Mengenal Macam-macam
Pujian: Manfaat dan Bahayanya
Pujian adalah pernyataan rasa kagum dan
penghargaan kepada sesuatu yang dianggap baik, indah dan sebagainya. Memang
wajar jika kita memuji kepada seseorang atas prestasinya atau
kebaikan-kebaikanya. Apalagi jika orang tersebut punya hubungan dekat dengan
kita, misalnya sahabat, kerabat, orang tua, anak dan sebagainya. Pujian jika
dilihat dari objeknya ada dua macam. Pertama untuk diri
sendiri kedua untuk orang lain.
Pertama, pujian untuk
diri sendiri. dalam hal ini Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Adzkar membagi
dua macam hukum memuji diri sendiri:
1. Madzmum (tercela)
jika dilakukan untuk membanggakan diri sendiri, menunjukkan keluhuran diri
sendiri, serta membedakan dari orang lain dan semacamnya. Allah berfirman dalam
Surat An-Najm ayat 31:
فَلا
تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ (النجم 31)
Dalam tafsir Al-Wajiz potongan
ayat tersebut ditafsiri dengan:
فلا تمدحوا
انفسكم ولا تبرئوها من الذنوب
“Maka janganlah kalian memuji diri
kalian dan jangan merasa bersih dari dosa.”
Begitu pula dalam Surat An-Nisa’ 49:
الم
تر الى الذين يزكون أنفسهم بل الله يزكى من يشاء ولا يظلمون فتيلا (النساء 49)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang
yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang
dikehendakinya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS. An-nisa’ 49).
Ayat tersebut menggambarkan orang-orang yang
memuji terhadap diri dan amal perbuatanya serta merasa diriya suci dan jauh
dari kejelekan, sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani, bahkan mereka
sangat kelewat dalam memuji dirinya sendiri dengan ucapan mereka نحن ابناء الله واحباؤه (kita adalah anak-anak Allah dan para kekasihnya). Maha
suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
2. Mahbub (terpuji)
jika demi kemaslahatan. seperti amar makruf nahi munkar, mendamaikan antara dua
orang yang bertikai, memberikan nasihat, mendidik, dan sebagainya. Dalam
hal ini boleh memuji diri sendiri dengan menuturkan kebaikan
diri sendiri disertai dengan adanya tujuan kemaslahatan tersebut. Sehingga
dengan menutur kebaikan diri sendiri, ucapan atau nasihatnya akan lebih mudah
diterima serta lebih meyakinkan orang lain, sebagaimana ucapan nabi Yusuf As
terhadap penguasa saat itu yang terekam dalam Al-Qur’an surat yusuf
55:
قال
اجعلنى خزائن الارض انى حفيظ عليم
“Yusuf berkata: jadikanlah aku
bendaharawan Negara (mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga
lagi berpengetahuan.”
Nabi Yusuf menyebut kebaikan dirinya
di hadapan penguasa agar penguasa tersebut mau mengangkatnya sebagai
bendaharawan negara, sehingga Nabi Yusuf bisa menegakkan hukum-hukum Allah
serta menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada yang mampu melakukan
semua itu melainkan hanya beliau.
Begitu pula kisah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ketika beliau membagikan ghanimah (harta
rampasan perang), di antara orang munafik ada yang menganggap Rasulullah
tidak adil dalam membaginya sehingga Rasulullah berkata:
والله
إني لأمين في السماء أمين في الأرض
“Demi
Allah sesungguhnya aku adalah sejujur-jujurnya orang di langit dan
di bumi.”
Di antara sahabat Nabi yang pernah memuji
dirinya sendiri dalam rangka ta’lim (pendidikan) adalah Abu hamid al-Sa’idi. Saat menyampaikan bagaimana shalat Rasulullah kepada para sahabat
lain, ia berkata:
أنا أعلمكم
بصلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Saya adalah orang yang paling tahu
mengenai shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Kedua pujian untuk orang
lain. Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan
bahwa di antara malapetaka yang disebabkan lisan adalah sebuah pujian. Oleh
karena itu memuji kepada orang lain tidak sepenuhnya dianjurkan, bahkan
terkadang pujian tersebut dilarang karena bisa menimbulkan dampak negatif yang
sangat membahayakan, baik bagi orang yang memuji maupun orang yang menerima
pujian. Malapetaka tersebut menurutnya ada enam, yang empat bisa
membahayakan orang yang memuji dan yang dua membahayakan orang yang menerima
pujian.
Bagi orang yang memuji, bahaya atau
petaka itu antara lain sebagai berikut:
Pertama, terkadang
dia berlebihan (lebay) dalam memuji orang
lain, sehingga ia terjerumus dalam kedustaan. Kholid bin Ma’dan berkata:
من
مدح إماما أو أحدا بما ليس فيه على رؤوس الأشهاد بعثه الله يوم القيامة يتعثر
بلسانه
Barangsiapa memuji seorang pemimpin
atau seseorang di muka orang banyak dengan sesuatu yang tidak ada padanya,
niscaya dibhari kiamat Allah akan membangkitkanya dengan tergelincir disebabkan
lisannya.
Kedua dia memuji
dengan berpura-pura menampakkan rasa cinta atau simpati yang tinggi, padahal
sesungguhnya di dalam hatinya tidak. Dalam hal ini dia berbuat hipokrit (munafiq)
serta mencari muka (riya).
Ketiga dia menyatakan
sesuatu yang tidak sesuai dengan realita. Sehingga pernyataanya adalah sebuah
kebohongan atau bualan belaka.
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أن رجلا ذكر عِنْدَ
النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم – فاثنى عليه رجل خيرا فَقَالَ النبي صلى الله
عليه وسلم « وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ ، ». يقوله مِرَارًا - « ان كان
احدكم مادحا لا مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ كذا وكذا ، ان كان يرى انه كذالك
وحسيبه الله ولا يزكى على الله احدا » رواه
البخاري
Dari Abdirrahman bin Abi Bakroh dari
ayahnya berkata sesungguhnya seorang lelaki disebut di dekat Rasulullah SAW.
lalu lelaki yang lain memujinya maka Rasulullah berkata
(berulang-ulang),“Celaka, kamu telah menebas leher temanmu.” “Jika salah satu
di antara kalian harus (terpaksa) memuji maka hendaklah ia berkata, “Saya kira
si fulan demikian kondisinya, jika dia menganggapnya demikian, dan yang
mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan janganlah menyucikan seseorang
di hadapan Allah.. HR. Bukhori.
Begitu pula Sayyidina Umar suatu
saat pernah mendengar seorang lelaki melontarkan pujian pada orang lain, lalu
beliau berkata pada orang tersebut:
“Apakah
kamu pernah bepergian dengannya?”
Lelaki tersebut menjawabnya, “Tidak.”
“Apakah
kamu pernah berinteraksi denganya dalam masalah jual beli dan mu’amalah lainya?”
“Tidak.”
“Apakah
kamu bertetangga denganya di waktu pagi dan sore?” Tanya Umar lagi.
“Tidak.”
Sayyidina Umar berkata, “Demi
Allah yang tiada tuhan selain-Nya kamu tidak mengenal
orang tersebut.”
Keempat, kadang-kadang dengan
pujiannya, dia menyenangkan orang yang dipuji, padahal orang yang dipuji
tersebut adalah orang dzalim atau fasik. sedangkan memuji orang dzalim atau
orang fasik tidak diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah:
إن
الله تعالى يغضب اذا مدح الفاسق (رواه ابن ابى الدنيا والبيهقي)
Sesungguhnya Allah SWT murka
apabila ada orang fasik dipuji. (HR. Ibnu Abiddunya dan Al Baihaqi.)
Adapun dua bahaya atau petaka yang bisa
menimpa orang yang dipuji akibat pujian adalah:
Pertama: menculnya sifat takabbur
(sombong) dan u’jub (bangga diri) pada orang yang di puji, sehingga
memandang orang lain berada di bawahnya. Keduanya adalah sifat yang bisa
membinasakan. Al-Hasan radliyallahu ‘anh berkata, Suatu saat Sayyidina
Umar radliyallahu ‘anh duduk bersama orang-orang, dan beliau memegang
sebuah cemeti, lalu tiba-tiba datanglah Jarud bin Al-Mundzir dan salah seorang
dari mereka mengatakan, “Orang ini adalah kepala suku Rabi’ah.”
Perkataan tersebut didengar oleh Sayyidina
Umar ra dan orang-orang disekitarnya termasuk Al Jarud bin Al-mundzir, ketika
Al-Jarud mendekati Sayyidina Umar ra beliau memukulnya dengan cemeti. Al-Jarud
pun berkata, “Apa yang terjadi antara saya dan engkau wahai Amirul
Mukminin? Sayyidina Umar pun menjawab, “Apa yang terjadi
antara saya dan kamu? Bukankah kamu mendengar ucapan tadi?” Al-Jarud menjawab,
“Iya saya mendengarnya. Lalu Sayyidina Umar berkata, saya
khawatir perkataan tadi bercampur dengan hatimu, lalu aku ingin menundukkan
kepalamu.
Kedua, dengan dipuji
kebaikanya, maka dia akan merasa senang, puas dan bangga akan kebaikan
tersebut, sedangkan orang yang membanggakan dirinya (atas kebaikanya) maka dia
akan lengah atau teledor dalam beribadah kepada Allah, karena hanya orang yang
memandang dirinya masih kurang amal kebaikanyalah yang selalu waspada dan
bergegas dalam beribadah kepada Allah.
Namun jika pujian tersebut tidak membahayakan
baik bagi pelaku maupun penerima pujian, maka pujian semacam itu tidaklah
dilarang, bahkan terkadang dianjurkan. Karena itulah Rasulullah Saw pernah
memuji sahabatnya antara lain sahabat Abu Bakar dengan ucapanya, “Jikalau iman
Abu Bakar dan iman manusia seluruh alam ditimbang niscaya akan lebih berat iman
Abu bakar.” Begitu pula pujian yang lain kepada para sahabat lainya.
Adapun bagi orang yang dipuji, Imam
Al-Ghazali juga mengingatkan agar selalu waspada terhadap pujian dengan menjaga
dirinya dari sifat sombong, membanggakan diri, serta menjaga dirinya agar tidak
teledor terhadap amal-amal ibadahnya. Dan semua itu tidak dapat tercapai
melainkan dengan cara memandang dirinya dengan pandangan hina dan lemah serta
merenungkan akibat yang akan timbul seperti lembutnya riya dan bahaya yang
lain, sesungguhnya dialah yang mengetahui pada dirinya tentang apa-apa yang
tidak diketahui oleh orang yang memujinya. Dan hendaknya orang yang dipuji juga
menampakkan ketidaksukaanya saat ia dipuji (kepada orang yang memujinya) jika
pujian tersebut tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, Rasulullah
bersabda:
احثوا
التراب فى وجوه المداحين
“Taburkanlah debu pada wajah orang yang
berlebihan dalam memuji.” (HR. Abu Dawud)
Serta hendaknya merasa malu terhadap pujian
tersebut. sebagaimana dikatakan pula oleh Imam Atha’illah:
المؤمن
إذا مدح استحيا من الله أن يثنى عليه بوصف لا يشهده من نفسه
Orang mukmin sejati adalah apabila
mendapatkan pujian dia merasa malu terhadap Allah atas pujian yang diterimanya,
jika sifat tersebut tidak dimilikinya sama sekali.
Begitu pula jika dia mendapat pujian yang
telah terlontar dari mulut orang yang memuji hendaknya pula dia mengucapkan
ucapan sebagaimana diucapkan Sayyidina Ali ketika menerima pujian:
اللهم
اغفر لى ما لا يعلمون ولا تؤاخذنى بما يقولون واجعلنى خيرا مما يظنون
“Ya Allah ampunilah diriku karena
sesuatu yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau menyiksa diriku karena
apa yang mereka katakana dan jadikanlah diriku lebih baik dari apa yang mereka
sangka.”
Dari uraian di atas bisa kita pahami bahwa
suatu pujian bagaikan pedang bermata dua, yang bisa membahayakan, baik bagi
pelaku maupun penerima pujian. Oleh karena itu kita harus bijak dan selektif
ketika akan melontarkan pujian dan tidak terlalu murah mengobralnya, karena
bisa saja kita sebagai orang yang melontarkan pujian bisa terhindar dari bahaya
tersebut di atas, namun belum tentu bagi orang yang kita puji, sehingga maksud
hati kita akan mengutarakan penghormatan atau penghargaan pada orang lain tapi
justru kenyataanya kita malah menebas lehernya. Wallahu a’lam.[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar