Selasa, 27 September 2011

(Ngaji of the Day) Para Raja Wali yang Merakyat, Tasawuf Biasa-biasa di Generasi Sahabat

Para Raja Wali yang Merakyat, Tasawuf Biasa-biasa di Generasi Sahabat



Mungkin seluruh ulama sepakat bahwa para Sahabat Rasulullah SAW merupakan sulthânul-auliyâ’ melebihi para sulthân yang lain, kendatipun kisah-kisah para Sahabat, terutama dalam hal kekeramatan, masih jauh kalah hebat dan seru dibanding para wali atau sufi setelahnya.



Dalam penuturan Imam al-Alusi, Syekh Abdul Qadir al-Kailani pernah menyatakan, “Puncak (spiritual) yang dicapai oleh Uwais al-Qarni, Tabiin terbaik, merupakan tangga pertama bagi Sahabat Wahsyi, si pembunuh Hamzah, saat pertama kali ia masuk Islam.” Abdullah bin al-Mubarak juga pernah menyatakan, “Debu yang masuk ke hidung kuda Muawiyah masih lebih utama di sisi Allah daripada seratus Umar bin Abdil Aziz.” Imam al-Hasan al-Bashri menyatakan, “Demi Allah, aku menututi 70 orang Sahabat Badar, seandainya kalian melihat mereka, maka kalian akan menyatakan mereka sebagai orang-orang gila. Dan, bila mereka melihat orang-orang terbaik di antara kalian, maka mereka akan menyatakan: Tidak ada bagian (akhirat) untuk orang-orang ini. Bila mereka melihat orang-orang buruk di antara kalian, mereka akan bilang: Orang-orang ini tidak percaya akan adanya hari penghitungan amal.”



Imam Abu Hanifah menyatakan, “Seandainya tidak ada fadhlush-shuhbah (keutamaan yang didapat karena menjadi Sahabat Nabi SAW) niscaya aku menyatakan bahwa Alqamah lebih alim fikih dibanding Abdullah bin Umar.”



Berbagai ucapan dari ulama di atas tentu saja bukan sebuah pernyataan yang mengada-ada. Pernyataan tersebut merupakan penekanan yang didapat dari hasil pengamatan terhadap pola hidup Sahabat, serta dalil-dalil keutamaan Sahabat dalam al-Qur’an maupun Hadis. Kedua sumber utama ajaran Islam ini banyak memuat pujian secara langsung maupun tidak langsung terhadap para Sahabat Rasulullah SAW. Bahkan, pujian-pujian dalam al-Qur’an yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam (dari berbagai generasi), sebetulnya yang paling berhak atas pujian itu adalah para Sahabat. Karena merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan ayat tersebut. Misalnya, ayat yang artinya:



Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (QS al-Imrân [3]: 110)



Dalâlah (penunjukan) kata “kalian” dalam ayat tersebut terhadap para Sahabat bersifat qath’i (pasti), karena ketika kata “kalian” itu disampaikan, generasi yang ada di hadapan kata tersebut adalah para Sahabat. Sedangkan, generasi Muslimin pasca Sahabat belum ada pada saat ayat tersebut diturunkan, maka ketermuatan mereka masih bersifat zhanni (kemungkinan besar atau belum pasti).



Dalil-dalil mengenai keutamaan para Sahabat, khususnya para pendahulu Islam (as-Sâbiqûnal-Awwalûn), terlalu banyak untuk diurai. Yang jelas, mereka adalah orang-orang terbaik di umat ini setelah Rasulullah Muhammad SAW.



Lalu, jika mereka adalah wali Allah yang paling tinggi, kenapa sejarah dan manâqib mereka sepertinya biasa-biasa saja? Sepertinya masih lebih hebat Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Syekh Abu Yazid al-Busthami, Imam asy-Syadzali, Imam ar-Rifa’i dan tokoh-tokoh sufi masyhur lainnya. Kenapa hampir tidak ada ceritanya para Sahabat yang terbang, berjalan di atas air, jadzab, kebal terhadap senjata, dan lain sebagainya? Kenapa dalam sejarah Sahabat, tidak ada cerita mengenai suluk yang luar biasa, semisal mengembara berpuluh-puluh tahun menjauh dari masyarakat seperti yang sudah biasa diceritakan dalam kisah-kisah sufi? Kenapa para Sahabat biasa menerima pemberian dari khalifah, tidak seperti para tokoh-tokoh sufi yang dikisahkan sangat anti dengan hal ini? Kenapa para Sahabat Rasulullah SAW banyak yang terjun ke politik, tidak seperti tokoh-tokoh sufi betul-betul menjauh dari gerbang politik?



Sejarah Sahabat sepertinya memang tak seaneh kisah-kisah para sufi generasi berikutnya. Tapi, ukuran kemuliaan dan derajat spiritual hamba Allah memang sama sekali tidak diukur dengan keanehan dan hal-hal yang luar biasa. Begitu banyak orang yang seperti biasa-biasa saja, tapi pada hakikatnya jauh lebih luar biasa daripada yang terlihat luar biasa. Begitu banyak pendekar yang sangat ahli, tapi berpenampilan biasa-biasa saja dibanding anak-anak yang baru belajar ilmu bela diri.



Dalam konteks spiritual mengenai hal itu, kita ambil kisah berikut ini sebagai perbandingan:



Imam al-Hasan al-Bashri, suatu ketika berdiri di tepi sungai. Beliau ingin menyeberang tapi masih menunggu perahu. Syahdan, ada seorang sufi datang ke tempat itu. Namanya Habib al-Ajmi.



“Apa yang engkau tunggu?” tanya Habib al-Ajmi.



“Perahu.”



“Kenapa masih butuh perahu, apakah engkau tidak memiliki keyakinan (bahwa yang membuatmu menyeberang adalah Allah, bukan perahu; yang membuatmu tenggelam adalah Allah, bukan air)?”



“Apakah engkau tidak punya pengetahuan?” jawab al-Hasan.



Lalu, si sufi itu menyeberang, berjalan di atas air, sementara al-Hasan al-Bashri tetap diam berdiri menunggu perahu.



Dalam kisah ini, menurut pola pandang tasawuf, Imam al-Hasan al-Bashri masih jauh lebih utama dibanding Habib al-Ajmi. Sebab, al-Hasan al-Bashri memiliki secara lengkap ‘ilmul-yaqîn, ainul-yaqîn, beliau mengetahui dan menyadari segala sesuatu secara normal. Beliau berada pada tingkat spiritual yang stabil. Sementara Habib al-Ajmi berada dalam kondisi sakar, tidak stabil atau tidak menyadari rangsangan jasmani. Ia seperti tidak tahu bahwa yang ada di hadapannya itu adalah air yang dalam Sunnatullâh menenggelamkan manusia; ia seperti tidak tahu bahwa dalam Sunnatullâh, menyeberang sungai perlu perahu. Sehingga al-Hasan al-Bashri menyatakan, “Apakah engkau tidak punya pengetahuan/ilmu?”



Para Sahabat Rasulullah SAW berada pada tingkat yang stabil. Mereka tidak perlu mengembara dan menyembunyikan identitas seperti yang dilakukan oleh Uwais al-Qarni, misalnya. Mereka tidak perlu ‘uzlah, karena mereka sangat tahan dengan godaan bermasyarakat, apalagi masyarakat pada saat itu memang tidak menggoda. Berkumpul dengan tetangga dan teman justru semakin membawa mereka kepada Allah SWT, karena tetangga dan teman-temannya adalah orang-orang baik. Mereka tidak perlu menjauhi politik karena politik waktu itu masih putih. Politik justru menjadi bentuk ibadah tersendiri yang memang sudah semestinya mereka terjuni. Mereka tak perlu menolak pemberian sulthân (penguasa) karena yang menjadi penguasa waktu itu adalah para Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang dekat kepada AllahSWT. Harta yang diberikan adalah harta yang suci, tidak bercampur baur dengan syubhat dan haram.



Kondisi emas ini tidak terdapat pada masa-masa setelahnya, sehingga para sufi pasca Sahabat menerapkan langkah-langkah yang sepintas terlihat lebih luar biasa dibanding apa yang dilakukan para Sahabat. Namun, hal itu tetap tidak bisa melangkahi derajat para Sahabat. Selain karena nalar-nalar spiritual seperti yang dikemukakan di atas, keutamaan para Sahabat juga terdapat secara langsung dan qath’i dalam nash-nash al-Qur’an dan Hadis. Tak ada orang yang secara langsung namanya disebut oleh Rasulullah SAW sebagai penghuni surga kecuali para Sahabat. Selain Sahabat, masih merupakan kemungkinan yang hampir pasti, kemungkinan besar atau kemungkinan kecil.



Jadi, para Sahabat adalah para sulthânul-auliyâ’ melebihi para sulthânul-auliyâ’ generasi berikutnya. Mereka adalah para raja yang merakyat.[]



Buletin Sidogiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar