Rombak UU
Pemilu
Oleh: Moh
Mahfud MD
Pemilu
Legislatif (Pileg) 2014 adalah pileg yang paling buruk dalam sejarah pemilu
kita. Terjadi kecurangan masif para caleg yang meruntuhkan moral masyarakat
karena politik uang yakni dijualbelikan suara sehingga yang seharusnya kalah
menjadi menang dan yang menang menjadi kalah.
Pemilu
kita sudah menjadi industri kapitalisasi politik yang merusak demokrasi dan
menjatuhkan martabat bangsa. Banyak mengusulkan, sistem pemilu untuk 2019 harus
dirombak. Pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2014 ini harus memprioritaskan
perubahan sistem pemilu agar daya merusaknya bisa dihentikan dan kita lebih
beradab. Seperti yang akan dijelaskan pada akhir kolom ini, sistem yang
sekarang, sistem suara terbanyak, bukanlah berdasar vonis Mahkamah Konstitusi
(MK), melainkan berdasar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang dibuat DPR dan
pemerintah. MK hanya membuang persyaratan ambang bilangan pemilih pembagi
(BPP)-nya.
Sehari
sebelum pencoblosan pada 9 April 2014 itu dari Yogyakarta, saya mengatakan
kepada pers tentang kecurangan-kecurangan yang harus diantisipasi oleh semua
pihak. Berdasar pengalaman saya menangani sengketa Pileg 2009, ada beberapa
modus kecurangan yang diperkarakan ke MK. Benar, pada Pileg 2014 modus-modus
terjadi secara lebih masif. Modus yang paling banyak adalah politik uang dalam
bentuk penyuapan kepada para pemilih. Pada pemilu tahun ini politik uang begitu
marak.
Saya
bertemu banyak caleg yang dengan enteng bercerita telah membagi lebih dari
200.000 amplop yang masingmasing berisi Rp50.000 kepada pemilih menjelang hari
pencoblosan. Ada juga jual beli suara antara caleg dan petugas-petugas resmi
dari KPU seperti panitia pemungutan suara (PPS). Modus ini dilakukan dengan
cara mengubah rekapitulasi suara tingkat berikutnya sehingga tidak sama dengan
hasil rekapitulasi di tingkat TPS. Si caleg tinggal membayar berapa untuk
mendapat suara berapa. Pekan lalu saya bertemu seorang calon anggota DPD yang
dihubungi seorang oknum PPS untuk memberi 68 suara di TPS-nya asal membayar
Rp4.000.000.
Katanya,
ada pemilih yang tidak datang sebanyak 68 orang dan semua surat suaranya bisa
diberikan kepada calon DPD tersebut dengan dicobloskan oleh si oknum PPS itu.
Ini modus lain yakni menjual suara-suara mereka yang tidak datang ke TPS. Di
berbagai tempat bahkan ada surat suara yang tidak dibagikan kepada yang berhak,
tetapi langsung ditahan atau dibeli oleh oknum PPS untuk kemudian dijual lagi
kepada calon-calon yang saling bersaing. Ada juga caleg-caleg yang mendapat
suara sedikit dan pasti tak terpilih lalu menjual perolehan suaranya kepada
caleg lain yang hanya kurang sedikit untuk memperoleh kursi.
Serunya,
pengalihan atau jual beli suara seperti ini dilakukan oleh dan untuk caleg yang
sama-sama berasal dari satu partai politik. Benarlah kata Nurul Arifin, caleg
Golkar yang gagal ke Senayan, Pileg 2014 ini seperti perang saudara yang
terjadi di Suriah, saling bantai di antara sesama saudara. Seperti diberitakan
secara meluas, pengalihan atau jual beli suara itu terjadi begitu telanjang,
terbuka, seperti di pasar tradisional. Ini yang memalukan, memilukan, dan
menjatuhkan martabat kita sebagai bangsa. Sebab itu, sistem pemilu ini harus
segera dirombak sebelum merusak lebih jauh lagi.
Banyak
yang mengatakan bahwa sistem pemilu dengan suara terbanyak ini dilakukan karena
vonis MK. Itu sama sekali tidak benar. Yang menentukan sistem pemilu dengan
suara terbanyak adalah pemerintah dan DPR melalui Undang- Undang Nomor 10 Tahun
2008. MK hanya menghilangkan persyaratannya yang tidak adil yakni menghapus
syarat 30% dari BPP untuk ditentukan berdasar suara terbanyak seperti yang
diatur di dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e. Intinya, pasal tersebut
mengatur caleg terpilih di suatu dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak
dari antara mereka yang mendapat suara minimal 30% dari BPP.
Jika
tidak ada yang mendapat 30% dari BPP, caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor
urut. Menurut MK, ketentuan ambang 30% itu tidak adil. Misalnya seorang calon
di nomor urut 7 mendapat 74.500 suara di dapil yang BPP-nya 250 bisa dikalahkan
oleh calon nomor urut 1 dan 2 yang hanya mendapat 1.000 atau 100 suara sebab
74.500 suara belum mencapai 30% BPP (yakni 75.000 suara). Ini sungguh tidak
adil. Sebab itu, MK menghapus persyaratan ambang 30% agar ada keadilan. Soal
ketentuan suara terbanyak itu murni dibuat DPR dan pemerintah.
MK di
dalam putusannya menyatakan, sistem distrik atau sistem proporsional tertutup
sama konstitusionalnya asal tidak dimanipulasi dengan ambang perolehan minimal
dari BPP. Maka itu, kalau ke depan kita akan membuat sistem proporsional
tertutup, itu sama sekali tidak bertentangan konstitusi. Ini sudah saya
sampaikan kepada dua tokoh PDIP yaitu Taufik Kiemas dan Sidarto Danusubroto
saat saya memberi ceramah di Megawati Centre pada pertengahan 2011. Tapi, ide
ini tak disepakati di DPR. []
KORAN
SINDO, 03 Mei 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar