Si Brutal
dan Si Pendamai
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Salah seorang saudaraku, sepulang
dia dari merantau beberapa tahun di dalam dan luar negeri, perilakunya agak
merepotkan kami sekeluarga. Baik benturan-benturannya dengan kami sekeluarga,
juga dalam kaitannya pergaulan dengan para tetangga dan penduduk sekampung.
Kalau
kuingat-ingat, problem saudaraku itu bukan berasal dari rumah kemudian di bawa
keluar rumah. Melainkan bersumber dari keadaan kampung, lantas dibawa masuk ke
rumah.
Saudaraku
pertama cuma mengeluh soal-soal kepemimpinan desa, ketidak-adilan
kepemerintahannya, kekacauan sosial dan budayanya, pembodohan dalam pendidikan,
serta kelunturan akhlak masyarakatnya. Tahap berikutnya bukan hanya mengeluh
sebatas di dalam keluarga. Ia juga protes, bahkan terkadang sampai tingkat
melawan dan memberontak dalam susunan pengelolaan desa.
Hal itu
membuat semacam pertentangan antara pemerintah dan masyarakat desa dengan
keluarga kami. Saudara saya itu sering dengan geram mengatakan bahwa penduduk
kampung ini ditimpa ketidakadilan dan kelaliman dalam waktu yang terlalu
panjang tanpa pernah ada solusinya.
Tentu
saja pemerintah desa dan tokoh-tokoh lainnya tidak melihat keadaan sebagaimana
saudara saya simpulkan. Bagi mereka semua ini baik-baik saja. Tidak ada yang
perlu diubah, tidak perlu ada perombakan di bidang apapun. Rakyatpun umumnya
kalau diajak bicara soal perlunya perubahan, tersimpulkan bahwa perubahan yang
mereka kehendaki sangatlah sederhana: bagaimana bisa ikut kaya dan sejahtera
sebagaimana pemimpin-pemimpin mereka.
***
Kalau aku
melihat saudaraku itu dari sisi keharusan kami sekeluarga untuk terlebih dulu
menemukan kesalahan dan kekurangan kami sendiri, maka rasanya perkembangan
sikap dan perilaku saudaraku itu semakin lama memang semakin tidak bisa kami
tolong.
Di luar
soal-soal ketidakadilan dan runtuhnya moral sosial itu, entah ia belajar apa,
bergaul dengan siapa, dipengaruhi oleh aliran nilai apa, aku kurang mengerti.
Ia berubah, sangat berubah, bahkan hampir terbalik dari yang aku kenal padanya
dulu. Ibadahnya meningkat pesat, tapi perilakunya sungguh tidak kami pahami.
Sebenarnya
saudaraku itu cerdas, tetapi mungkin karena semacam kegugupan sosial, ia punya
kecenderungan untuk lebih memilih berpikir sempit dan dangkal di dalam
memandang kehidupan. Ia pandai, tetapi mungkin karena rendah hati maka ia lebih
sering memilih ketidak-pandaiannya di dalam bersikap dan berperilaku.
Ibarat
perang, saudaraku itu hampir selalu salah merumuskan siapa musuhnya, atau pada
wilayah apa sasaran pemberontakannya.
Sepak
terjangnya sangat dipengaruhi, dan anehnya dipersempit, oleh rasa
ke-beragama-an dan kebiasaan ibadahnya yang tekun dan khusyu. Mungkin karena
itu Tuhan menjadi sangat primer di dalam kesadarannya, sehingga manusia dan
semua yang selain Tuhan menjadi sekunder.
Tampak jelas
ia sangat mencintai Tuhan, para Malaikat dan Nabi-Nabi serta Rasul-Rasul.
Sampai sering tak tersisa cinta di hatinya untuk sesama manusia. Kepada Tuhan
saudaraku itu sangat lembut, sedangkan kepada manusia yang tersisa adalah
kekerasan dan kekasaran.
Di
samping kecerdasan intelektual dan ketinggian spiritualnya, ia juga bermental
tangguh. Penuh keberanian. Kadar keberaniannya sedemikian rupa sampai bisa
mencapai tingkat kebrutalan. Tidak hanya kepada orang lain, para tetangga dan
penduduk sekampung, tapi juga kepada kami keluarganya sendiri ia sangat berani,
keras, kasar dan terkadang brutal.
Munculnya
keberanian saudaraku itu sehari-hari berupa sikap marah-marah, mengutuk-ngutuk,
bahkan dengan berteriak-teriak, selalu menyalah-nyalahkan tanpa bisa
mendengarkan suara apapun selain suara dari dalam kemarahannya dirinya sendiri.
Ia
menghabiskan, menumpahkan dan melampiaskan semua kemarahan, kebrutalan dan
segala yang buruk-buruk dan menyakitkan itu kepada kami sekeluarga, kepada
masyarakat sekampung terutama para penggedenya, bahkan seakan-akan kepada semua
penghuni dunia.
Adapun
yang tersisa padanya berupa kelembutan dan ketakutan, ia persembahkan kepada
Tuhan.
***
Sering
aku berkesimpulan bahwa saudaraku itu punya cinta dan benci. Cintanya kepada
Tuhan, bencinya untuk kami semua. Andaikan aku ini paham Agama, tentu aku bisa
mengerti apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi jelas bahwa semua penduduk
kampung, lebih dari aku sendiri, tahu bahwa aku tidak paham Agama.
Dan saya
sungguh menyesal kenapa aku tidak pernah benar-benar belajar Agama. Sebab di
dalam seluruh bangunan sikap saudaraku itu bercampur aduk tema kedhaliman
sosial, ketidakadilan pemerintahan, ketuhanan dan ibadah. Meskipun terus terang
terkadang berpikir sebaliknya: jangan-jangan kalau aku lebih mempelajari Agama
dan lebih tekun beribadah, lantas aku menjadi seperti saudaraku ini?
Benar-benar
aku kebingungan. Dulu ada salah satu saudara kami yang lain, yang cenderung
punya kedekatan dengan saudaraku yang brutal ini. Tetapi beliau meninggal
beberapa waktu yang lalu.
Beliau
dijunjung orang sekampung sebagai tokoh perdamaian dan kebebasan, karena bukan
sekedar beliau selalu akrab bergaul sangat dekat dengan semua tetangga dan
penduduk di kampung. Tetapi juga beliaulah jembatan antara masyarakat dengan
keluarga kami. Demikian kesimpulan masyarakat atas peranan beliau. Kalau
saudaraku itu Si Brutal, saudara kami yang almarhum adalah Si Pendamai.
Akan
tetapi terus terang di luar itu aku punya pandangan yang agak berbeda. Beliau
almarhum ini sebenarnya justru kurang dekat dengan kami sekeluarga. Kalau
sesekali beliau pulang, beliau selalu membuka pintu lebar-lebar kepada perilaku
saudaraku itu. Beliau selalu memanjakannya, sehingga ia merasa benar dengan
sikapnya. Sesungguhnya diam-diam aku tidak pernah benar-benar merasa aman
dengan pola sikap saudara kami itu: di rumah ia selalu membela si brutal,
tetapi di luar beliau suka ngobrol di rumah para tetangga atau di gardu-gardu
menceritakan kelemahan dan kekurangan saudara brutal kami itu. Sering aku
mengalami sendiri betapa mereka semua sampai tertawa terbahak-bahak
memperbincangkan saudaraku.
Sebagaimana
almarhum selalu memanjakan dan memaklumi perilaku saudara kami, beliau juga
selalu membuka pintu lebar-lebar bagi segala kecenderungan masyarakat dan
pemerintahan di kampung. Beliau disukai dan dipuji oleh saudaraku, beliau juga
disenangi dan dijunjung oleh orang sekampung. Penempatan diri semacam itu
sebenarnya hanya mengulur waktu dan memperparah keadaan. Tidak ada perbaikan
pada saudaraku, tak ada pula di masyarakat dan pemerintahan. Tidak ada
perubahan di dalam rumah kami, tak ada pula di dalam kehidupan penduduk dan
pemerintahan kampung kami.
Yang
ingin kubisikkan ke telingamu adalah kenyataanku hari ini. Bahwa aku tak bisa
mengakselerasi pengambilan sikap almarhum Si Pendamai, malahan aku cemas
jangan-jangan akan tergeser diriku ini ke kecenderungan Si Brutal. []
Dari CN
kepada anak-cucu dan JM
3 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar