Pentingnya Musyawarah dan Istikharah Sebelum Membuat Keputusan Penting
Allamah Sayyid Abdullah al-Haddad mengingatkan pentingnya musyawarah dan istikharah sebelum membuat keputusan dalam urusan-urusan penting, seperti bepergian jauh, mencari jodoh (menikah), dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana beliau jelaskan dalam kitab beliau berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 114) sebagai berikut:
(وعليك) إذا أردت الشروع في أمر مهمّ كالسفر والزواج ونحوهما بمشاورة من تثق بمعرفته وأمانته من إخوانك، ثم إذا صادفَتْ إشارته ما في النفس فعليك بصلاة ركعتين من غيرالفريضة بنية الاستخارة، وادعو بعدهما بالدعاء المشهور. قال عليه الصلاة والسلام: "ما خاب من استخار وما ندم من استشار".
Artinya, “Setiap kali engkau bermaksud memulai urusan penting seperti bepergian jauh, menikah, dan sebagainya, hendaknya engkau bermusyawarah atau berdiskusi dengan saudara-saudara atau teman-teman yang engkau percaya terhadap kearifan dan amanahnya. Jika sarannya memperoleh sambutan dalam hatimu, lakukanlah shalat sunnah dua rakaat dengan istikharah. Setelah itu bacalah doa istikharah yang masyhur seperti yang diajarkan Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan gagal siapapun yang melakukan istijharah dan tidak akan menyesal siapa saja yang suka bermusyawarah.”
Dari kutipan tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, dalam urusan-urusan penting yang menyangkut keselamatan jiwa, masa depan, dan sebagainya, seperti bepergian jauh, mencari pekerjaan, atau mencari jodoh (menikah), kita tidak sebaiknya membuat keputusan sendiri tanpa melibatkan orang-orang dekat kita, seperti sanak saudara atau orang-orang dekat seperti teman-teman dan para guru. Hal ini karena sebagai makhluk sosial kita tidak sebaiknya mengabaikan keterkaitan kita dengan mereka.
Ketika kita hendak menempuh perjalanan jauh ke luar pulau atau bahkan ke luar negeri dengan tujuan mencari pekerjaan atau berdakwah, misalnya, masukan-masukan dari orang-orang dekat kita yang memang memiliki kapasitas keilmuan atau pengalaman, baik yang setuju maupun tidak setuju, perlu dipertimbangkan. Hal ini karena kita sebagai manusia memiliki keterbatasan dalam banyak hal dalam menatap masa depan sehingga memerlukan bantuan apapun wujudnya dari orang lain.
Terlebih dalam kaitan dengan memilih jodoh atau menikah, membicarakan masalah itu sebelumnya dengan kerabat dekat khususnya kedua orang tua sangat penting. Hal ini karena pernikahan sesungguhnya tidak semata-mata merupakan urusan pribadi dengan pribadi lain tetapi sekaligus merupakan urusan keluarga dengan keluarga lain. Dengan kata lain pernikahan juga merupakan penggabungan dua keluarga atau bahkan lebih sehingga memerlukan sikap hati-hati agar tidak salah melangkah.
Kedua, hasil konsultasi atau musyawarah dengan orang-orang dekat sebagaimana disinggung di atas tidak serta merta kita jadikan keputusan final sebab sebagai makhluk individual kita pun memiliki keterikatan dengan Sang Pencipta. Apalagi dalam setiap rakaat shalat kita selalu menyatakan ikrar hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan sebagaimana terkandung dalam surat Al-Fatihah ayat 5 sebagai berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya,“ Hanya Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Melaui shalat istikharah kita mengomunikasikan hasil-hasil musyawarah atau diskusi itu kepada Allah subhanahu wata’ala, disertai doa istikharah seusai shalat sebagai berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ.
Artinya,”Ya Alah aku memohonkan pilihan-Mu untukku dengan ilmu-Mu dan aku memohon kepada-Mu yang agung, karena Engkau Kuasa sedangkan aku tak berkuasa. Enkau mengetahui sedang aku tak mengetahui. Engkaulah yang Maha Mengetahui Segala yang gaib. Ya Allah jika, jika menurut pengetahuan-Mu urusan ini lebih baik bagiku dalam agamaku dan kehidpanku di masa sekarang dan akan datang, maka tetapkanlah ia dan mudahkanlah untukku dan berkatilah ia untukku. Banun, jika menurut pengetahuan-Mu, urusan ini tidak baik untukku dalam agamaku dan kehidupanku di masa sekarang dan akan datang, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkankah aku darinya dan tetapkanlah kebaikan bagiku di mana ia berasa, kemudian jadikanlah aku ridha dengannya”(HR. Bukhari).
Hasil istikharah bisa dirasakan melalui kemantapan hati, atau melalui mimpi dengan isyarat atau simbol-simbol tertentu. Jika dirasa sulit memaknainya, maka bisa didiskusikan dengan orang-orang dekat yang paham makna hal-hal seperti itu. Jika masih ada keraguan, istikharah bisa diulang dua atau tiga kali. Setelah itu bisa diambil keputusan final.
Demikianlah adab yang sebaiknya kita lalui sebelum membuat keputusan penting sebagaimana nasihat Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Intinya adalah memadukan antara adab kepada sesama manusia dan adab kepada Allah subhanahu wata’ala dan tidak mempertentangkannya. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar