Belajar dari "New Normal" di Timur-Tengah
Oleh: Zuhairi Misrawi
Timur-Tengah setelah pandemi bukanlah Timur-Tengah sebelum pandemi. Timur-Tengah adalah wilayah yang terlebih dahulu menerapkan kebijakan kenormalan baru (new normal) sebelum negara-negara yang lain. Uni Emirat Arab (UEA) adalah negara di kawasan yang pertama kali memasuki zaman normal baru, yaitu memilih untuk berdamai dengan corona dengan membuka karantina akhir April lalu.
Kita melihat warga menyambut pembebasan dari karantina dengan suka-cita. Mereka berkonvoi dan memadati sejumlah mall, khususnya di Dubai. Langkah ini diambil dalam rangka memberikan nafas bagi kebuntuan ekonomi yang dihadapi oleh negara yang selama ini menikmati rezeki berlimpah dari sektor pariwisata, investasi, dan energi itu.
Karantina yang berlaku selama berminggu-minggu sejak merebaknya corona di kawasan telah menyebabkan pemerintah setempat mengambil langkah karantina yang menyebabkan lumpuhnya perekonomian, sehingga menyebabkan pengeluaran negara yang cukup besar dalam memberikan insentif keuangan terhadap sektor swasta. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan krisis ekonomi yang serius dan berdarah-darah.
Maka dari itu, UAE menjadi negara yang pertama di Timur-Tengah mengambil kebijakan normal baru dengan membuka karantina dan menerapkan kebijakan yang longgar, khususnya pada sektor ekonomi. Beberapa teman saya yang tinggal di UAE mengisahkan betapa dampak kebijakan karantina lebih menyesakkan daripada pandemi yang sedang dihadapi oleh sebagian warganya.
Di UAE sendiri ada sekitar 11,300 warga yang positif Covid-19, dan 89 di antaranya meninggal dunia. Setiap harinya masih ada sekitar 500 warga yang positif. Hingga saat ini mereka sudah melakukan tes bagi 1.000.000 lebih warga, dan akan terus melakukan tes bersamaan dengan kebijakan normal baru yang akan diambil oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, UAE juga melakukan pemantau ketat terhadap warga diduga mempunyai gejala Covid-19 dengan memasang CCTV di tempat-tempat keramaian, seperti mall, supermarket, tempat ibadah, dan lain-lain, sehingga mampu mengantisipasi penularan yang lebih luas. Langkah kebijakan normal baru diambil karena kemampuan tim medis untuk menekan angka kematian, sehingga meskipun jumlah mereka yang positif terus bertambah, tetapi diantisipasi agar jumlah kematian tidak mengalami penambahan yang signifikan.
Di samping itu, UAE memperketat protokol bagi warganya agar memakai masker, menjaga jarak, dan menjaga imunitas tubuh, sehingga sebisa mungkin tidak mudah tertular dari mereka yang sudah dinyatakan positif. Inilah kebijakan normal baru yang diterapkan UAE.
Iran juga termasuk negara yang mulai melonggarkan kebijakan karantina, khususnya bagi wilayah-wilayah yang sudah termasuk zona kuning dan zona hijau. Iran merupakan salah satu negara di Timur-Tengah yang memiliki jumlah warga yang positif dan meninggal dunia karena Covid-19 dalam jumlah yang besar.
Namun Iran sejauh ini mampu memproduksi alat tes sendiri yang memudahkan bagi pemetaan wilayah yang masuk dalam zona merah, kuning, dan hijau. Selain itu, Iran berhasil menyembuhkan hampir 80% dari mereka yang selama ini positif. Iran termasuk negara nomor dua setelah China yang berhasil menyembuhkan mereka yang sudah dinyatakan positif.
Iran sebagaimana UAE termasuk negara yang sedang berusaha bangkit dari masalah ekonomi yang terdampak akibat pandemi. Tanpa pandemi pun, Iran menghadapi masalah ekonomi yang sulit akibat embargo ekonomi diberlakukan oleh Amerika Serikat sejak 40 tahun yang lalun.
Di tengah pandemi, Iran harus menghadapi dua masalah serius, yaitu krisis ekonomi dan pandemi yang nyata-nyata membuat ekonomi Iran terus mengalami kontraksi. Tapi, istimewanya, Iran tidak surut menghadapi pandemi dengan semangat gotong-royong dan kepercayaan yang tinggi terhadap kepemimpinan Ayatullah Ali Khamenei.
Dan sejauh ini, Iran berhasil mengendalikan pandemi dengan terus memperluas jangkauan tes, sehingga mempunyai peta wilayah ketersebaran warga yang positif. Selain itu, Iran yakin dengan kemampuan para medisnya dalam menyembuhkan mereka yang terpapar Covid-19.
Arab Saudi pun pelan-pelan melonggarkan karantina, dan bersiap-siap membuka dua kota suci, yaitu Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Arab Saudi juga mengalami kontraksi ekonomi yang serius akibat anjloknya harga minyak dunia dan berhentinya pemasukan dari sektor umrah. Bahkan, haji tahun ini juga belum ada kejelasan perihal kepastian penyelenggaraannya.
Intinya, Arab Saudi memandang kebijakan normal baru harus diambil agar memberikan nafas bagi relaksasi ekonomi dan keluar dari ancaman serius terhadap Muhammad Bin Salman (MBS) yang mulai dinilai gagal dalam mengelola ekonomi. Memang kerajaan mengeluarkan insentif ekonomi bagi mereka yang rentan secara ekonomi akibat pandemi, tetapi MBS juga mengambil kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan pajak.
Mesir secara pelan-pelan mulai mewacanakan perihal kebijakan normal baru dengan tujuan yang sama, yaitu menghidupkan kembali sektor ekonomi yang lumpuh. Meskipun belum ada langkah-langkah jelas yang akan diambil mengingat pemerintah Mesir cenderung tertutup dalam memberikan informasi bagi penyebaran Covid-19.
Belajar dari negara-negara di Timur-Tengah tersebut yang sudah dan akan menerapkan kebijakan normal baru, mestinya kita mempunyai peta yang jelas, transparan, dan meyakinkan perihal langkah-langkah yang akan diambil. Kata kuncinya adalah tes yang massif untuk melihat peta penyebaran Covid-19. Sejauh ini kita semua tahu, bahwa kita termasuk negara yang dalam hal tes sangat kecil, sehingga kita tidak bisa mempunyai peta yang terukur dan bisa dipercaya. Belum lagi tingkat kematian masih relatif tinggi.
Kebijakan normal baru tidak terhindarkan, karena semua negara mengalami hal yang serupa perihal ekonomi yang lumpuh dan perlu diselamatkan segera. Tapi setidaknya kita mempunyai langkah-langkah yang jelas untuk tidak menyepelekan dampak terburuk dari pandemi, utamanya dari segi kesehatan. Kita tidak ingin teledor seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang cenderung abai dan sepele, sehingga menyebabkan kematian dalam jumlah yang besar.
Setidak-tidaknya kita bisa meniru UAE dan Iran yang mampu melakukan tes dalam jumlah yang besar, sembari terus menekan angka kematian dengan menurunkan tim medis terbaiknya untuk menggunakan segala kemampuan dalam menyembuhkan warga yang positif. Intinya, kita jangan sampai terus berjalan dalam lorong yang gelap seperti sekarang dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian. []
DETIK, 28 Mei 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar