Perundingan
Roem-Roijen 1949
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Antara 14
April-7 Mei 1949, Perundingan Roem-Roijen yang alot dilangsungkan.
Sukarno-Hatta dan banyak pemimpin yang lain ditangkap dan diasingkan penjajah
melalui sebuah serangan biadab atas Ibu Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Belanda
masih saja ingin meneruskan ambisi kolonialnya setelah dihalau pasukan Jepang
pada Maret 1942. Sekiranya mau membaca arah angin politik internasional,
sebenarnya adalah sebuah ketololan bagi Belanda untuk kembali menjajah.
Indonesia
tidak punya cara lain, kecuali mengobarkan perang kemerdekaan yang
berdarah-darah antara 1945-1949. Perundingan Roem-Roijen adalah sisi diplomasi
dari perang kemerdekaan itu, sekalipun pihak Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara dan tentara di bawah
Jenderal Soedirman mencurigainya.
Bagi
Belanda, ternyata memang amat berat melepaskan tanah jajahannya yang sebagian
telah diperasnya sejak era VOC (Kompeni Hindia Timur) yang dibentuk awal abad
ke-17. Kekalahan Belanda yang nyaris tanpa perlawanan oleh Jepang di Indonesia
sangat memalukan Negeri Kincir Angin ini. Demikian rapuhnya benteng pertahanan
Belanda itu sehingga dengan sangat mudah diobok-obok pasukan Jepang yang
kemudian menjadi yang dipertuan selama 3,5 tahun (1942-1945) di Indonesia.
Penjajahan
Jepang yang singkat itu telah meremukkan sebagian rakyat Indonesia melalui
kerja paksa yang biadab demi mendukung gagasan hegemoninya untuk sebuah Asia
Timur Raya. Namun, pada awal Agustus 1945 dengan atau tanpa bom atom, sebenarnya
pihak Jepang sudah kehabisan energi perang untuk melawan sekutu di semua medan
pertempuran. Dengan demikian, ledakan bom atom oleh Amerika Serikat di
Hiroshima dan Nagasaki dapat dipandang sebagai kebiadaban politik internasional
atas negara yang hampir bertekuk lutut.
Belanda
selalu mengkhianati perjanjian selama perang kemerdekaan itu, baik itu berupa
Perjanjian Linggarjati November 1946 maupun Perjanjian Reinville Desember
1947-Januari 1948. Serangan Belanda atas Yogyakarta mendapat kritik dan kecaman
tajam dari belahan dunia lain, termasuk dari Amerika Serikat.
Tanpa
adanya serangan 19 Desember di atas, tidak akan pernah ada PDRI (22 Desember
1948-13 Juli 1949) dan Perundingan Roem-Roijen itu. Dan, juga tanpa perang
kemerdekaan, Indonesia akan sunyi dari makam para pahlawan; juga kegaduhan
hubungan sipil-militer tidak akan pernah dikenal dalam sejarah modern
Indonesia, jika Belanda punya kearifan politik untuk tidak lagi ingin
melanjutkan sistem penjajahannya.
Demikianlah,
di Hotel Des Indes Jakarta dilangsungkan Perundingan Roem-Roijen itu yang
diawasi oleh Komisi PBB untuk Indonesia di bawah pimpinan Merle Cochran dari
Amerika Serikat. Delegasi Indonesia diketuai Mohamad Roem dengan anggota Ali
Sastroamidjojo, Johannes Leimena, Djuanda, Soepomo, Latuharhary, Darmasetiawan,
Sumarto, dan A Kusumaatadja dengan sekretaris AK Pringgodigdo. Turut pula St
Sjahrir, Moh Natsir, dan Herling Laoh sebagai penasihat, tetapi Sjahrir tidak
pernah mau hadir.
Mohammad
Hatta (masih dalam status tahanan politik) dan Sultan Hamengkubuwono IX juga
hadir dalam perundingan itu. Tampak sekali dalam struktur delegasi itu kerja
sama yang erat antara mereka yang beragama Islam dan mereka yang beragama
Kristen. Di pihak Belanda dipimpin oleh JH Van Roijen bersama anggota delegasinya
pula.
Di antara
hasil Perundingan Roem-Roijen itu adalah bahwa pihak Indonesia dan Belanda
sepakat untuk menghentikan perang dan bersedia untuk melanjutkan perundingan di
Den Haag yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) Agustus-Desember
1949.
Pihak
Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, pihak Belanda oleh
Perdana Menteri Willem Drees dari Partai Buruh. Sisi lemah dari KMB ialah
Indonesia seperti “terperangkap” dalam kurungan Republik Indonesia Serikat
(RIS), sekalipun hanya berumur pendek. Akan tetapi, itulah kenyataan yang harus
berlaku pada saat itu.
Roem yang
tenang dan berdarah dingin telah merepotkan delegasi Belanda dalam perundingan
itu. Inilah komentar lawan runding Roem, Van Roijen, saat Roem berusia 70 tahun.
"Dalam
karier selama 40 tahun, saya jarang beranggar pedang dengan seorang yang semula
sebagai lawan dalam perundingan-perundingan yang sulit, tetapi kemudian
menimbulkan rasa hormat dan penghargaan seperti terhadap Dr Roem. Dalam
pembicaraan-pembicaraan kami di tahun 1949, yang akhirnya menuju ke Konferensi
Meja Bundar dan penyerahan kedaulatan, tuan Roem menunjukkan keluwesan,
pengetahuan --dan yang lebih bernilai-- kebijaksanaan."
"Jika
delegasinya telah menentukan sesuatu sikap, ia mempertahankannya dengan segala
keteguhan, tetapi di samping itu ia tidak pernah ragu-ragu untuk membela
persetujuan yang telah tercapai, yang ia pandang benar dan adil, juga terhadap
yang memberi kuasa kepadanya." (Lihat Panitia Buku Peringatan Mohammad
Natsir Mohamad Roem 70 Tahun, Mohamad Roem 70 Tahun, Pejuang-Perunding.
Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm 258).
Itulah
Roem, seorang diplomat Indonesia moderat, bijak, tetapi teguh. Amat disesalkan
kemudian, Roem yang tidak punya dosa politik terhadap bangsa ini malah pernah
dipenjarakan dan dikucilkan dalam perpolitikan nasional. Sebuah tragedi politik
yang jangan diulang lagi. []
REPUBLIKA,
17 Mei 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar