Buah Kejujuran
Oleh: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Sebagai agama yang mengedepankan aspek moral, Islam mengajarkan sifat kejujuran dalam berperilaku baik secara pribadi maupun berinteraksi di tengah masyarakat. Efek dari kejujuran sangatlah luar biasa, seperti kesuksesan yang telah dicapai para ulama besar terdahulu. Salah satu aspek dibalik kesuksesan itu adalah sifat kejujuran.
Alkisah, dahulu di tanah Jailan, Bagdad, ada seorang santri kecil yang sangat jujur dalam bersikap. Dia bernama Abdul Qadir. Suatu ketika, ia ingin menuntut ilmu di negeri seberang. Karena ketika itu, alat transportasi masih sulit, ibunya menitipkan Abdul Qadir kepada sebuah kafilah (rombongan) yang ingin berdagang agar sampai kepada guru yang dituju.
Sebelum berangkat, Ibunya berpesan kepada Albul Qadir agar selalu jujur dalam perkataan. “Nak, jika kamu ditanya siapapun, jawablah dengan jujur!” kata Ibu Abdul Qadir menasehatinya. “Iya bu, nasehat ibu akan selalu aku pegang” jawab Abdul Qadir. Lalu, sang ibu menjahitkan uang saku untuk Abdul Qadir di bawah ketiak bajunya, untuk menjaga keamanan. Setelah itu, beragkatlah Abdul Qadir bersama kafilah itu.
Sampai di tengah perjalanan, kafilah yang membawa Abdul Qadir diboikot oleh segerombolan perampok. Semua barang dagangan, perhiasan termasuk uang dirampas. Setelah satu-persatu para anggota kafilah diperas harta bendanya, tinggallah Abdul Qadir. Lalu, Mendekatlah salah satu angota perampok kepada abdul Qadir dan mengintrogasinya.
“Mau kemana kamu anak kecil?” Tanya anggota perampok. “Saya mau menuntut ilmu di negeri seberang, pak” jawab Abdul Qadir. “Apa kamu membawa uang?” tanyanya lagi. “Iya, saya membawa uang yang dikasih ibu” jawab Abdul Qadir dengan polosnya. “ah, masa? Anak lusuh dan miskin seperti kamu punya uang? Lalu anggota perampok itu mengadukan perihal anak kecil lusuh yang mengaku memiliki uang itu kepada sang pimpinannya.
Karena tertarik perihal pengakuan anak kecil yang mengaku memiliki uang, datanglah ketua perampok itu kepada Abdul Kadir. “ Siapa namamu nak?” Tanya pimpinan perampok itu. “Abdul Qadir” jawab anak kecil itu. “Apa benar kamu membawa uang?” tanyanya lagi. “Iya, ibu menjahitkan uang saku di bawah ketiak baju saya” jawab Abdul Qadir. Lalu, pimpinan perampok itupun mengecek kebenaran perkataan Abdul Qadir. Ternyata benar, didapatinya sejumlah uang dibawah ketiak baju Abdul Qadir. Pimpinan perampok itupun tertegun keheranan.
“Kenapa kamu mau mengaku bahwa kamu punya uang?” Tanya pimpinan perampok dengan penuh tanda tanya. “Ibu yang menasehati, supaya saya harus selalu jujur jika ditanya” jawab Abdul Qadir. Mendengar ketulusan dan kejujuran jawaban Abdul Qadir, pimpinan perampok itupun menundukkan kepala dan menitikan air mata. Dia malu pada Abdul Qadir, yang begitu teguh memegang kejujuran, sedangkan dirinya merasa telah banyak berbuat kemaksiatan. Seketika itu juga, pimpinan perampok itu pun menyatakan bertaubat dan ingin menjadi murid Abdul Qadir yang masih belia, diikuti seluruh anak buahnya.
Lambat laun, Abdul Qadir pun menjadi orang dewasa yang cerdas, santun, ‘alim ‘alamah dan memiliki karomah. Kemudian beliau dikenal dengan nama Syaikh Abdul Qadir al-Jilan Radliallahu ‘Anhu yang diakui sebagai shultanul auliya’ atau pemimpin para wali. Ulama kelahiran 470 H/ 1077 M itu kini Muridnya tersebar di berbagai pelosok penjuru negeri, termasuk Indonesia. Metodologinya dalam memahami agama, terutama dalam tasawuf, melahirkan Thariqah (Jalan Pendekatan) bernama Qadiriyyah.Thariqah Qadiriyyah hingga kini semakin besar dan meluas. Nama besar Syekh Abdul Qadir pun tak luput dari penyebutan, tiap kali orang bertawasshul di berbagai ritual keagamaan, baik tasyakuran, tahlilan ataupun dalam berdoa.
Itulah sekelumit kisah tentang kejujuran seorang Shulthanul Auliya’. Dalam Islam, masih banyak lagi kisah yang bisa di ambil ibrah-nya dalam hal kejujuran. Salah satunya adalah kisah sukses metode dagang Nabi Muhammad SAW, sampai akhirnya beliau di beri gelar Al-Amin (yang dapat dipercaya), juga dapat menjadi teladan bagi kita guna menjadi manusia yang saleh secara pribadi dan sosial. Jujur dalam kehidupan sehari-hari; merupakan anjuran dari Allah dan Rasulnya. Banyak ayat Al Qur’an menerangkan kedudukan orang-orang jujur antara lain: QS. Ali Imran (3): 15-17, An Nisa’ (4): 69, Al Maidah (5): 119.
Sedangkan kejujuran dalam hadits, secara gamblang Rasulullah bersabda: “Wajib atas kalian untuk jujur, sebab jujur itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan jalan ke surga, begitu pula seseorang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, sehingga akan termaktub di sisi Allah atas kejujurannya. Sebaliknya, janganlah berdusta, sebab dusta akan mengarah pada kejahatan, dan kejahatan akan membewa ke neraka, seseorang yang senantiasa berdusta, dan memperhatikan kedustaannya, sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud)
* Santri Pon-Pes An-Nawawi Berjan, Ketua Ikatan Pelajar NU Kab. Purworejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar