UIN Sunan Kalijaga dan Energi Intelektualnya
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sebagai anak kampung di pedalaman Sumatra Barat yang sempat
belajar di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta pertengahan abad ke-20,
saya memandang Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), berdiri pada 1951,
cikal-bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai pusat pendidikan tinggi
Islam yang ikonik.
Apalagi, kakak sesuku saya, almarhum Prof DR M Sanusi Latief
(1928-1994), kuliah dan kemudian menjadi dosen di lembaga ini. Bagi anak
kampung seperti saya, mimpi untuk dapat kuliah di PTAIN adalah sebuah kemewahan
yang luar biasa.
Kultur kampung yang serbatertinggal telah membawa saya kepada
penilaian yang agak berlebihan ini. Namun, saya tidak menyesal karena memang
perasaan itulah yang bergayut di benak saya ketika itu.
Namun, apa daya, kematian ayah dan kesulitan ekonomi, hasrat untuk
belajar di PTAIN tidak pernah jadi kenyataan sekalipun beberapa tahun kemudian
saya sempat menjadi dosen tak tetap di sana. Ringkas cerita, dari PTAIN berubah
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada 1960, sebelum terbentuk
Universitas Islam Negeri (UIN) sejak 2004, saya merasa dekat dengan lembaga
ini.
Terbersit harapan agar UIN akan muncul sebagai perguruan tinggi
Islam dengan keadaban politik yang tinggi dan penuh wibawa, di sisi kualitas
akademiknya yang terus maju dan berkembang.
Apa itu keadaban politik? Tidak lain dari suasana politik kampus
dalam kultur saling percaya di antara pihak yang terlibat di mana kepentingan
akademik mengalahkan kepentingan golongan dan subkultur umat Islam. Juga,
wawasan keislaman para dosennya telah melampaui kotak-kotak umat yang ada di
akar rumput.
Apalagi, menurut sumber UIN, sejak 2004 lembaga ini mulai memasuki
periode transformasi. Salah satu wujudnya tentu saja bahwa dalam proses
pemilihan pimpinan, misalnya, kriteria utama harus berdasarkan merit system,
menyerahkan pimpinan strategis kepada mereka dengan kualitas kompetensi dan
komitmen yang mumpuni demi kemajuan lembaga.
Dalam teori politik dikenal sebagai meritokrasi, sebuah sistem
yang memberikan posisi tertinggi kepada orang yang paling mampu. Pertimbangan
latar belakang golongan dan subkultur menjadi tidak relevan.
Saya tidak tahu apakah selama periode transformasi sejak 12 tahun
yang lalu UIN Sunan Kalijaga sudah melangkah ke jurusan itu atau tetap berkutat
dalam lingkaran setan subkultur politik yang “merendahkan” pertimbangan
akademik dan moral. Situasi akan semakin runyam jika menteri yang membawahi UIN
adalah seorang partisan, tidak menghargai statuta sebuah lembaga senat
universitas yang semestinya punya final say dalam perkara penting lembaga.
Jika itu yang berlaku, slogan periode transformasi lebih baik
diganti menjadi periode involusi yang menyesakkan napas bagi semua orang yang
ingin mengucapkan selamat tinggal kepada citra subkultur dengan tingkat
keadaban yang masih medioker.
UIN Yogyakarta sekarang telah memiliki beberapa doktor dan guru
besar dengan latar belakang pendidikan tinggi hasil ramuan Barat dan Timur. Ini
sebuah kelebihan yang nyaris tidak ditemui sampai 1980-an dalam jumlah yang
memadai.
Dengan modal intelektual seperti ini, semestinya lembaga ini mampu
berperan setidak-tidaknya pada tingkat nasional karena buah pemikirannya dinlai
berkualitas tinggi yang sangat diperlukan oleh bangsa ini, sebuah bangsa Muslim
terbesar secara kuantitatif di muka bumi.
Sejauh pantauan saya, barulah sejumlah kecil doktor dan guru besar
lembaga ini yang sudah didengar suaranya oleh publik secara luas. Bukan untuk
berbangga-bangga, melainkan pada saat bangsa ini masih rentan secara moral di
tengah politik kekuasaan yang rakus maka suara kampus semua UIN dan IAIN di
seluruh Tanah Air diharapkan menawarkan pencerahan yang terus menerus kepada
kita semua.
Suara itu bukan suara golongan atau subkultur, melainkan suara
Islam kenabian yang halus, cerdas, menyentuh, dan universal. Sebagai lembaga
tinggi dalam kajian keislaman, UIN secara teori punya otoritas untuk
menyuarakan pesan kenabian itu jika saja ada kesadaran untuk itu.
Ramuan antara kearifan Timur dan Barat dengan baik dilukiskan
dalam bahasa puitis Iqbal di bawah ini:
Di Barat, intelek adalah sumber kehidupan.
Di Timur, cinta adalah dasar kehidupan.
Melalui cinta, intelek tumbuh berkenalan dengan realitas,
Dan intelek memberikan stabilitas kepada kerja cinta,
Bangunlah dan letakkan fondasi sebuah dunia baru,
Dengan mengawinkan intelek pada cinta.
(Dikutip oleh William O Douglas dalam Hafeez Malik (ed), Iqbal:
Poet-Philosopher of Pakistan. New York and London: Columbia University Press,
1971, hlm X).
Mungkin, harapan saya terlalu tinggi kepada UIN. Tetapi, itulah
tantangan yang mesti dijawab dan ke arah itulah energi intelektual para
dosennya mesti dikerahkan, bukan kepada yang lain. []
REPUBLIKA, 10 Mei 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar