Kamis, 11 Juni 2020

Nasaruddin Umar: Kontemplasi Ramadhan (15): Menjadi Selebriti Langit

Kontemplasi Ramadhan (15)

Menjadi Selebriti Langit

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Setiap orang orang memiliki idola. Namun umumnya yang diidolakan banyak orang ialah 'idola bumi' seperti para selebriti bumi. Amat terbatas di antara kita mengidolakan 'idola langit', yakni para selebriti langit. Selebriti bumi ialah orang-orang yang mencapai puncak prestasi dari segi fisik-biologis, seperti tampan, seniman, dan orang-orang sukses di bangku kuliah atau dunia usaha. Sedangkan selebriti langit ialah orang-orang kelihatannya tidak memiliki banyak kelebihan secara fisik dan materi di bumi namun memiliki kekuatan idealisme yang kuat, terutama idealisme spiritual.

 

Ada dua faktor yang membuat orang krisis idola. Pertama memang sedang terjadi kekosongan figur-figur idola di dalam masyarakat, yang ditandai dengan sulitnya mencari figur-figur produktif seperti yang pernah lahir di dalam masyarakat. Kedua, sesungguhnya di dalam masyarakat sedang terjadi pembengkakan kualitas sehingga figur-figur produktif sedang booming. Akibatnya sulit memilih mana yang terbaik di antara begitu banyaknya figur produktif. Mencari orang pintar di tengah-tengah orang pintar sama sulitnya mencari orang paling bodoh di antara para orang bodoh. Ini mengingatkan kita dengan kata-kata orang arif Ada dua hal yang tidak akan pernah ditemukan, yaitu mencari sesuatu yang tidak akan pernah ada dan mencari sesuatu yang sesungguhnya sudah ditemukan. Habis energi tidak akan menghasilkan apa-apa.

 

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, terkadang kita juga mengalami krisis idola. Bangsa kita sering sibuk mencari figur-figur idola untuk dijadikan sebagai kader dan calon pemimpin, baik di lingkungan legislatif maupun eksekutif. Figur idola kini sedang diperebutkan oleh berbagai partai politik. Sebentar lagi akan disusul calon-calon pemimpin eksekutif. Yang jadi pertanyaan ialah kriteria figur idola itu seperti apa? Ada yang melihat dari segi ketenaran atau selebritas, ada juga menekankan aspek kualitas dan profesionalitas, dan yang lainnya menggabungkan beberapa kriteria, termasuk kualitas keimanan dan integritas pribadi.

 

Jika kita ingin belajar pengalaman Nabi Muhammad di dalam merekrut calon pemimpin, maka pertama kali kita harus tahu bahwa kriteria orang yang dicari sesuai dengan kebutuhan jabatan. Ketika jabatan Panglima Angkatan Perang kosong, Nabi mencari masukan tentang figur yang terbaik untuk menduduki posisi itu. Nabi sendiri ikut menyeleksi. Di luar dugaan, ternyata yang dipilih oleh Nabi ialah Usama ibn Zaid, yang notabene umurnya masih kurang 20 tahun. Sahabat senior bertanya mengapa memilih Usamah, Nabi menjelaskan, selain ia selama ini menunjukkan bakat-bakat militernya yang brilian juga ayahnya korban di medan perang, dengan demikian tentu ia memiliki motivasi kuat untuk melanjutkan idealisme bapaknya. Isyarat kriteria ideal seorang figure idole menurut Nabi ialah kombinasi antara profesionalisme dan keimanan.

 

Dalam kesempatan lain, Nabi memilih di antara sahabatnya untuk menjabat sebagai Gubernur di sejumlah propinsi sepenuhnya didasarkan melalui pertimbangan rasional, bukan KKN. Muawiyah bin Abi Sufyan dipilih menjadi gubernur di Syiria (Damaskus) karena memang basis dan orang tuanya di sana. Demikian pula Amru bin Ash diangkat menjadi Gubernur Mesir karena ia menguasai wilayah itu. Demikian pula pengangkatan Musa Al-Asy'ari sebagai Gubernur Kuffah, Mu'adz bin Jabal Gubernur di Yaman, dan Abu Hurairah Gubernur di Bahrain. Sekretaris pribadi Nabi yang tak pernah berganti yaitu Zain ibn Tsabit dipilih karena keahliannya yang menguasai enam bahasa asing, yaitu bahasa Persia, Qibti, Ibrani (Hebrew), Suryani, Romawi, dan bahasa-bahasa Arab lokal.

 

Sahabat utama Nabi yang tergabung di dalam Khualafa al-Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, yang juga tidak pernah direshuffle juga didasari dengan pertimbangan profesional. Abu Bakar direpresentasikan sebagai pendamping Nabi paling senior dan pikirannya lebih matang, Umar bin Khaththab direpresentasikan sebagai tokoh inovatif yang mampu menerobos hambatan-hambatan struktural dan kultural, Utsman bin Affan yang kaya dan memiliki pengalaman mengelola perekonomian secara makro, dan Ali bin Abi Thalib yang anak muda idealis, pintar, dan cerdas. Figur yang diidealkan Nabi ternyata yang mampu mengkombinasikan berbagai kemampuan tetapi paling mutlak ialah kekuatan uman dan spiritual. []

 

DETIK, 08 Mei 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar