Najiskah Air Mani?
Pertanyaan:
Apakah air mani itu
najis? Bila najis, apakah cara mencuci pakaian yang terkena air mani itu sama
dengan cara mencuci pakaian yang terkena darah haidh?
Agus
Dukhron Qori
– Komplek MI Muhammadiyah Jatijajar, Ayah, Kebumen
Jawaban:
Dalam permasalahan
najis atau sucinya air mani, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Sebagian ulama menyatakan bahwa air mani itu najis, sebagaimana pendapat
Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Malik. Sebagian ulama yang lain berpendapat air
mani itu suci, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad.
Dari dua pendapat
tersebut, yang rajih -insya’ Allah- adalah pendapat kedua, yang menyatakan
bahwa air mani itu suci. Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallâhu
‘anhâ yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh, di
antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)
“Bahwasanya aku
dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR.
Muslim)
Dalam lafazh lain:
لَقَدْ كُنْتُ
أَحُكُّهُ يَا بِسًا بِظُفْرِي مِنْ ثَوْبِهِ (رواه مسلم)
“Dahulu aku mengerik
air mani yang telah kering dengan kukuku dari pakaian Rasulullah.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas,
jelaslah bahwa air mani merupakan sesuatu yang suci karena:
1.
Perbuatan ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa membersihkan air mani yang telah kering
tersebut hanya mengerik dengan kukunya. Kalau seandainya air mani adalah
sesuatu yang najis, maka tidak cukup mensucikannya hanya dengan mengeriknya.
2.
Sikap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunda pembersihan air mani
yang menimpa pakaiannya hingga kering, juga menunjukkan bahwa air mani itu
suci. Kalau seandainya najis, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
akan segera membersihkannya, sebagaimana kebiasaan beliau di dalam mensikapi
benda-benda najis, seperti peristiwa tertimpanya pakaian Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam oleh air kencing anak kecil. Dalam hadits Ummu Qais binti
Mihshan yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim yang artinya;
Dia (Ummu Qais binti Mihshan -red) datang menemui Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang bayi yang belum memakan makanan,
kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendudukkannya di kamarnya,
kemudian bayi tersebut kencing di pakaian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka segera Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta air dan
menyiramkannya pada pakaiannya.
Begitu pula peristiwa
seorang Badui yang kencing di masjid, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Anas
bin Malik radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang kedua
ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan merupakan
pendapat kebanyakan para ulama.
Sementara itu, cara
membersihkan air mani adalah dengan dua cara:
1.
Boleh dicuci dengan air, sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh:
كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِي ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاةِ فِي ذَلِكَ
الثَّوْبِِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ (متفق عليه)
“Bahwasanya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencuci air mani, kemudian keluar
shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, sementara aku melihat adanya bekas
cucian tersebut.”
2.
Dengan mengeriknya (dengan kuku), sebagaimana dalam hadits yang telah lalu jika
air mani telah kering. Dan juga boleh dicuci walaupun telah kering.
Sedangkan darah haidh
adalah sesuatu yang najis hukumnya dan cara mencucinya pun berbeda (dengan cara
mencuci air mani) serta cenderung lebih ekstra. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Asma’ binti Abi Bakr yang kurang lebih artinya:
“Telah datang seorang
wanita kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: ‘Salah
satu dari kami telah tertimpa pakaiannya oleh darah haidh, apa yang bisa dia
lakukan?’ Berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam: ‘Dikerik (dengan
kukunya), kemudian dikucek dengan air, kemudian dibasuh/disiram dengan air,
kemudian boleh baginya shalat dengan memakai pakaian tersebut.’” (Muttafaqun
‘alaih)
Dari hadits tersebut,
diketahui bahwa darah haidh adalah darah yang najis, karena Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan cara yang
ekstra ketat sebelum digunakan pakaian tersebut untuk shalat. Bahkan dalam
riwayat hadits Ummu Qais yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan air yang
telah dicampur dengan daun bidara. Sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh
Muqbil di dalam kitabnya Al-Jaami’ Ash-Shahih (1/481) dengan judul ‘Bab Tata
Cara Mencuci Darah Haidh’.
Dengan ini telah
jelaslah perbedaan hukum air mani dengan darah haidh serta cara mencuci
keduanya.
Wallaahu a’lamu bish
shawaab.
Al-Ustadz
Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar