4 Bentuk Perkawinan pada Zaman Jahiliyah
Selain mengokohkan bangunan tauhid, Islam juga hadir menyempurnakan ajaran-ajaran umat sebelumnya sekaligus menghapus tradisi-tradisi buruk mereka. Salah satunya adalah tradisi buruk dalam pernikahan masyarakat jahiliyah. Lantas seperti apakah tradisi dan praktik pernikahan di zaman jelang Nabi diutus itu?
Dalam al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi menuturkan, ada empat bentuk pernikahan pada
zaman jahiliyah, yakni: (1) pernikahan al-wilâdah, (2) pernikahan al-istibdhâ‘,
(3) pernikahan al-rahth, dan (4) pernikahan al-râyah (lihat: al-Mawardi,
al-Hâwî al-Kabîr, jilid 9, hal. 6).
Keempat bentuk pernikahan ini berdasarkan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan al-Bukhari
dalam Shahîh-nya.
أَنَّ
النِّكَاحَ فِي الجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ: فَنِكَاحٌ
مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اليَوْمَ
Artinya, “Sesungguhnya pernikahan pada zaman jahiliyah ada empat bentuk. Satu
bentuk di antaranya adalah pernikahan seperti orang-orang sekarang,” (HR
al-Bukhari).
Pertama, pernikahan al-wilâdah. Dalam pernikahan ini, seorang laki-laki atau
seorang pemuda datang kepada orang tua sang gadis untuk melamarnya. Kemudian ia
menikahinya disertai dengan maharnya.
Ini merupakan pernikahan yang dibenarkan karena bertujuan untuk mendapatkan
keturunan. Dan pernikahan ini pula yang pernah disebutkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya, “Aku dilahirkan dari
sebuah pernikahan (yang dibenarkan), bukan dari perzinaan.” Karena memang Allah
senantiasa mengantarkan bakal nabi-Nya dari tulang rusuk yang cerdas kepada
rahim yang bersih (lihat: al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr, jilid 9, hal. 6).
Kedua, pernikahan al-istibdhâ‘. Dalam pernikahan ini, seorang suami meminta
istrinya pergi kepada laki-laki terpandang dan meminta dicampurinya. Setelah
itu, si suami menjauhinya dan tidak menyentuhnya lagi hingga terlihat hamil
oleh laki-laki tersebut. Hal itu dilakukan semata karena menginginkan keturunan
yang bagus dan luhur.
Ketiga, pernikahan al-rahth. Dalam pernikahan ini, sekelompok laki-laki—kurang
dari sepuluh orang—bersama-sama menikahi satu orang perempuan dan
mencampurinya. Setelah hamil dan melahirkan, si perempuan mengirim utusan
kepada mereka. Tak ada satu pun di antara mereka yang menolak datang dan
berkumpul. Di hadapan mereka, si perempuan mengatakan, “Kalian tahu apa yang
terjadi di antara kalian denganku. Kini aku telah melahirkan. Dan ini adalah
anakmu, hai fulan (sambil menyebut namanya).” Si perempuan menasabkan anaknya
kepada seorang laki-laki dan laki-laki itu tidak bisa menolaknya.
Keempat, pernikahan al-râyah. Dalam pernikahan ini, sejumlah laki-laki datang
ke tempat para perempuan sundal. Sebagai tandanya, perempuan-perempuan itu
menancapkan bendera (al-râyah) di depan pintu rumah mereka. Sehingga, siapa pun
laki-laki yang melintas dan menginginkannya, tinggal masuk ke dalam rumah. Jika
salah seorang perempuan itu hamil dan melahirkan, para laki-laki tadi akan
dikumpulkan. Mereka akan membiarkan seorang qa’if, seorang yang pandai
mengamati tanda-tanda anak (dari turunan siapa). Setelah itu, sang qa’if akan
menasabkan anak tersebut kepada seorang laki-laki yang juga disetujui si
perempuan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bisa menolak anak tersebut.
Di penghujung hadits itu, ‘Aisyah menyatakan:
فَلَمَّا
بُعِثَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالحَقِّ، هَدَمَ نِكَاحَ
الجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ إِلَّا نِكَاحَ النَّاسِ اليَوْمَ
Artinya, “Ketika diutus membawa kebenaran, Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam membatalkan semua pernikahan jahiliyah itu kecuali pernikahan seperti
yang dilakukan orang-orang sekarang.”
Tiga bentuk terakhir dari pernikahan di atas kemudian diharamkan dalam syariat
Islam. Hanya saja, dalam al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, ditambahkan
satu bentuk lagi pernikahan yang diharamkan dalam syariat, yaitu pernikahan
syighar, yakni seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya
dengan laki-laki lain, dengan tujuan agar dirinya bisa menikahi putri laki-laki
lain tersebut tanpa mahar (lihat: Tim Kementerian Perwakafan dan Urusan
Keislaman, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [Darus Salasil: Kuwait],
1427 H, cetakan kedua, jilid 41, 326).
Demikianlah bentuk-bentuk pernikahan pada zaman jahiliyah. Semoga menjadi
pelajaran bagi kita semua sekaligus bisa menjauhi praktik-praktik pernikahan
ala jahiliyah yang diharamkan syariat. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja, Sukabumi; Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar