Ibadah puasa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah SWT kepada seluruh umat Islam. Orang-orang yang telah memenuhi syarat, wajib melaksanakannya. Jika pada satu saat orang tersebut tidak berpuasa, baik karena ada udzur ataupun tidak, ia berkewajiban mengganti puasa yang ditinggal tersebut pada lain hari.
Persoalannya adalah bagaimanakah jika orang itu tidak mengganti puasanya sampai meninggal dunia ? bolehkah keluarga atau kerabatnya menggantikan puasanya itu?
Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia dan belum mengganti puasanya.
1. Orang tersebut meninggalkan puasa karena udzur, kemudian ia meninggal sebelum sempat mengganti puasanya. Misalnya tidak ada waktu menqadha puasanya. Seperti orang yang meninggal dunia pada pertengahan puasa atau pada saat hari raya. Bisa juga karena sakitnya tak kunjung sembuh sampai meninggal.
2. Tidak berpuasa karena ada udzur, tapi orang tersebut memiliki kesempatan menqadha puasanya, namun kenyataannya ia tak mengganti puasa yang telah ditinggalkan, baik karena malas atau lainnya.
3. Orang tersebut tidak berpuasa tanpa ada alasan yang dibenarkan kemudian meninggal dunia sebelum menqadha.
Pada contoh pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban mengganti puasanya. Sebab ia tidak berbuat lalai. Pada contoh yang kedua, orang itu mati dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ahli waris atau familinya bisa menqadha’nya dengan cara: memberi makan fakir miskin atau menqadha’ puasanya. Hokum ini juga berlaku bagi contoh ketiga di atas.
Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi makan kepada fakir miskin. (Sunan Ibnu Majah, {1747})
Sedangkan pilihan kedua sesuai dengan sabda Nabi SAW dari Ibnu Buraidah bahwa seorang perempuan mendatangi Nabi lalu bertanya, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan ia punya hutang puasa. Apakah boleh saya berpuasa untuknya? “ Rasul menjawab: “Boleh”. (Sunan Ibnu Majah, {1749}).
Dikutip dari buku Fiqh Tradisionalis karya KH. Muhyidin Abdussomad, hlm.177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar