Obat dan
Penyembuhan
Oleh: M. Quraish Shihab
Dalam al-Qur’an dan Sunnah
ditemukan sekian banyak teks yang berbicara tentang penyakit dan pengobatan.
Salah satu yang sangat populer adalah firman-Nya, membenarkan ucapan Nabi
Ibrahim as.: Wa idzâ maridhtu fahuwa yasyfîni. Bila aku sakit, maka
Allah yang menyembuhkanku (QS. asy-Syu’arâ’ [26]: 80). Firman-Nya ini
mengisyaratkan paling tidak dua hal.
Pertama:
“Bila aku sakit” mengandung makna bahwa penyakit—yang diderita—terjadi karena
kesalahan manusia, baik langsung maupun tidak. Kesalahan itu antara lain karena
yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan sistem yang
ditetapkan-Nya. Dari sini ditemukan tuntunan yang berkaitan dengan aneka
kegiatan yang fungsinya pencegahan. Misalnya pemeliharaan kebersihan,
memasak air yang akan diminum, kadar makanan yang dikonsumi, serta perlunya
makan secara proporsional dan bergizi.
Kedua: “Allah
yang menyembuhkanku” menunjuk Penyembuh yang sebenarnya. Tangan
dokter, obat, atau aneka cara penyembuhan hanyalah satu dari sekian sebab.
Allah adalah Pencipta aneka sebab dan Yang Mahakuasa menghimpunnya.
Bahwa
Allah Penyembuh bukan berarti manusia boleh berpangku tangan. Manusia harus
berusaha menemukan sebab-sebab penyembuhan. Nabi saw. berkali-kali
memerintahkan berobat dan mencari cara pengobatan yang tepat. Sabda beliau:
“Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali menurunkankan obatnya. Obat itu
diketahui oleh yang (berhasil) mengetahuinya dan tidak diketahui oleh yang
gagal menemukannya.”
Nabi saw.
pun tidak jarang memberi saran dalam rangka pengobatan. “Pengobatan” Rasul saw.
itu bukanlah sesuatu yang baku atau harus diikuti karena saran-saran tersebut
lahir dari pengalaman pengobatan pada masa beliau, yang tentu saja dapat
berkembang berkat pengalaman baru dan penelitian sesudah masa beliau. Mengikuti
perkembangan modern dalam pengobatan—selama tujuannya memelihara
kehidupan—adalah sesuatu yang sangat dianjurkan.
Allah
memerintahkan kita untuk tolong-menolong dalam kebaikan (QS. al-Mâidah [5]: 2).
Ini adalah yang berada dalam wilayah kemampuan manusia serta dalam batas
hukum-hukum sebab dan akibat yang ditetapkan-Nya itu. Dokter, bukan petani,
yang mestinya dimintai bantuan guna penyembuhan karena dokter banyak mengetahui
hukum sebab dan akibat yang berkaitan dengan penyakit dan pengobatan. Tapi
sekali lagi harus diingat bahwa yang mengantar sebab menghasilkan
akibat adalah Allah sendiri, setelah sebelumnya Dia sendiri juga yang
menetapkan hukum dan sistem berlakunya.
Tidak
jarang tim dokter telah “menyerah”, bahkan telah memperkirakan batas
waktu kemampuan pasien bertahan hidup, namun dugaan mereka meleset, bahkan si
pasien tak lama kemudian segar bugar. Inilah yang dinamai ‘Inâyatullah, yakni
pemeliharaan/pertolongan Allah yang berada di luar kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku.
Tidak ada
alasan logika meragukan adanya ‘Inâyatullah ini karena tak ada
perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dengan peristiwa yang terjadi
berulang-ulang, selama kita percaya bahwa yang mewujudkannya adalah Allah
swt.
Atas
dasar itu pula, maka doa merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh dalam
pengobatan. Alexis Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran, menulis dalam
bukunya Pray bahwa: “Sangat sulit mengetahui apa di balik kesembuhan tanpa
pengobatan, demikian juga faktor hakiki penyembuhan akibat penggunaan obat-obat
tertentu, kendati banyak pasien yang benar-benar mengalami kesembuhan
sempurna berkat perasaan yang tulus dan melalui doa.”
Karena itu, jika berobat atau
mengobati, jangan tidak berdoa. Jangan juga kalau ada obat atau cara pengobatan
yang dinilai telah gagal—katakanlah penggunaan life support machine—jangan
menghabiskan waktu dan menghamburkan uang melanjutkannya. Jangan ragu mencari
alternatif lain, salah satunya adalah berdoa dengan tulus, selama semua
kemampuan berusaha telah dilakukan dan selama tidak bermaksud mengakhiri hidup
seseorang. Demikian, wa Allah A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar