Kamis, 19 Juli 2012

BamSoet: Aset Century versus Proses Hukum

Aset Century versus Proses Hukum


Bambang Soesatyo

Anggota Timwas Century/

Komisi III DPR RI



Perburuan aset eks Bank Century bernilai triliunan rupiah di luar negeri ibarat perburuan 'angin sorga'. Sebab, kita tidak akan bisa menyederhanakan konstruksi kasus maupun proses hukum mega skandal ini seenaknya menurut versi kita sendiri. Saya menduga itu hanya 'trik' agar muncul kesan tidak ada kerugian negara dalam kebijakan bailout Bank Century. Padahal sekali pun nantinya semua aset itu bisa dikembalikan, mereka yg melanggar hukum dan menyalahgunakan kekuasaan dalam skandal ini tidak boleh lolos dari jerat hukum.



Itu sudah menjadi tuntutan rakyat yang telah dituangkan dalam Dokumen Hasil sidang Paripurna DPR RI dan menjadi temuan BPK. Sudah terbukti bahwa semua transaksi tdk wajar yg merugikan Bank Century telah dibebankan pada Penyertaan Modal Sementara (PMS). Negara otomatis dirugikan krn dana PMS bersumber dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang nota bene  adalah lembaga keuangan negara.



Bukti permulaan yang memperkuat indikasi pelanggaran hukum, penyalahgunaan wewenang serta unsur kerugian negara, terbilang sangat komprehensif. Bahkan terus bertambah. Sembilan temuan BPK dari audit investigatif, plus 13 temuan BPK lainnya dari audit forensik, ditambah hasil pemeriksaan Pansus DPR menjadikan bukti permulaan mega skandal ini sudah lebih dari cukup. Kepeutusan pengadilan yang memerintahkan pembayaran kepada nasabah Antaboga bisa dilihat sebagai bukti tambahan yang sahih. Tafsir lain dari Keputusan pengadilan itu menunjukan bahwa otoritas keuangan, dalam hal ini bank sentral, melakukan kecerobohan yang disengaja dalam mengawasi manajemen Bank Century.



Artinya, keputusan pengadilan itu memberi tambahan panduan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidik dan menyelidiki skandal ini. Insitusi negara yg terlibat pun sudah sangat jelas, dari Bank Indonesia (BI), Komite Stabilitas Sektor Keuangan ( KSSK) hingga LPS. Siapa saja yg memimpin institusi-institusi itu pun sdh menjadi fakta terbuka. BI kala itu dipimpin Boediono yang kini menjabat Wapres. Sedangkan KSSK dipimpin mantan Menkeu Sri Mulyani. Semuanya tercatat dalam dokumen DPR maupun dokumen BPK.



Semua upaya KPK maupun Polri dalam menangani skandal ini layak dihargai. Tetapi, jangan sampai fokus pemeriksaan dilokalisir pada peran dan tanggungjawab pihak-pihak di level menengah ke bawah. Kesan ini sudah lama mengemuka di ruang publik. Belum lama ini misalnya, diumumkan bahwa  sudah 24 berkas perkara yang berstatus P21 (lengkap) dengan jumlah tersangka 37 orang dalam kasus Bank Century.  Bagaimana pun, itu sebuah progres. Namun, data ini belum bisa memuaskan rasa keadilan publik.



Bahkan, muncul pertanyaan,  apakah penyelidikan dan penyidikan skandal ini hanya bisa sampai sosok-sosok seperti mereka saja? Publik prihatin. Sebab, selama hampir tiga tahun belakangan ini, penanganan mega skandal ini praktis belum menunjukan kemajuan yang berarti.  Pada aspek dugaan korupsi dalam kasus ini, belum semua pimpinan KPK sepakat menaikkan staitus kasus Bank Century ke tahap penyidikan.



Sejauh ini, penegak hukum belum menyentuh inti persoalan skandal ini, yakni penyalahgunaan wewenang sebagai muara dari skandal ini. Penyalahgunaan wewenang dengan konsekuensi terjadinya pelanggaran hukum yang masif dan menyebabkan kerugian negara. Muncul kesan bahwa ada keengganan penegak hukum untuk memasuki areal inti persoalan.



Sebaliknya, untuk memberi kesan kepada masyarakat bahwa mereka bekerja menangani kasus Bank Century, penegak hukum sigap memburu tersangka lain yang secara politis tidak berdaya untuk melakukan perlawanan. Maka, rampunglah 24 berkas perkara untuk 37 tersangka itu. Idealnya, semua berkas perkara itu dilihat sebagai konsekuensi logis dari penyalahgunaan wewenang oleh pemegang otoritas sektor perbankan. Kesimpulannya, apa yang sudah dicapai penegak hukum sampai saat ini baru bagian terluar dari persoalan utama kasus Bank Century.



Mengalihkan Perhatian



Demikian pula ketika baru-baru ini berkembang wacana tentang upaya mengembalikan aset eks Bank Century yang ditemukan di Hongkong. Kerja keras tim pencari aset Bank Century harus diapresiasi. Tetapi, sekali lagi, dia tidak akan bisa menjawab inti persoalan kasus ini. Bahkan, sekali pun semua aset eks Bank Century di luar negeri pada akhirnya bisa dirampas nantinya, tetap saja masalahnya belum selesai. Rakyat akan tetap menuntut dilaksanakannya proses hukum terhadap siapa saja yang menyalahgunakan wewenangnya  sehingga mega skandal ini bisa terjadi.



Aset Bank Century tersimpan di empat negara, meliputi  Hongkong, Bahama, Swiss dan Singapura. Di Hongkong berupa uang tunai Rp 86 miliar, serta surat berharga yang berjumlah 388 juta dolar AS dan 650.000 dolar Singapura. Di Swiss, atersimpan dana senilai 155 juta dolar AS. Karena perbedaan hukum, tidak mudah menarik aset-aset itu kembali ke Indonesia. Otoritas hukum di Hongkong menilai keputusan Pengadilan Jakarta Pusat belum bisa diartikan sebagai perintah perampasan. Pemerintah Indonesia diminta mengacu pada sistem hukum di Hongkong. Sedangkan pengadilan di Swiss berpendapat putusan Pengadilan Jakarta Pusat menunjukkan adanya masalah administrasi negara yang tidak bisa dijadikan alasan merampas aset.



Berbagai kalangan yang awam hukum pun sejak awal paham bahwa untuk menarik aset-aset itu dari negeri  lain terbilang amat sulit. Selain persoalan teknis hukum, pun memerlukan waktu yang lama dengan  biaya yang tidak sedikit. Buktinya, dari Hongkong, sudah muncul perlawanan dari pihak ketiga yang menggugat usaha tim pengembalian aset Bank Century. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kenyataan bahwa orang-orang Indonesia dengan perilaku seperti Robert Tantular tidak sedikit. Mereka sudah tahu betul bagaimana  caranya menyimpan dan mengamankan hasil rampokan dari Indonesia di luar negeri.



Pesan yang ingin ditekankan di sini adalah jangan sampai kisah tentang pencarian dan upaya pengembalian aset eks Bank Century di luar negeri dijadikan sebagai isu untuk mengalihkan masalah. Pun, jangan sampai juga upaya pengembalian aset itu dijadikan alasan untuk menyederhanakan kontruksi hukum kasus Bank Century maupun proses hukumnya.



Kalau benar-benar ingin memburu dan mengembalikan kekayaan Indonesia yang dibawa kabur ke negeri lain, tim pemburu aset jangan hanya jadi tim 'pemburu angin' yang hanya menghabis-habiskan uang negara namun tanpa hasil. Seharusnya tim tersebut juga memburu juga para buron BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang kini bersembunyi di sejumlah negara. Aset para buron BLBI jauh lebih besar dibanding nilai aset eks Bank Century yang disembunyikan di luar negeri. Dalam kasus BLBI, negara dirugikan sampai ratusan triliun rupiah. Perampokan terbesar dalam sejarah keuangan di Indonesia.



Jadi, dalam menyikapi kasus Bank Century dan proses hukumnya, acuannya tetap pada tiga indikasi ini; penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum yang masif dan kerugian negara.



Sudah barang tentu semuanya berharap aset eks Bank Century bernilai triliunan rupiah itu bisa dikembalikan ke Indonesia. Tetapi, itu bukanlah persoalan utamanya. Lagipula, belajar dari kasus BLBI, banyak kalangan pesimis aset-aset itu bisa kembali ke tanah air. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar