Kontemplasi Ramadhan (16)
Unconditional Lover
Oleh: Nasaruddin Umar
Kualitas cinta ternyata memiliki berbagai tingkatan. Dalam bahasa Arab pun kata "cinta" memiliki tidak kurang dari 14 kosa kata. Di antaranya: Hub, haiam, 'isyq, taulah, khullah, wajd, fana', firam, dll. Satu di antaranya yang sangat penting ialah mahabbah, yang biasa diartikan dengan the saint lover, the sacred love, atau dalam dunia psikologi sering disebut the unconditional love. Begitu kuat cinta itu maka seolah yang mencinta dan yang dicintai menjadi satu. Yang mencinta dan yang dicintai terjadi persamaan secara kualitatif sehingga antara keduanya terjalin keakraban secara aktif.
Cinta itu fluktuatif, kadang naik dan kadang turun. Semua orang berpotensi mencapai puncak kualitas cinta (unconditional love/mahabbah), yaitu cinta yang amat tulus dan pasrah kepada Tuhan. Itu dimungkinkan karena memang semuanya berasal dari Yang Maha Pencinta: Allah Swt. Dari-Nya kita semua berasal dan akan pada akhirnya akan kembali kepada-Nya (Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Belum bisa disebut mahabbah jika masih ada jarak sesedikit apapun antara yang mencinta dan yang dicinta. Meskipun berbeda entitas namun antara keduanya tak dapat dipisahkan, seperti laut dan gelombangnya, lampu dan cahayanya, api dan panasnya. Kita tidak bisa mengatakan laut sama dengan gelombang, lampu sama dengan cahaya, atau api sama dengan panas, demikian pula kita tidak bisa mengatakan antara yang mencinta dan yang dicintai betul-betul sama atau antara makhluk sama dengan Khaliq (Allah Swt).
Kekuatan cinta pada diri seseorang akan mengimbas pada seluruh ruang. Jika cinta sudah terpatri dalam seluruh jaringan badan kita maka vibrasinya akan menghapus semua kebencian. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyumm, sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta. Jika cinta itu dialamatkan kepada Tuhan, maka peristiwa ajaib akan muncul. Nikmat sekali bermesraan dengan Allah SWT. Kadang tidak terasa air mata meleleh. Air mata kerinduan dan air mata tobat inilah yang kelak akan memadamkan api neraka. Cinta itu tidak bisa diterangkan, hanya bisa dirasakan. Terkadang terasa tidak cukup kosakata yang tersedia untuk menggambarkan bagaimana nikmatnya cinta. Kosakata yang tersedia didominasi oleh kebutuhan fisik sehingga untuk mencari kata yang bisa memasilitasi keinginan rohani tidak cukup. Terminologi dan kota kata yang tersedia lebih banyak berkonotasi cinta kepada fisik materi, tetapi terlalu sedikit kosa kata cinta secara spiritual. Mungkin itulah sebabnya mengapa Allah Swt memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an karena kosa kata spiritualnya lebih kaya.
Cinta kepada Allah Swt menurut perspektif tasawuf bersifat primer, sementara cinta hamba bersifat sekunder. Primer itu inti fdan substanstif. Yang sekunder itu tidak substantif. Pemilik cinta sesungguhnya hanya Allah SWT. Hakikat cinta yang sesungguhnya adalah unconditional love (cinta tanpa syarat). Tanpa pamrih ini cinta primer. Ini berbeda dengan cinta kita yang memiliki kepentingan. Ketika sebelum kawin, masya Allah, kita sampai kehabisan kata-kata melukiskan kebaikan pujaan kita. Akan tetapi sesudah kawin, kata-kata paling kasar pun tak jarang kita lontarkan. Bagaimana dalamnya cinta seorang ibu terhadap bayinya jauh lebih dalam cinta Tuhan terhadap hamba-Nya. Allahu akbar.Cinta mahabbah pernah ditunjukan Rasulullah Muhammad SAW ketika dilempari batu sampai tumitnya berdarah-darah oleh-orang orang Thaif. Rasul hanya tersenyum. "Aduh umatku, seandainya engkau tahu visi misi yang kubawa, engkau pasti tidak akan melakukan ini", demikian bisiknya,.Ketika datang malaikat penjaga gunung Thaif menawarkan bantuan untuk membalas perbuatan orang-orang Thaif, Nabi berucap, "Terima kasih. Allah lebih kuasa daripada makhluk. Jangan diapa-apakan. Mereka hanya tidak tahu. Kelak kalau mereka sadar, mereka akan mencintai saya". Nabi Ayyub juga pernah melupakan sekujur tubuhnya dikerumuni belatung lantaran begitu kuat cintanya terhadap Tuhannya. Jika mahabbah sudah bekerja maka hilanglah semua rasa sakit dan penderitaan dan berganti dengan kenikmatan. Ada sebuah ungkapan dari ahli hakekat: "Kalau cinta sudah meliputi, maka tak ada lagi ruang kebencian di dalam diri seseorang. Sejelek apapun orang lain, ia tak akan membalas dengan kejelekan." Mari kita terus berlatih menjadi pencinta sejati (the saint lover). []
DETIK, 09 Mei 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar