Masterpiece Islam
Nusantara
Judul
: Masterpiece Islam Nusantara: Sanad & Jejaring Ulama-Santri
(1830-1945)
Penulis
: Zainul
Milal Bizawie
Penerbit
: Pustaka Kompass
Cetakan
: Maret
ISBN
: 978-602-72621-5-7
Islam Nusantara
bukanlah suatu hal baru, karena telah mewajah dan merujuk pada fakta sejarah
penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Islam di Nusantara didakwahkan dengan
cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak
memberangus budaya. Dari pijakan sejarah itulah, karakter Islam Nusantara
menampilkan Islam yang ramah, damai, terbuka, penuh sopan santun, tata
krama dan penuh toleransi. Karenanya, penting sekali untuk membiarkan para
pelaku penyebar Islam di Nusantara bernarasi sendiri dengan tutur sebagai lokal
historis yang terus diwariskan sampai sekarang. Mengkomunikasikan dan
menjejaringkan narasi mereka dapat memberikan peta yang baik untuk memahami
karakteristik dan konstruksi keislaman yang mereka bangun untuk Nusantara.
Buku Masterpiece
Islam Nusantara Sanad & Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) karya Zainul
Milal Bizawie ini berusaha merangkai memori-memori yang tersebar di masyarakat
lokal, yang selama ini seolah-olah terpisah antara satu dengan lainnya.
Padahal, mereka terhubung dan saling melengkapi sehingga menjadi suatu
perwajahan Islam yang khas di Nusantara. Selain itu, jejaring ulama-santri Nusantara
telah berkontribusi penting dalam merawat tradisi Islam di Nusantara.
Karya-karya mereka menjadi referensi utama sistem pembelajaran di surau,
pesantren dan madrasah hingga saat ini.
Dengan belajar dari
kiprah para ulama-santri, kita dapat menyerap karakter Islam Nusantara sebagai
Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat
dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya
cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara
untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.
Sebelumnya, Zainul
Milal Bizawie telah menghadirkan momentum bersejarah pada Resolusi Jihad.
Dengan mengungkap jejaring yang berada di balik munculnya resolusi jihad
tersebut serta basis pemahaman tentang suatu bangsa, akan membantu kita
memahami konteks perjuangan para Laskar Ulama-Santri. Buku ini juga berusaha
menarasikan simpul-simpul dari jejaring yang telah mensinergiskan perjuangan
bagi tegaknya Negara Indonesia. Karenanya, kita akan melihat bagaimana
simpul-simpul tersebut saling berjejaring dan dengan caranya sendiri
mengonsolidasi dan terhubung dari satu titik simpul ke simpul lainnya. Simpul
ini hanyalah bagian saja, dan masih banyak lagi yang tidak tercatat dan
bergerak di ranah yang lain.
Menyimak wajah Islam
di dunia saat ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan, karena ciri khasnya
mengedepankan jalan tengah yang bersifat tawasut (moderat), tidak ekstrim
kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan
secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan
baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif
untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri
mana pun, meski tidak harus bernama dan berbentuk seperti Islam Nusantara
karena dalam Islam Nusantara tidak mengenal menusantarakan Islam atau
nusantarasasi budaya lain.
Zainul Milal Bizawie
ingin menegaskan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidaklah anti budaya Arab,
akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara
kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana
esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Karenanya, kehadiran
karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau
percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya
sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak
melanggar esensi ajaran Islam.
Karakter Islam di
Nusantara adalah proses perwujudan nilai-nilai Islam melalui (bentuk) budaya
lokal. Dalam tataran praksisnya, membangun Islam Nusantara adalah menyusupkan
nilai Islami di dalam budaya lokal atau mengambil nilai Islami untuk
memperkaya budaya lokal atau menyaring budaya agar sesuai nilai Islam.
Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai
budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil
‘alamin.
Melalui buku
Masterpiece ini, Zainul Milal Bizawie menyusuri dengan plot mundur. Narasi
dalam buku ini sengaja menggunakan plot terbalik membujur jejak-jejak waktu
mundur agar kita dapat menyelami dengan baik, tidak terputus dan menemukan
sejarah kita sendiri. Hal ini agar tidak terjadi lompatan-lompatan waktu
yang berakibat pada keterputusan sanad atau kesalahan memahami sejarah. Dalam
jejaring ulama santri yang diungkap dalam buku ini, anti kolonialisme menjadi
kegiatan politik yang terus diperjuangkan dan diwariskan dalam jejaring yang
telah terbentuk. Anti kolonialisme hanyalah salah satu konteks dari perjuangan
yang sesungguhnya, yaitu tafaqquh fiddin, menegakkan ajaran Islam, dan
meneruskan perjuangan Rasulullah. Dalam konteks inilah, buku terbitan Pustaka
Compass ini menjejaringkan narasi dan menarasikan sejarah jejaring
ulama-santri.
Jejaring yang telah
terbangun tersebut merupakan bagian dari masterpiece Islam di Nusantara. Para
simpul jejaring tersebut juga telah menghasilkan karya-karya besar yang juga
telah menjadi masterpiece Islam di Nusantara. Begitupun kemerdekaan RI dan
tegaknya NKRI serta wajah Islam di Indonesia yang damai, toleran, terbuka dan
moderat adalah bagian dari masterpiece Islam Nusantara yang saat ini dapat kita
rasakan. Dan masterpiece tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari
rahmat Allah bagi bangsa Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwa ini adalah
masterpiece Allah yang telah memfirmankan Islam rahmatan lil alamin.
Berpijak pada posisi
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, kita akan melihat begitu kokohnya dan
berkelindannya jejaring yang telah dibangun. Jejaring tersebut berdimensi
lintas ruang dan waktu, sanad dan nasab serta dalam kesamaan mendambakan suatu
bangsa yang berdaulat. Jejaring yang dibangun tersebut selain memperkokoh
simpul-simpul pesantren, dayah maupun meunasah yang telah terbangun, juga
meluaskan jejaring lebih besar lagi yang disatukan dalam komunitas al Jawiyyun.
Selain itu, sinergitas jejaring ulama Hadrami dan pribumi terbangun kembali dan
mencoba belajar dari pengalaman sebelumnya yang terbawa permainan kolonial
Belanda dalam melemahkan jihad. Habib Ali Kwitang menjadi titik masuk untuk
melihat bagaimana ulama keturunan Hadrami terkonsolidasi dan terhubung dengan ulama-ulama
pribumi serta menyelaraskan hubungan antara sanad tarekat, tahfidz dan fiqih.
Disinilah, kesadaran kebangsaan makin terbangun bahwa perjuangan melawan
kolonial Belanda harus bersatu dan memiliki resonansi yang menusantara.
Dalam konteks inilah,
peran Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Sholeh Darat, Syekh Tolhah, Syekh Khollil
Bangkalan, Syekh Mulabaruk, Syekh Mahfudz Tremas, Syekh Khatib Sambas, Syekh
Nahrowi Al Banyumasi, Syekh Ismail Minangkabawi dan lain sebagainya menjadi
jejaring utama yang menjadi titik pusat simpul di Nusantara pada abad ke-19.
Kehadiran dan kiprah mereka sanggup mentransmisikan keilmuan sekaligus semangat
kebangsaan bagi para santri yang belajar di Makkah dan kemudian
mentransformasikan dalam kiprahnya di daerahnya masing-masing. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar