Pancasila Oreng Madura
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kalau engkau merasa lelah oleh sesuatu di sekelilingmu atau
mungkin malah di dalam dirimu yang samar-samar, yang remang-remang, yang beribu
tafsir meliputinya, sehingga engkau memerlukan seminggu dua minggu, sebulan dua
bulan atau bahkan setahun dua tahun untuk pada suatu saat tiba-tiba menemukan
apa yang engkau cari — berikut ini kututurkan kepadamu sesuatu yang
sebaliknya, yang gamblang segamblang-gamblangnya.
Seorang Bapak asal Madura lama tinggal di Saudi Arabia menjadi
pelayan Haji, guru Sekolah Dasar dan pedagang serabutan, tatkala balik dan mau
menghabiskan masa tuanya di Pulau Madura — ia tersinggung kepada petugas
Kecamatan. Ia merasa dianggap tidak lagi hapal Pancasila oleh pegawai Negara
itu.
“Sampiyan jangan meremehkan saya”, katanya agak keras nadanya,
“jangan dipikir saya sudah berubah menjadi orang Arab, terus Sampiyan curigai
tidak hapal Pancasila”.
“Maaf ini test standard saja, Pak, untuk setiap warga yang akan
memperbarui KTP”, jawab pegawai Kecamatan, “anak-anak kecil sekarang ini banyak
yang tidak hapal Pancasila, kami khawatir orang-orang tua juga lupa Pancasila”.
Si Bapak menaikkan volume suaranya. “Pancasila itu hidup mati
saya, jiwa raga saya, syariat dunia akherat saya. Siapa saja yang meragukan
bahwa saya tidak hapal Pancasila, saya anggap itu nantang carok sama saya!”
Pegawai kecamatan mencoba menenangkan. “Begini saja Pak, daripada
kita nanti bertengkar sungguhan, lebih baik Bapak langsung sebut saja
urut-urutan Pancasila….”
Belum selesai kalimat si pegawai, Bapak Madura kita langsung
dengan tempo sangat cepat menyebut Pancasila: “Satu syahadat dua shalat tiga
zakat empat puasa lima haji, Pak”
“Lhaaa ya thooo, Sampiyan tidak hapal Pancasila”.
“Tidak hapal bagaimana, kurang apa, sudah saya sebut satu persatu
Pancanya Sila….”
“Yang Bapak sebut tadi itu Rukun Islam, bukan Pancasila”
Si Madura membantah. “Lhooo Pancasila itu ya Rukun Islam, Rukun
Islam itu ya Pancasila”
“Ya ndak to Pak. Pancasila sendiri, Rukun Islam lain lagi”.
“Lho bagaimana Sampiyan ini. Kalau Pancasila tidak sama dengan
Rukun Islam, `dak mau saya!”
“Lho kok ndak mau? Itu wajib bagi setiap warga Indonesia. Kalau
Rukun Islam itu urusan kita sebagai orang Islam”.
“Tidak bisa. Pancasila adalah Rukun Islam, Rukun Islam adalah
Pancasila. Hidup ini harus jelas dan tegas. `Dak bisa kaki kanan saya berjalan
pakai Pancasila, kaki kiri saya melangkah dengan Rukun Islam”.
Si pegawai mencoba mengendorkan situasi. Ia tersenyum
diramah-ramahkan kemudian bertanya, “Tapi maaf ya Pak, katanya Bapak punya
istri dua….”
“Ya memang!”, si Madura menyahut spontan, “Mukeni dan Samiatun.
Tapi mereka sudah satu dalam hati saya”.
“Tapi kan tetap dua”
“Dak bisa. Mukeni ya Samiatun, Samiatun ya Mukeni. Sampiyan ini
`dak tahu cinta rupanya”.
Akhirnya si pegawai Kecamatan merasa bahwa ia tidak akan sanggup
memperpanjang perdebatan dengan jenis orang seperti ini. Pasti akan nambah
masalah, tidak mungkin mengurangi atau apalagi menyelesaikan masalah.
“Sebentar, Pak. Tolong tunggu sebentar saja di sini”.
Ia pamit. Berdiri, melangkah ke arah ruang dalam kantor Kecamatan.
Menemui Pak Camat langsung.
Ternyata agak lama. Si Bapak Madura hampir saja naik pitam, ia
sudah sempat pukul-pukul meja. Kalau si pegawai lebih lama lagi nongolnya,
mungkin dari memukul-mukul meja meningkat menjadi menggebrak-gebrak meja, dan
kecil kemungkinan untuk tidak memuncak menjadi menendang-nendang dan memecah
meja.
Hampir saja ia lakukan itu, kalau saja tidak tiba-tiba ternyata
Pak Camat sendiri yang keluar menemuinya.
Pak Camat menemuinya, mengulurkan tangan menyalaminya, menyapa
dengan satu dua kata Bahasa Arab, si Madura hanya menjawab
“shadaqallahul’adhim!”.
Tetapi diam-diam si Bapak Madura ini agak mulai melunak hatinya.
Ia merasa terhormat karena Pak Camat sendiri berkenan langsung menemuinya.
Bahkan kemudian ia terheran-heran, Pak Camat mengajaknya pergi dengan mobilnya.
Ia agak salah tingkah.
Ternyata ke rumah seorang Kiai tidak jauh dari Kantor Kecamatan.
Harap dimafhumi di Pulau Madura di setiap RT ada Musholla, di setiap RW ada
Masjid dan di setiap Kelurahan ada Pesantren. Bapak Madura ini merasa lebih
terhormat lagi karena akan bertemu langsung dengan Pak Kiai, apalagi ia ke situ
bersama Pak Camat.
Alhasil mereka berdua berjumpa Pak Kiai. Ditemui di ruang tamu
Pesantren. Dua orang santri menangani konsumsi untuk mereka. Pak Camat menyeret
Pak Kiai ke pojok agak jauh, kemudian mereka berbisik-bisik. Si Bapak Madura
terkejut karena tiba-tiba terdengar Pak Kiai tertawa terbahak-bahak.
Mereka berdua bergeser ke kursi tamu, duduk bertiga berhadapan.
Pak Kiai kontak sambil masih agak tertawa bertanya kepada si Bapak Madura:
“Coba Sampiyan sebutkan Pancasila….”
Si Bapak Madura langsung memamerkan pengetahuan dan hapalannya
tentang Pancasila. “Pancasila satu syahadat dua shalat tiga zakat empat puasa
lima haji”.
Pak Kiai tertawa lagi dan memuji Si Bapak Madura.
“Shadaqallahul’adhim. Benar sekali Sampiyan ini”.
Pak Camat yang kaget. “Lho kok benar?”
Pak Kiai tertawa lagi. “Sampiyan ini sejak jadi Camat malas
belajar. Tapi biasa Pemerintah memang begitu. Kalau rajin belajar itu namanya
Santri, bukan Pemerintah”.
“Saya tidak mengerti, Pak Kiai”, kata Pak Camat.
“Lhoooo Allah Maha Benar dan benar juga yang dikatakan Bapak tadi
itu. Pancasila yang pertama itu syahadat, artinya bersaksi bahwa Tuhan itu Yang
Maha Esa. Nomer dua kita shalat tiap hari lima kali untuk mendidik diri kita
agar menjadi manusia yang adil dan beradab. Nomer tiga organisasi-organisasi
masyarakat dan terutama partai-partai politik harus bersatu memberikan seluruh niat
baiknya untuk membangun Negara. Parpol-parpol itu kita beri hak untuk menjadi
arsitek dibangunnya sistem Negara. Untuk itu mereka harus menjaga Persatuan
Indonesia, jangan bersaing untuk kepentingan, jangan menang-menangan satu sama
lain, jangan mementingkan golongannya masing-masing untuk berkuasa. Sebab Sila
keempat adalah bangunan Negara, milik Rakyat yang dipimpin oleh Permusyawaratan
dan Perwakilan. Kalau empat Sila itu tidak terpenuhi, mana mungkin bangsa kita
mencapai cita-citanya, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Duh-aduuuh, mestinya Sampiyan Pak Camat yang omong begini. Kalau saya ini Kiai
tugasnya kan Nahwu Shorof. Lha Sampiyan Nahwu Shorof `dak tahu, Pancasila juga
`dak ngerti….” []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
5 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar