Negeri Heboh ”Online”
Oleh: Said Aqil Siroj
Negeri kita tampaknya terus dilanda wabah heboh. Dari heboh soal
politik, hukum, ekonomi, hingga radikalisme dan prostitusi. Semua pertunjukan
itu tak lagi heboh dalam ranah ’manual’, tetapi makin menghebohkan di wilayah
online.
Sesuatu yang bersosok online, kini terasa lebih menghebohkan benak
masyarakat. Tak heran, bermunculan semisal’radikalisme online’atau ’prostitusi
online’. Apalagi pada kasus ’prostitusi online’ yang melibatkan artis, gaungnya
lebih menggelegar. Apa pun yang dilakukan artis, akan menjadi trending topic
yang hangat-hangat sedap.
Bermula dari kasus terbunuhnya Tata Chubby, seorang pekerja seks
komersial (PSK) di Jakarta, tiba-tiba semua tersentak. Lalu secara masif
terjadilah penertiban terhadap rumah kos-kosan dan apartemen. Belum usai hiruk
pikuk itu, kita lagi-lagi digegerkan oleh prostitusi short time kaliber artis
bertarif Rp 80 juta hingga Rp 200 juta yang dijajakan secara online alias
daring (dalam jaringan). Bagi kalangan umum, tarif sebesar itu sangat
fantastis, terlebih di tengah situasi ekonomi kita yang sedang malaise.
Maka, ’pengawasan moral’ pun digiatkan kembali. Seolah siuman dari
tidur panjang soal moral, kini kita saksikan gerakan menumpas amoralitas.
Bahkan, ada permintaan agar Presiden menaruh perhatian khusus soal maraknya
prostitusi. Tuntutan juga dibidikkan untuk mengusut para pemakai jasa
prostitusi elite yang, konon, melibatkan kalangan papan atas.
Produk Industrialisasi
Inikah wajah negeri kita saat ini? Di satu fakta, negeri kita
sedang dilanda heboh wabah radikalisme yang mengkhawatirkan. Di sisi lain,
wabah heboh prostitusi online semakin menggemaskan. Cukupkah pemblokiran situs
porno ataupun situs radikal? Ternyata masih banyak ’jalan tikus’ lewat perkakas
teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk melampiaskan tujuan.
Mengapa pelacuran terus bertumbuh, tak ada matinya? Banyak
pendapat bahwa prositusi seusia munculnya manusia. Sejak masa penguasa purba
telah berupaya menghardik pelacuran baik dengan hard power melalui sanksi hukum
ataupun soft power melalui sanksi sosial. Kendati ada efek yang membuat
setidaknya pelacuran tunggang langgang, tetapi pelacuran terus mengendap-endap,
mengular, dan membesar.
Di Yunani pada awal abad ke-6 SM merupakan periode ketika
prostitusi tidak dapat dikontrol keberadaannya, terutama ketika Solon (639-559
SM) mendirikan lokalisasi pertama kalinya di Athena. Namun, tujuan pembangunan
lokalisasi berbeda dengan sekarang, karena masa itu bertujuan menolong
membebaskan anak remaja (laki-laki) yang telah mencapai usia reproduksi dan
menjaga agar mereka tidak melakukan perselingkuhan dengan perempuan terhormat
(Nikolaos A Vrissimtzis, 2006;86).
Perkembangan zaman makin menumbuhkembangkan pelacuran sehingga
berbagai modus pelacuran pun kian beragam. Di saat modernisasi menguat,
pelacuran justru membiak. Apa lacur, pelacuran lalu jadi industri yang
menggiurkan untuk menangguk uang. Di negeri-negeri Barat, pelacuran bahkan
telah mendapatkan legalitas, semisal di Belanda.
Di negeri kita, tentu saja tidak bisa disamakan dengan negeri
Barat yang permisif, fakta pelacuran menunjukkan dinamikanya. Sebagai penanda,
ketika industrialisasi dipancangkan, dengan menyulap kota sebagai pusat ekonomi
sehingga menjadi tumpuan perburuan nafkah, tak kecil akibat yang ditimbulkan.
Lahan desa yang makin hari makin sempit, menyempitkan mata pencarian, lalu
urbanisasi terjadi besar-besaran. Hingga kini, pembangunan yang masih
menempatkan kota sebagai pusat segalanya, urbanisasi tak pernah surut.
Ada fakta yang mempertontonkan betapa gadis-gadis desa yang
tadinya lugu nan polos datang ke kota-kota besar dengan menggenggam mimpi indah
menggapai sejahtera ekonomi, sering kali dilaluinya dengan memasuki industri
pelacuran. Runyamnya lagi, bermunculan pialang-pialang yang menjanjikan mimpi
indah. Tak aneh, sampai hari ini cerita tentang perdagangan manusia masih terus
memanas.
Gaya hidup dan kesenjangan
Kita hidup dalam jagat informasi yang berdampak besar dalam komunikasi
antarorang. Masyarakat mudah menampilkan diri secara daring di internet,
berkomunikasi, berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi serta
membangun jaringan tanpa batas. Internet memiliki peranan yang sangat
signifikan demi meningkatkan marketing dan propaganda apa pun, termasuk
memanjakan pelacuran. Doktrin ”saat ini, jika Anda tidak eksis di internet,
Anda tidak eksis”, telah menjadi ’gizi’ baru yang ’mencerdaskan’ bagi siapa
pun.
Selama ini kita terfokus pada ancaman radikalisme. Tentu beralasan
karena radikalisme di negeri kini tengah mengalami peak season.
Globalisasi—tulis Gary R Bunt—turut membidani lahirnya terorisme (2005:21). Pun
globalisasi turut membidani ’panen raya’ pelacuran.
Oleh karena itu, mestinya kita juga harus waspada sekaligus
bertindak terhadap ancaman prostitusi yang telah menjerat banyak lapisan
masyarakat, baik di lapis bawah maupun di lapis mapan, terutama di kalangan
anak-anak muda. Ancaman maraknya prostitusi ini akan merusak mentalitas bangsa,
terutama mental suka menerabas.
Pandangan bahwa pelacuran terjadi melulu akibat impitan ekonomi
sudah tidak sepenuhnya tepat. Pelacuran terus bermetamorfosa dan kian canggih.
Para pelakunya sudah ’naik pangkat’ dengan sokongan peranti teknologi.
Artinya, pelacuran telah menjasad dalam syahwat hedonisme dan gaya
hidup di masyarakat. Tuntutan gaya hidup yang tinggi seperti di kalangan
selebritas akan mudah menjerat hasrat meraup uang dengan jalan mudah.
Bandingkan, seorang PSK cukup satu atau dua jam bisa menangguk uang yang
hasilnya bisa jauh melebihi sebulan gaji anggota staf kantoran atau malahan
buruh pabrik. Inilah yang kian memicu kesenjangan di masyarakat. Wajah sadis
kapitalisme ini perlu diredam dengan ketegasan hukum.
Dalam masyarakat yang permisif—menyitir Nikolaos A
Vrissimtzis—kehadiran prostitusi makin tak terlelakkan. Negeri kita jelas bukan
penganut permisivisme. Di negeri ini banyak terpendam khazanah spiritual,
moral, dan keagamaan yang bisa menjadi modalitas membangun peradaban keindonesiaan.
Ini bukan sekadar jargon, melainkan perlu diwujudkan dalam kebijakan negara.
Nah, saatnya memperkuat peran pemerintah sebagai pihak yang
bertanggung jawab terhadap rakyatnya dalam membendung pelacuran. Kita tahu,
Pemerintah Indonesia saat ini sedang berjuang keras mewujudkan ’revolusi
mental’. Berseiring dengan usaha memberantas korupsi yang sudah digolongkan
sebagai kejahatan luar, seperti halnya narkoba dan terorisme,perilaku amoral
tentu akan membuat degradasi mentalitas anak bangsa. Ia juga akan membahayakan
peradaban adiluhung bangsa, serta mempertajam kesenjangan ekonomi. Oleh karena
itu, semestinya tidak perlu lagi menunggu laporan keberatan dari pihak lain
untuk ditindak. []
KOMPAS, 23 Mei 2015
Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar