Kamis, 05 Juli 2012

(Ngaji of the Day) Seputar Perbedaan Ilmu Hisab dan Penentuan Hari Raya (1)


Seputar Perbedaan Ilmu Hisab dan Penentuan Hari Raya (1)



Ilmu hisab (astronomi) tentang posisi bulan yang berkembang di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:



1.     Ilmu Hisab Hakiki Taqribi. Yang termasuk kelompok ini antara lain Sullamun Nayyirayn oleh Muhammad manshur Ibn Abdil Hamid ibn Muhammad ad-Damiri al-batawi dan Fathur Rauful Mannan oleh KH Dahlan Semarang.

2.     Ilmu Hisab Hakiki Tahqiqi. Yang termasuk kelompok ini antara lain Khulashotul Wafiyah oleh KH Zubeir, Badi’atul Mitsal oleh KH Ma’shum dan Nurul Anwar oleh KH Nur Ahmad

3.     Ilmu Hisab Hakiki Tahqiqi Kontemporer. Yang termasuk kelompok ini antara lain New Comb, Astronomic Almanac, Nautical Almanac, Islamic Calender, dan Astronomical Formula for Computer.



Pengelompokan tersebut didasarkan atas usia temuan data tentang gerakan benda-benda langit –terutama Matahari, Bulan dan Bumi– yang menjadi acuan hisabnya, yakni mulai dari temuan Sultan Ulugh Beyk di abad ke-14 Masehi (abad ke-9 Hijriyah) hingga temuan temuan astronomis di abad ke-20 serta temuan kontemporer yang selalu dikoreksi dengan rukyat demi rukyat (baca: observasi demi observasi). Oleh karena itu pengelompokan tersebut sekaligus meneunjukkan derajat kecermatan atau akurasinya.



Persoalannya adalah bahwa ilmu-ilmu hisab dari semua kelompok yang memiliki derajat ketelitian yang berbeda-beda tersebut sama-sama ikut mengambil bagian untuk “didengar suaranya” dalam menentukan awal bulan qamariyah (Hijriyah) di Indonesia. Oleh karena itu manakala kepada para ahli hisab kapan awal bulan A atau awal bulan B qamariyah, maka lumrah saja jika jawaban mereka kadang berbeda-beda.



Memperkecil Perbedaaan



Terjadinya perbedaan hasil hisab tentang saat terjadinya ijtima’ (konjungasi) dan irtifa’ (ketinggian) hilal dalam derajat yang amat mencolok dari sudut ilmu pasti sangat sulit untuk ditoleransi. Apalagi obyek kajian ilmu hisab yang berbeda-beda hasil hitungannya itu tadi adalah gerakan dan lintasan benda-benda langit yang sama. Karena itu --tidak bisa tidak-- upaya untuk memperpendek jarak perbedaan --jika belum mungkin untuk menyamakannya-- harus segera dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para ahli hisab sendiri. Sebab, suara para ahli hisab yang berbeda-beda --di samping membingungkan lambat-laun akan menurunkan wibawa mereka sendiri di mata umat.



Mengingat produk hitungan ilmu hisab itu bukanlah perkara “ghaib” yang bersangkut paut dengan iman, melainkan produk dari suatu metoda ilmiah, maka hubungan seorang ahli hisab dengan metoda hisab yang dianutnya hendaknya tidak mengambil pola pendekatan imani dengan menempatkan metoda hisabnya itu sebagai “kaidah yang diturunkan dari langit”, melainkan harus mengambil pola pendekatan ilmiah juga, yakni siap menguji kebenarannya secara empirik. Jika tenyata ada selisih, ia harus memiliki kesiapan untuk memodifikasi metoda hisab itu, atau dengan sikap terbuka menerima kehadiran metoda hisab lain yang lebih akurat. Bersikukuh untuk tetap menyuarakan hasil perhitungan dari metoda hisab yang terbukti selalu meleset sama artinya dengan sengaja memfatwakan kekeliruan.



Pengujian secara empirik hasil perhitungan dari sesuatu metoda hisab adalah dengan rukyat atau observasi, baik untuk variable ijtima’ maupun untuk variable irtifa’. Mengingat kedudukannya sebagai media pengujian, maka rukyat tersebut harus dilakukan dengan ketajaman akurasi yang memadai, baik dari segi ukuran ruang maupun waktu. Kerjasama dengan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di bidang ini, seperti pusat-pusat observatorium astronomi, mutlak diperlukan dalam rangka memperoleh rukyat yang akurat itu tadi.



Terdapat kesulitan untuk menguji ijtima’ dengan rukyat karena peristiwa ijtima’ itu sangat jarang yang dapat dirukyat. Bahagian terbesar dari peristiwa ijtima’ sama sekali tidak dapat dirukyat. Di dalam Compton's Pictured Encyclopedia jilid 9 halaman 480 (The Plulse of the Moon) dinyatakan: “The new moon can be the subject of no pictured errors since we see it at all.” (Bulan baru/ijtima’ dapat menjadi penyebab kesalahan-kesalahan yang tak tergambarkan karena kita tidak pemah merukyatnya).



Nah, peristiwa ijtima’ yang dapat dirukyat adalah kusufusy syams atau gerhana Matahari. Oleh karena itu peristiwa gerhana Matahari total yang terjadi kemarin merupakan kesempatan emas bagi para ahli hisab untuk menguji akurasi hasil hisabnya tentang saat terjadinya ijtima’.



Kesulitan pengujian ijtima' yang diakibatkan oleh jarangnya terjadi peristiwa gerhana Matahari bisa diatasi dengan pengujian peristiwa istiqba1, yaitu dengan merukyat peristiwa khusuful qamar atau gerhana Bulan yang tenyata lebih sering terjadi. Tingkat kekeliruan hasil perhitungan mengenai saat terjadinya khusuful qamar adalah gambaran dari tingkat kekeliruan hasil perhitungan mengenai saat terjadinya ijtima’.



Soal Sulamun Nayyirayn



Dalam hubungan ini terobosan hisab kitab Sullamun Nayyirayn patut diajukan sebagai contoh. Suatu tanbih atau peringatan dari kitab hisab Sullamun Nayyirayn yang ditujukan kepada para pengguna metoda tersebut menegaskan bahwa apabila terjadi selisih waktu antara saat ijtima-' atau istiqbal yang dihasilkan dari Sullamun Nayyirayn dengan saat Khusuf dan Kusuf senyatanya yang bisa dirukyat, maka untuk penyesuaian agar diperoleh yang lebih tepat hendaknya selisih waktu tersebut ditambahkan kepada saat ijtima-' yang dihasilkan dari hisab Sullamun Nayyirayn. Sebab, tabel hisab Sultan Ulugh Beyk al-Samarqandi yang diacu oleh Sullamun Nayyirayn adalah tabee hisab yang sudah lama yang natijah-natijahnya sudah kurang tepat setelah berlalunya masa yang panjang. “Penyesuaian” adalah langkah penting yang senantiasa ditempuh oleh para falaki dalam rangka mempertajam perhitungan mengenai gerakan an-Nayyirayn (Matahari dan Bulan). Esensi tanbih yang dinamis dan terbuka dari Sullamun Nayyirayn ini adalah menifestasi dari sikap ilmiah falaki yang sejati.



Selanjutnya untuk variabel irtifa’ atau ketinggian hilal, pengujiannya dengan rukyat hilal tanggal satu adalah relatif sulit. Disamping karena ketinggiannya rendah dan saat munculnya di atas ufuk relatif singkat, juga karena cahayanya masih terlalu lemah dan tipis sehingga mudah hilang ditelan oleh kecerlangan warna mega yang melatarbelakanginya atau ditutup oleh polusi udara dan mendung yang tipis sekalipun. Untuk kepentingan pembuktian, rukyat hilal perlu dilakukan pada tanggal dua atau tanggal tiga dengan mengukur irtifa’nya secara cermat dengan memanfaatkan alat ukur ketinggian benda langit yang teruji akurasinya. Pengukuran itu hendaknya dilakukan berkali-kali dalam bulan yang berlainan, dan hasilnya difungsikan sebagai juri yang adil untuk memutuskan metode hisab mana yang paling akurat hasil hitungan irtifa' hilalnya.



KH Abdul Salam Nawawi

Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar