Sejarah Tercetusnya
Fatwa Ciremai
Tradisi bahstul
masa'il di kalangan ulama dan kiai Nusantara ternyata sudah berjalan jauh
sebelum Jam'iyyah NU ini berdiri (1926). Meski dalam skala yang lebih kecil dan
sederhana, forum semacam musyawarah di antara para kiai untuk memutuskan status
hukum suatu masalah yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim
Nusantara sudah sekian lama ditempuh para kiai kendati tidak membawa nama
institusi tertentu.
Salah satu fatwa yang
sudah lahir jauh sebelum NU terbentuk, tepatnya ketika warga pribumi Nusantara
sedang gencar-gencarnya mengalami tekanan dan eksploitasi dari penjajah Belanda
tahun 1880-an ialah “Fatwa Ciremai”. Dinamai fatwa Ciremai karena lokasi
musyawarah yang melibatkan beberapa kiai Jawa Barat dan Jawa Tengah wilayah
pesisir utara tersebut dilaksanakan di puncak Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa
Barat. Mereka yang terlibat mencetuskan fatwa Ciremai ini adalah KH Abdul Jamil
(Ayahanda Kiai Abbas Buntet Pesantren, wafat 1919 M), Kiai Shaleh Banda, Kiai
Said Gedongan (Cirebon) dan Kiai Sholeh Darat Semarang.
Fatwa Ciremai yang
diinisiasi oleh KH Abdul Jamil dari Buntet pesantren, ini dimaksudkan terutama
untuk mengantisipasi Dutch Islamic Policy atau kebijakan Belanda mengenai
Islam. Pemerintahan kolonial Belanda melalui kebijakan tersebut memiliki tujuan
hendak melumpuhkan gerakan perjuangan yang dikobarkan kalangan pesantren,
setelah sebelumnya strategi Belanda dalam menghadapi berbagai perlawanan kaum
santri di beberapa daerah cukup menguras anggaran dana.
Melalui siasat Dutch
Islamic Policy, Belanda berupaya memecahkan persatuan di kalangan ulama, haji,
santri, pedagang dan masyarakat umum dengan menumbuhkan perbedaan-perbedaan
berlatar belakang sentimen keagamaan, kedaerahan, suku dan adat secara tajam.
Taknik ini mulai dilaksanakan tahun 1889, di mana selaku policy maker-nya
adalah Snouck Hurgronje.
Menghadapi penjajah
Belanda dengan segala bentuk rekayasanya, khususnya Dutch Islamic Policy, para
kiai tetap konsisten dan konsekuen tak mau bergeser sedikit pun dari sikap
final non-cooperative. Tidak mau bekerja sama adalah bentuk sikap final para
kiai terhadap setiap penjajah.
Di antara hasil
keputusan musyawarah Ciremai adalah:
1.
Menggalangkan umat Islam untuk tidak
menjadi pegawai kolonial Belanda. Hukumnya haram menjadi pegawai Belanda.
2.
Menolak budaya Belanda/Barat dalam
mengganjal timbulnya golongan priyayi yang dididik kehidupan Barat. (hukumnya
haram meniru busana Barat).
3.
Untuk mengganjal terbentuknya sekte
adat, pengembangan tarekat digalakkan.
Setelah pemerintah
kolonial Belanda mengetahui isi fatma Ciremai dan bahaya-bahaya yang akan
timbul akibat fatwa tersebut terhadap kewibawaan dan kemapanan pemerintahannya,
buru-buru mengambil tindakan tegas terhadap mereka yang hadir bermusyawarah di
gunung Ciremai. KH Abdul Jamil, Kiai Sholeh Banda, Kiai Manshur, Kiai Said
Gedongan dan Kiai Sholeh Darat Semarang ditangkap Belanda dan dijatuhi hukuman
kerja paksa membetulkan jalan disaksikan masyarakat. []
Disarikan dari:
Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas,
Pesantren Buntet dan Bela Negara, LKiS: 2014
(M Haromain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar