Transkripsi Lengkap
Pidato Panglima TNI pada Peringatan Resolusi Jihad
Peringatan Resolusi
Jihad NU 22 Oktober 2015 digelar meriah oleh PBNU di Tugu Proklamasi, Jakarta.
Momen tersebut juga menjadi acara penyambutan pucak perjalanan Kirab Hari
Santri Nasional yang dilaksanakan sejak tanggal 18 dari Tugu Pahlawan Surabaya,
Jawa Timur. Pagi itu Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot
Nurmantyo yang datang bersama pasukan khusus dari Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara, memberikan orasi di hadapan para kiai, perwakilan
ormas-ormas Islam, serta ribuan pelajar dan santri dari berbagai daerah.
Berikut transkripsi lengkap pidato Gatot yang disampaikan menjelang peresmian
Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada siang harinya di Masjid
Istiqlal:
Assalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh,
Yang terhormat,
Ketua-ketua umum
ormas Islam
Tokoh tokoh lintas
agama
Para pejabat
pemerintah daerah dan para pejabat TNI Polri.
Para Ulama-Santri
segenap para alim ulama para Kiai, hadirin undangan yang bebahagia.
Tidak ada yang pantas
kita ucapkan selaian puja dan puji syukur kehaditrat Allah Swt. Karena hanya
ats kuasa dan ridhonya kita dapat hadir dalam acara oerungatan 70 Resolusi
Jihad Nahdlatul Ulama di Tugu Proklamasi yang memiliki nilai stratagis.
Dalam kesempatan ini
perlu saya jelaskan, mengapa begitu saya diundang saya hadir di sini. Saya
datang tidak sendirian, saya datang dengan dengan pasukan-pasukan khusus. Ada
Kopasus, ada Marinir, ada Paskas, ada Kostrad, ada Armed.
Ini untuk
mengingatkan genrai uda, bahwa perjuangan bangsa sejak proklamasi kemerdekaan
tidak dilakukan oleh TNI, tetapi yang merebut kemerdekaan adalah seluruh
komponen bangsa, termasuk para ulama. Setelah merdeka baru TNI lahir. Jadi yang
memerdekaan bangsa Indonesai bukan TNI, tetapi bapak-ibu kandung TNI, sehingga
TNI adalah anak kandung raya.
Karena sejarah
mencatat rangkaian peristiwa ini, bersentuhan langsung dengan kedaulatan
Republik Indonesia, Terdapat 4 peristiwa penting yang saling memengaruhi dan
saling menguatkan yaitu: peristiwa tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan
Republik Indonesia. 5 Oktober hari pembentukan TKR sekarang TNI. 22 Oktober
sebagai hari dicetuskannya Resolusi Jihad NU. Dan 10 November pecahnya perang
di Surabaya yang kita kenal sebagai hari pahlawan hanya dalam hitungan empat
bulan.
Pada kesempatan ini,
saya ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi yang tinggi terhadap semangat
dan motivasi yang ditunjukkan para santri sebagai generasi muda bangsa yang
terus memilihara dan meneguhkan komitmennya terhadap perjuangan para pahlawan serta
kecintaan pada tanah air, salah satunya diwujudkan pada gerak jalan
memperingati Resolusi Jihad yang menempuh jarak ratusan kilometer diawali dari
tugu pahlwan di Surabaya dan sampai di tugu proklamasi di Jakarta.
Hadirin undangan,
peserta gerak jalan yang berbahagia.
Setelah tujuh puluh
tahun berlalu, hikmah dan pelajaran yang diperoleh dari peristiwa Resolusi
Jihad antara lain: bahwa perjuangan melawan penjajah saat itu, terkait erat
dengan Resolusi Jihad yang dkumandangkan oleh rais akbar NU KH. Hasyim Asyari
pada tanggal 22 Oktober 1945.
Bangsa penjajah tidak
rela negeri ini merdeka sehingga berusaha untuk menguasia kembali tanah air
kita. NICA membonceng sekutu untuk menguasai tanah air Indoesia, namun hal itu
diketahui oleh para pejuang kemerdekaan dan ditindaklanjuti dengan merapatkan
barisan untuk menolak kedatangan kolonialis.Untuk itu para santri berkumpul di
seluruh wilayah, Jawa, Madura, seluruh Jawa mereka mengatur langkah strategi
perjuanangan sebagai kewajiban mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Peran KH Hasyim
Asy’ari
Dan pada tanggal 17
September 1945, Presiden Sokarno, memohon fatwa hukum mempertahankan
kemerdekaan bagi umat Islam kepada KH. Hasyim Asyari, sehingga KH. Hasyim
Asyari mengeluarkan sebuah fatwa jihad yang berisikan jihad bahwa perjuangan
membela tanah air adalah merupakan jihad fi sabilillah.
Dan selanjutnya
menilai situasi di sekitar Surabaya Jawa Timur, atas pemikiran Mayor Jenderal
TKR pada waktu itu, Mustopo, sebagai komandan sektor perlawaan Surabaya,
bersama Sungkono, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH. Hasyim
Asyari untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu
dan NICA yang dipimpin oleh Brigjend Mallaby untuk menunjukkan eksistensi
adanya perlawanan dan kedaulatan Republik Indonesia. Mengapa demikian, karena
pada saat memprokalamasikan kemerdekaan republik Indonesia 17 Agustus 1945,
banyak bangsa-bangsa dunia dan PBB belum yakin apakah perjuangan kemerdekaan
bangsa ini diberi hadiah oleh penajajah ataukah perlawanan rakyat. Untuk itu
makna perjuangan 10 November mempunyai makna yang luar biasa, bahwa bangsa
Indonesia bukan diberi tapi melawan mengusir penjajah. Maka lahirlah Resolusi
Jihad 22 Oktober 1945 yaitu berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu
ain yang dikerjakan oleh setiap orang Islam laki-laki, perempuan, anak-anak
bersenjata atau tidak.Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tenpat
masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran
tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah yang cukup kalau dikerjakan
sebagaian saja untuk membentu perjuangan di wilayahnya.
Tanpa Resolusi Jihad,
maka tidak ada perlawanan heroik. Jika tidak ada perlawanan heroik maka tidak
ada hari pahlawan 10 November. Dan bisa mungkin mustahil bangsa Indonesia ada
seperti saat ini.
Saya ingin pula
menceritakan bahwa sebenarnya, perlawanan secara heroik bukan dilaksanakan
tanggal 10, tetapi lebih awal. Jada pada saat itu KH. Hasyim Asyari
menyampaikan,”Kita tunda, kita menunnggu singa Jawa Barat, yaitu Kiai Abbas bin
Abdul Jamil”. Beliau adalah cicit dari MBah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet
Cirebon.
Dan KH. Hasyim Asyari
memerintahkan setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang, memerintahkan bahwa
komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin langsung
penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Pengaruh yang kuat
membuat keputusan KH. Hasyim Asyari tersebut mengundurkan waktu sangat tepat.
Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita kenal hari ini
menjadi hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik bahwa
peristiwa tersebut, bahwa perjuangan dan kepentingan mempertahankan kedaulatan
negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun
mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Tiga Jimat Jendral
Sudirman
Dalam kesempatan ini
pula saya ingin mengingatkan, dan menggarisbawahi bahwa perjuangan kemerdekaan
Resolusi Jihad, hari pahlawan, dan TNI memiliki hubungan historis yang erat dan
menentukan. Kita tahu bahwa panglima TNI yang abadi, yang pertama, yaitu
Jendral Sudirman, adalah seorang guru agama, seorang santri. Saya sedikit
menceritakan bagaimana perjuangan Jenderal Sudirman. Bahwa pada saat Jendral
Sudirman belasan orang melakukan gerilya, ada satu orang penghianat. Maka pada
saat Jendral Sudirman di rumah penduduk, karena penghianat ini melaporkan
kepada Belanda, dikepung.
Tim pengamanan paling
depan melaporkan, “Pak Dhe kita sudah dikepung.”
“Tenang, semuanya
ganti pakian, dan berdzikir bersama-sama saya.” (Mereka) melakukan tahlil
Lailahaillah, Lailahaillah, Lailahaillah.
Belanda masuk,
ditunjukkan anak buahnya Pak Dirman (yang pengkhianat itu), “Ini yang namanya
Sudirman, yang Tuan cari-cari selama ini.”
Dilihat-lihat (oleh
pihak Belanda),“Saya tidak percaya ini Sudirman.”
“Pak Saya anak
buahnya, saya bersama-sama bergerilya.”
Dilihat-lihat lagi,
tapi tetap tidak percaya.
Belanda itu mencabut
pistol. “Kamu pembohong!” Dan penghianat itu ditembak di depan Pak Dirman.
Makna ini
mengingatkan, jangan sekali-kali kita menjadi penghianat bangsa. Baru di dunia
saja sudah dihukum oleh Allah apalagi di akhirat nanti.
Kemudian, peristiwa
demi peristiwa Pak dirman dikawal oleh Pak Cokromanolo, dan Pak Suprajo Rustam.
Beliau berdua Pak Cokromanolo dan Pak Rustam, karena saking penasarannya
bertanya. Pak Dirman kadang-kadang dipanggl Pak Dhe kadang-kadang dipanggil Pak
Yai. “Pak Yai, saya pingin tahu, jimatnya Pak Yai itu apa? Kita dikepung, Pak
Yai tenang saja. Malah penghianat yang ditembak. Kita ditembaki, Pak Yai
tenang-tenang saja.”
Beliu menjawab, “Kamu
ingin tahu? Saya punya tiga jimat. Jimat yang pertama, saya tidak pernah lepas
dari bersuci. Jadi kalau batal wudhu kamu kan bawa kendi saya, saya selalu
berwudlu. Itu jimat yang pertama. Jimat yang kedua saya tidak pernah shalat
tidak tepat waktu. Selalu bersih, waktunya shalat saya pasti salat, kamu tahu
kan? Dan yang ketiga, jimat saya yang kegita adalah semua yang saya lakukan
dengan tulus dan ikhlas untuk rakyat dan bangsa Indonesia.” []
Wasslamua’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Ditranskripsi oleh
Fariz Alniezar
Video pidato lengkap
Jendral Gatot Nurmatyo bisa dilihat di situs Youtube dengan link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=I24ia_KQ23A
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar