Hukum Membatalkan Puasa Ramadhan bagi Pasien Covid-19
Masyarakat yang ditetapkan secara medis termasuk dalam kategori-kategori pasien
Covid-19 termasuk mereka yang terkena kewajiban puasa. Mereka termasuk orang
yang menyaksikan bulan Ramadhan.
Pada saat yang sama, mereka memerlukan asupan gizi yang cukup dan teratur untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap fit dan menjaga daya tahan tubuh agar memiliki ketahanan yang lebih baik dari serangan Covid-19. Oleh karena itu, pasien Covid-19 adalah termasuk mereka yang boleh membatalkan puasanya pada hari-hari Ramadhan. Dalam pandangan fiqih, mereka termasuk orang yang diperbolehkan secara syar’i untuk berbuka puasa pada hari-hari Ramadhan.
Dalam Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah ayat 185), mereka yang diberikan keringanan untuk berbuka puasa adalah orang sakit dan orang yang menempuh perjalanan.
فالمرض والسفر مبيحان بالنص والاجماع وكذلك من غلبه الجوع والعطش فخاف الهلاك فله الفطر وإن كان مقيما صحيح البدن ثم شرط كون المرض مبيحا أن يجهده الصوم معه فيلحقه ضرر يشق احتماله على ما ذكرنا من وجوه المضار في التيمم
Artinya, “Sakit dan perjalanan sebab yang membolehkan pembatalan puasa berdasarkan nash dan ijma ulama. Demikian juga orang yang dilanda haus dan lapar sehingga ia khawatir binasa, maka ia diperbolehkan berbuka puasa meski ia mukim (tidak bepergian) dan sehat secara fisik. Kemudian, syarat kebolehan berbuka puasa karena sakit adalah kesulitan berpuasa yang dideritanya jika berpuasa sehingga ia dihinggapi mudharat yang berat ditanggung sebagaimana kami sebutkan berbbagai mudharat pada bab tayammum,” (Lihat Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 253).
Surat Al-Baqarah ayat 185 menyebut orang sakit termasuk ke dalam mereka yang dapat membatalkan puasa di siang hari Ramadhan. Orang sakit yang dikhawatirkan penyakitnya bertambah karena puasa boleh membatalkan puasanya.
وان لم يقدر علي الصوم لمرض يخاف زيادته ويرجي البرء لم يجب عليه الصوم للآية
Artinya, “Jika seseorang tidak mampu berpuasa karena penyakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah dan masih diharapkan sembuh, maka ia tidak wajib berpuasa,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VI, halaman 214).
Mereka–termasuk pasien Covid-19 dan pengidap penyakit lain–yang disarankan oleh tenaga kesehatan untuk membatalkan puasa dibolehkan secara syar’i untuk tidak berpuasa tanpa harus menunggu kondisi fisik lemah tidak berdaya.
المريض العاجز عن الصوم لمرض يرجى زواله لا يلزمه الصوم في الحال ويلزمه القضاء لما ذكره المصنف هذا إذا لحقه مشقة ظاهرة بالصوم ولا يشترط أن ينتهي الي حالة لا يمكنه فيها الصوم بل قال اصحابنا: شرط اباحة الفطر ان يلحقه بالصوم مشقة يشق احتمالها
Artinya, “Pasien yang tidak sanggup berpuasa karena sakit yang diharapkan kesembuhan penyakitnya, maka ia tidak wajib berpuasa saat itu dan wajib mengqadanya sebagaimana disebutkan penulis matan (As-Syairazi) ketika seseorang akan dilanda masyaqqah yang zahir karena puasa. (Hal itu) tidak disyaratkan menunggu hingga kondisi (memburuk) di mana seseorang tidak lagi mampu berpuasa, tetapi ulama kami mengatakan, syarat kebolehan berbuka adalah kesulitan yang berat ditanggung karena puasa menghinggapinya,” (Lihat Imam An-Nawawi, 2010 M: VI/215).
Demikian ketentuan perihal berbuka puasa pada siang hari Ramadhan bagi para pasien Covid-19 untuk menjaga daya tahan tubuh dari serangan virus. Mereka tidak diwajibkan menjalankan ibadah puasa Ramadhan ketika itu juga. Mereka diizinkan secara syar’i untuk mengqadha puasa wajibnya di luar bulan Ramadhan. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar