilayangkan, benarkah negeri kita berada dalam situasi darurat
terorisme? Ini setidaknya memercikkan aroma ”horor” setara mencekamnya dengan
situasi saat masyarakat dikagetkan oleh kasus kejahatan paedofilia yang terjadi
belakangan ini. Kasus sekolah internasional di Jakarta dan kasus seorang
tersangka yang telah melakukan aksi paedofilia terhadap ratusan anak membuat
masyarakat tercekam rasa was-was.
Horor
yang mengintai
Seusai
hiruk pikuk pemilu legislatif dan saat ini masyarakat tengah menanti Pemilihan
Presiden 9 Juli mendatang, hawa panas terus menyengat. Berbagai siasat demi
memenangkan ”presiden pilihan rakyat” terus digerakkan. Sampai-sampai kampanye
hitam saling bersahutan memekakkan keheningan sosial.
Di balik
gemerlap dan riuh pemilu, diam-diam aparat kepolisian melalui Densus 88
menangkap tiga terduga teroris di Klaten, Jawa Tengah. Aksi berlanjut dengan
penangkapan Ramuji, anggota kelompok Santoso-Eka yang beraksi di Poso. Mereka
ini diduga akan menggelar amaliyah bom bunuh diri bertepatan dengan
penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014. Polisi juga menangkap terduga teroris
Galih Satria di Desa Wonocoyo, Trenggalek, Jawa Timur. Penangkapan juga
dilakukan terhadap dua terduga teroris di Nusa Tenggara Barat yang diduga
merupakan sel baru. Perburuan kawanan teroris Poso, terutama Santoso, masih
berlangsung.
Seiring
dengan gigihnya aparat kepolisian menangkap dan memburu teroris, tiba-tiba
masyarakat tersentak oleh aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang
terhadap Direktur Galang Press di Yogyakarta saat di rumahnya diadakan
kebaktian. Yogyakarta makin panas dengan kejadian susulan perusakan atas
bangunan rumah ibadah umat Kristiani di Dusun Tanjungsari dan Dusun Pangukan,
Sleman.
Tampaknya
terorisme dan kekerasan berparas agama saling berkelindan dan bahu-membahu
dalam mengayunkan aksinya. Dua wajah kekerasan tersebut sama-sama bersendikan
pada sikap intoleransi, antipati, dan kebencian terhadap segala hal yang
”berbeda rupa”. Perbedaan di antara keduanya memang ada. Terorisme bersifat
klandestin, beraksi secara mendadak dan langsung menghancurkan dengan senjata
api atau bom terhadap sasaran yang dituju, baik korban manusia maupun bangunan
fisik. Kekerasan beraroma agama lazimnya dilakukan secara terbuka, berkelompok,
dan bisa juga massal terhadap sasaran yang dibidik meski sering juga dilakukan
aksi dadakan, seperti pada kasus Yogyakarta. Kekerasan model ini juga bisa
terang-terangan seperti pada kasus penyerangan di Monas, beberapa waktu lalu,
yang dilakukan oleh sekelompok orang beratribut tertentu.
Metamorfosis
gerakan
Kita
terus dihadapkan dengan apa yang kerap disebut radikalisme. Ada indikasi
radikalisme, yaitu respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya
respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan
perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga,
atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
kondisi yang ditolak. Tak berhenti pada upaya penolakan, radikalisme terus
berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini
menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan
dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan itu
sebagai ganti dari tatanan yang ada. Sikap radikal mengandaikan keinginan untuk
mengubah keadaan secara mendasar.
Radikalisme
muncul dari turunan sikap ghuluw, yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan
dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas
kewajaran kemanusiaan. Dari elemen sikap ini lalu memunculkan sikap tatharruf,
yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi terhadap
empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Akhirnya, dari kedua
sikap ini akan melahirkan sikap irhab. Ini yang terlalu mengundang
kekhawatiran. Sebab, bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau
ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan
agama atau ideologi. Teroris disebut irhabi/irhabiyyun, karena mereka menempuh
jalan kekerasan (al-’unuf) demi mencapai tujuan politis mereka (al-ahdaf
al-siyasiyah).
Pasar
ideologi
Negeri
kita saat ini secara kasat mata tengah dibelit oleh maraknya berbagai kelompok
keagamaan dalam wujud puritan dan radikal. Kelompok-kelompok ini secara
terang-terangan mendaratkan aksinya dengan kedok dakwah yang lurus sesuai
dengan orisinalitas zaman Nabi Muhammad. Dakwah mereka sering bertabrakan
dengan tradisi keagamaan yang mainstream.
Demikianlah,
negeri kita sedang berada dalam situasi pasar bebas ideologi. Kebebasan
ekspresi pada era reformasi ini telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok keagamaan
yang dengan gagah berani menolak Pancasila dan UUD 45 serta mudah sekali
mengecap thoghut terhadap segala hal yang berbau NKRI. Negara sudah tak punya
daya dan wibawa. Sebuah organisasi keagamaan kecil yang tampak terorganisasi
dengan rapi, misalnya, malah mendapat perlindungan dari pejabat negara.
Padahal, dalam setiap pengajian mereka terus mendakwahkan penyesatan terhadap
kelompok Islam lainnya dan bahkan mengejek simbol-simbol negara.
Yakinlah
bahwa kondisi darurat makin menajam selama kelompok-kelompok ini bebas
melakukan kegiatannya. Aksi kekerasan dan bahkan terorisme sulit dibendung.
Intoleransi akan terus terjadi dan menorehkan warna kelam terhadap kebinekaan.
Kita tentu tak ingin ada kelompok ala Boko Haram atau Assyabab yang sangat puritan
dan radikal seperti di Nigeria dan Somalia. []
KOMPAS,
09 Juni 2014
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar