Kamis, 27 Oktober 2016

(Hikmah of the Day) Dua Kiai Berbeda dalam Watak Bersatu dalam Totalitas



Dua Kiai Berbeda dalam Watak Bersatu dalam Totalitas

Di antara para guru kami di pesantren adalah Kiai Ali Muchsin dan Kiai Arif Madani. Kiai Arif Madani adalah putra dari Kiai Madani Maarif, pengasuh Pondok Pesantren Sumber Bungur, Pakong Pamekasan. Sedangkan Kiai Ali Muchsin merupakan sang menantu.

Di antara keduanya (Kiai Ali Muchsin dan Kiai Arif Madani) terdapat perbedaan yang mencolok mengenai watak mereka. Dalam pandangan para santri termasuk penulis sendiri dahulu, Kiai Ali Muchsin identik dengan pribadi yang lurus, sabar tidak pemarah dan selalu sumringah. Berbeda dari Kiai Arif Madani yang identik dengan amarah, dan suara yang menggelegar. Oleh karenanya para santri sahabat-sahabat saya waktu dulu, jangankan mendengar suara beliau berbicara, mendengar suara sandal atau bangkiaknya saja sudah lari terbirit-birit.

Penulis mengaji kepada Kiai Ali Muchsin kitab Taqrib dan Tashil Nailil Amani. Ketika mengaji, Kiai Ali Muchsin fokus membaca kitab dan menerangkannya. Ia tidak pernah menghiraukan apa yang terjadi pada para santri, entah didengarkan atau tidak, entah tidur atau tidak, ia tidak peduli dan terus saja memabahas isi dalam kitab tersebut. Dalam kebanyakan kasus, pengajian Kiai Ali Muchsin sering dihadiri oleh mayoritas santri, meskipun tidak jarang di antara mereka ada yang tidur. Beberapa santri junior (masih baru) menggerutu jika mengikuti pengajian Kiai Ali Muchsin. Demikian pula penulis saat masih baru dulu.

Berbeda dari pengajian yang diselenggarakan Kiai Arif. Para santri dijamin tidak bisa tidur dan tidak mungkin ngantuk dalam pengajiannya. Di samping karena takut, juga karena Kiai Arif bisa membawa para santri pada suasana santai dengan guyonan yang biasa diselipkan ke tengah-tengah pengajian.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir sekarang, Kiai Ali Muchsin bukannya tidak alim dalam ilmu. Bahkan bisa dikatakan dirinya penuh totalitas jika harus membahas satu pasal saja dalam sebuah kitab. Dan mungkin sebenarnya hal inilah yang membuat para santri itu tidur, sebagian lagi menggerutu dan ada pula yang menganggapnya aneh.

Ketika membahas sebuah pasal pendek dari kitab Taqrib, Kiai Ali Muchsin bisa dengan asyiknya menjelaskan selama berjam-jam dan tanpa meleset dari pokok permasalahan. Bahkan suatu ketika di tengah-tengah pengajian ia menyempatkan izin kepada para santrinya untuk mengambil referensi lain di ‘ndalem’-nya sebagai bahan tinjauan.

“Sebentar ya para santri ya, saya ambilkan kitab lain yang membahas hal ini sebagai penjelasan tambahan,” kata Kiai Muchsin.

Mendengar perkataan itu, para santri mendesah pelan: “Hedeehh….! Nambah dua jam lagi pengajian ini.” Sejurus kemudian mereka merebahkan diri sepeninggal Kiai Muchsin dari mushalla tempat mengaji.

Kiai Muchsin pun keluar dengan tenang dan seakan-akan tidak melihat apa yang terjadi, tidak mendengar gerutu para santri dan tidak mengerti perasaan dongkol mereka. Lima belas menit kemudian ia membawa sebuah kitab yang dimaksud, di mana ketika itu saya tidak tahu namanya apa. Kiai Ali Muchsin pun menerangkan sejelas-jelasnya isi kitab lain tersebut. Sontak saja pengajian tersebut selesai sekitar dalam waktu “injury time”, lebih kurang 2 (dua) jam kemudian.

Dalam kondisi seperti itu, tidak jarang Kiai Arif Madani membantu ‘menertibkan’ para santri. Ia sering memantau kondisi pengajian Kiai Ali Muchsin, karena memang tidak jarang, di antara para santri yang mengaji di luar mushala (karena kondisi mushala yang sudah penuh) hanya tidur saja dan ‘guyon’ di antara mereka. Kiai Arif Madani menertibkan santri-santri yang demikian ini biasanya hanya dengan satu kali suaranya yang agak keras, atau suara sandal atau bengkiaknya. Dan seperti sudah berlangsung secara mekanis, para santri langsung berhamburan masuk ke dalam rauangan yang sudah penuh itu bahkan sampai-sampai melangkahi, atau bertindihan dengan santri-santri yang sedang tidur di dalam ruangan mushala. Kiai Arif Madani memang tidak pernah rela ada santrinya meremehkan pengajian, meremehkan kitab dan para guru.

Dalam kondisi seperti itu, Kiai Ali Muchsin masih dengan tenangnya menanggapi: “Ada apa, rek….?.” Subhanallah, Kiai Ali Muchsin…

Demikianlah, Kiai Ali Muchsin dan Kiai Arif Madani, berbeda dalam watak, bersatu dalam totalitas terhadap ilmu. []

R. Ahmad Nur Kholis, Kontributor NU Online Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar