Perang Uhud dan Komitmen Nabi atas Hasil Musyawarah
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang melakukan persiapan perang
Uhud, Rasulullah mengumpulkan para sahabat guna melakukan musyawarah dan
mengatur strategi perang. Di antara strategi yang dilontarkan adalah apakah
tetap bertahan di Madinah, ataukah keluar menghadapi musuh, yang saat itu
dipimpin oleh Abu Sofyan, Khalid ibn Walid sebelum ia masuk Islam dan Ikrimah
ibn Abu Jahal.
Sepintas sejarah, Khalid ibn Walid dikenal sebagai ahli strategi dalam perang kala itu dan merupakan saingan berat dari Sayyidina Umar ibn Khathab dalam kepandaiannya, bahkan Sayyidina Hamzah yang sudah terlebih dulu masuk Islam. Saat Khalid ibn Walid masuk Islam, ia mendapat julukan langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai Saifullah (Sang Pedangnya Allah), karena kelihaiannya dalam bertempur dan memimpin pasukan. Begitulah kalau hidayah sudah masuk ke dalam sanubari orang. Ia bisa bertindak sebaliknya dan justru memilih menyokong perjuangan Islam.
Ketika perang Uhud, awal mulanya tentara Quraisy melakukan persiapan penggalangan dana. Himmah/kemauan mereka sangat kuat, yaitu membalas kekalahan mereka di Perang Badar. Tak urung hasil penggalangan dana ini berhasil menghimpun dana partisipasi publik Quraisy. Tidak kurang dari 1000 unta dan 1500 dinar uang terkumpul di awal kali penggalangan dana. Hingga satu tahun persiapan itu dilakukan. Sampai kemudian berhasil dikumpulkan 3.000 ekor unta, 200 tentara berkuda, dan 700 tentara berpakaian baju besi. Sisanya terdiri atas pasukan kavaleri darat. Pasukan ini dibagi menjadi dua pasukan invanteri. Pucuk pimpinan dipegang oleh Abu Sofyan. Pasukan berkuda dan kavaleri dibagi menjadi dua. Satu pasukan dipimpin oleh Khalid ibn Walid dan satu pasukan lagi dipimpin Ikrimah ibn Abu Jahal.
Kembali pada musyawarahnya Rasulullah bersama sahabat. Dari hasil musyawarah didapatkan kesepakatan bahwa mayoritas sahabat menyetujui pilihan kedua, yaitu memilih keluar menghadapi musuh dan menyambutnya di gunung Uhud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyetujui dengan pendapat kedua, meski saat itu beliau sebenarnya condong pada pendapat pertama, yaitu bertahan di dalam kota Madinah. Dengan sebuah komitmen yang besar terhadap hasil musyawarah, Rasulullah tampil melakukan persiapan total dan tidak setengah-setengah.
Adalah sahabat Sa’ad ibn Mu’adz dan Usaid ibn Hudzair radliyallahu ‘anhum, keduanya merupakan sahabat yang seide dengan Rasulullah ketika berpendapat, yaitu agar pasukan muslimin tetap bertahan di dalam kota saja. Ketika itu, keduanya sempat berbicara dengan sedikit hati yang masygul. Bagaimana mungkin para sahabat memilih untuk melakukan gagasan menyambut pasukan Quraisy di bukit Uhud, sementara Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam menghendaki agar tetap bertahan di dalam kota?
Demi melihat itu, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakai baju besi dan menyiapkan pedangnya serta memakai surban sebagai pertanda siap perang, beliau menyarankan agar keduanya menahan diri dari pendapatnya sampai menunggu keputusan yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maksud keputusan Allah ini adalah agar pihak yang berbeda pendapat menahan diri sampai kemudian datangnya wahyu. Mendapati sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat tidak ada yang membantah dan siap sedia bersama Rasulullah shlallallahu ‘alaihi wasallam menyambut perang. Demikianlah, ketaatan para sahabat bersama Rasulillah shallallahu ‘alihi wasallam.
Inilah salah satu teladan komitmen dari Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam terhadap keputusan hasil musyawarah, dan sekali lagi menjadi bukti bahwa penentuan pendapat dapat ditentukan melalui jalan voting, dan bukannya melulu sebagai musyawarah mufakat. Keterangan mengenai proses persiapan perang Uhud ini dapat dijumpai pada Q.S. Ali Imran [3] ayat 121-128 dan 139-171.
Sebenarnya masih ada banyak suri tauladan yang menarik dari kisah perang Uhud ini. Termasuk di antaranya kisah tentang taktik perang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi kaum Quraisy yang saat itu sedang berkobar dengan api dendam akibat kekalahan saat Perang Badar. Pasukan muslimin tiada merasa gentar sedikit pun. Mereka mengambil strategi degan menempatkan para ahli memanah di atas gunung Uhud.
Taktik itu ternyata jitu. Kaum muslimin mengalami kemenangan. Sayangnya, ada yang bertindak tergiur dengan harta jarahan sehingga menyebabkan mereka berani melanggar komando. Tentara Khalid ibn Walid yang menyadari akan pasukan yang berada di atas gunung turun ikut berebut mengambil harta jarahan, berbalik memutari gunung dan menggantika posisi pasukan panah yang lari ikut berebut harta rampasan perang. Akibatnya, kaum Quraisy bisa membalik keadaan. Dalam peristiwa itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai tanggal giginya dan paman beliau, Sayyidina Hamzah wafat dalam peperangan itu. Meski sempat terluka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sempat membunuh Thalhah, pembawa bendera Kaum Quraisy.
Walhasil, peperangan tetap dimenangkan oleh kaum muslimin. Peristiwa perang Uhud ini menjadi pelajaran penting bagi kaum muslimin, yatu agar senantiasa mentaati komando dan berkomitmen dalam tugas yang diberikan serta tidak meninggalkan posisi yang sudah diamanahkan, meski diiming-imingi dengan pemenuhan hajat berupa kepentingan duniawi. Sesuai dengan kaidah:
الثبات في المقاصد والمرونة في الوسائل
Artinya: “Konsisten dengan cita-cita namun tetap luwes dalam sarana”
Kaidah yang senada dengan teks ini disampaikan oleh Sa’id Subbar dalam kitabnya al-Ijtihad wa al-Tajdid fi al-Fiqhi al-Islamy al-Muashir, halaman 164:
الثبات على الأحداف والغايات والمرونة في الوسائل والآلأت
Artinya: “Konsisten dengan tujuan bersama dan capaian cita-cita, sementara tetap fleksibel dalam sarana dan alat untuk mencapainya.” Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Tulisan disarikan dari kisah perang Uhud pada Tafsir Jalalain, Q.S. Ali Imran [3] ayat 121-128 dan 139-171.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar