Puasa Mengasah Aneka Kecerdasan
Oleh: M.
Quraish Shihab
Puasa bermula dengan tidak makan, tidak minum,
dan tidak bercampur dengan pasangan sejak terbit hingga terbenamnya matahari.
Tetapi, ia seharusnya berakhir dengan tecerminnya semua sifat Allah―kecuali
sifat Ketuhanan-Nya―dalam kepribadian seseorang karena berpuasa adalah upaya
meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia sebagai makhluk.
Dengan sifat-Nya ar-Rahmân (Pelimpah kasih bagi
seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini) yang berpuasa melatih diri memberi
kasih kepada semua makhluk, tanpa kecuali. Dengan sifat-Nya ar-Rahîm (Pelimpah
rahmat di hari kemudian) ia memberi kasih kepada saudara-saudara seiman dan
meyakini bahwa tiada kebahagiaan, kecuali bila rahmat-Nya yang di hari akhir
itu dapat diraih. Dengan sifat al-Quddûs (Mahasuci) yang berpuasa menyucikan
diri―lahir dan batin―serta mengembangkan diri sehingga selalu berpenampilan
indah, baik, dan benar. Dengan meneladani sifat-Nya al-‘Afuw (Maha Pemaaf) seseorang
akan selalu bersedia memberi maaf, sedang dengan meneladani sifat al-Karîm
(Maha Pemurah) seseorang akan menjadi sangat dermawan, demikian seterusnya.
Dengan upaya meneladani sifat-sifat Tuhan,
seorang yang berpuasa melatih dan mendidik dirinya untuk meraih aneka
kecerdasan, melalui potensi–potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia
adalah kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional.
Kecerdasan spiritual melahirkan iman serta
kepekaan yang mendalam. Fungsinya mencakup hal-hal yang bersifat supranatural
dan religius. Ialah yang menegaskan wujud Tuhan, melahirkan kemampuan untuk
menemukan makna hidup, serta memperhalus budi pekerti, dan ia juga yang
melahirkan mata ketiga atau indra keenam bagi manusia.
Dimensi spiritual mengantar manusia percaya
kepada yang gaib, dan ini merupakan tangga yang harus dilalui untuk
meningkatkan diri dari tingkat binatang yang tidak mengetahui, kecuali apa yang
terjangkau oleh pancaindranya, menuju ke tingkat kemanusiaan yang menyadari
bahwa wujud ini jauh lebih besar dan lebih luas daripada wilayah kecil dan
terbatas yang hanya dijangkau oleh indra atau alat-alat yang merupakan
kepanjangan tangan indra. Kecerdasan inilah yang mengantar manusia menuju serta
memuja suatu realitas yang Mahasempurna, tanpa cacat, tanpa batas, dan tanpa
akhir, yakni Allah Yang Mahaagung.
Allah swt. menganugerahi setiap manusia nafsu
dan dorongan syahwat. Allah memperindah hal itu dalam diri setiap insan. Allah
berfirman: Dijadikan
indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita,
anak-anak lelaki, harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang
(QS. Âli ‘Imrân [3]: 14).
Kecintaan inilah yang merupakan pendorong utama
bagi segala aktivitas manusia. Dorongan ini mencakup dua hal pokok, yaitu
“memelihara diri” dan “memelihara jenis”. Dari keduanya lahir aneka dorongan,
seperti memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, keinginan untuk memiliki,
hasrat untuk menonjol. Semuanya berhubungan erat dengan dorongan/fithrah
memelihara diri, sedang dorongan seksual berkaitan dengan upaya manusia
memelihara jenisnya. Itulah sebagian fithrah yang dihiaskan Allah kepada
manusia. Tetapi setan dan nafsu sering kali juga memperindah hal-hal tersebut
pada diri manusia, guna melengahkannya dari tugas kekhalifaan. Seks, jika
diperindah setan, maka ia jadikan tujuan. Cara dan dengan siapa pun, tidak lagi
diindahkan. Kecintaan kepada anak―jika diperindah setan―maka subjektivitas akan
muncul, bahkan “atas nama cinta” orangtua membela anaknya walau salah,
memberinya walau dengan melanggar, harta pun jika dicintakan setan maka manusia
akan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya, akan menumpuk dan menumpuk
serta melupakan fungsi sosial harta.
Hawa nafsu tidak pernah puas dan selalu
mengajak kepada hal-hal yang bersifat negatif. Ia bagaikan air laut, semakin
diminum, semakin mengundang haus atau bagaikan eksim, semakin digaruk, semakin
nyaman, tetapi kesudahannya adalah luka yang terinfeksi sehingga mengancam jiwa
raga si penderita. “Siapa yang memilih dunia dengan mengorbankan akhirat,
maka dunia meninggalkannya dan akhirat pun luput darinya.” Dengan kecerdasan
emosi, manusia akan mampu mengarahkan emosi atau nafsu ke arah positif
sekaligus mengendalikannya sehingga tidak terjerumus dalam kegiatan negatif.
Dengan kecerdasan emosi itu, manusia mampu mengendalikan
nafsu, bukan membunuh
dan meniadakannya. Pengendalian diri, bukan penyangkalan dan peniadaan pribadi.
Emosi dan nafsu yang terkendali sangat kita butuhkan sebab ia merupakan salah
satu faktor yang mendorong terlaksananya tugas kekhalifaan di bumi, yakni
membangun dunia sesuai dengan kehendak dan tuntunan Ilahi.
Kecerdasan emosi mendorong lahirnya ketabahan
dan kesabaran menghadapi segala tantangan dan ujian. Itu sebabnya ditemukan
dalam tuntunan Rasul saw. yang berkaitan dengan puasa. Sabda beliau yang
diriwayatkan oleh Bukhari melalui Abu Hurairah bahwa:
إذا كان
يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب فإن سابه أحد أو قاتله فليقل :إني صائم (رواه
البخاري(
Maksudnya: “Apabila salah seorang di antara
kamu berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata buruk, jangan juga
berteriak memaki. Bila ada yang memakinya atau mengutuknya, maka hendaknya ia
berucap, ‘Aku sedang berpuasa,’ yakni aku sedang mengendalikan nafsuku sehingga
tidak akan berbicara atau bertindak, kecuali sesuai dengan tuntunan akal,
moral, dan agama. Kecerdasan emosi menjadikan penyandangnya berbicara dan
bertindak pada saat diperlukan dan dengan kadar yang diperlukan serta pada
waktu dan tempat yang tepat. Kecerdasan emosi mengantar Rasul saw. dan para
sahabat menggunakan emosi amarah dan tampil berperang di Badar pada tanggal 17
Ramadhan tahun ke-2 H/624 M walaupun ketika itu kekuatan fisik dan
senjata mereka sangat minim. Dan dengan kecedasan itu pula, Rasul saw.
mempersembahkan rahmat, pemaafan konsiliasi terhadap orang-orang yang pernah
memusuhi Islam. Ini juga terjadi di bulan Ramadhan tahun ke-8 H/630 M ketika
beliau berhasil menguasai kota Mekkah dan dalam keadaan beliau sangat kuat.
Kecerdasan emosi yang dapat menjadikan jiwa
manusia seimbang, keseimbangan yang dapat menjadikannya berpikir logis,
objektif, bahkan memiliki kesehatan dan keseimbangan tubuh. Siapa yang
berfungsi dengan baik kecerdasan emosi dan spiritualnya, maka akan selamat pula
anggota badannya dari segala kejahatan dan selamat pula hatinya dari segala
maksud buruk.
Kecerdasan ketiga yang kita butuhkan adalah
kecerdasan intelektual. Jika kecerdasan ini tidak dibarengi dengan kedua
kecerdasan di atas, maka manusia, bahkan kemanusiaan seluruhnya, akan
terjerumus dalam jurang kebinasaan. Ia akan menjadi seperti kepompong yang
membakar dirinya sendiri karena “kepintarannya”. Harus diingat bahwa kebodohan
bukanlah sekadar lawan dari banyaknya pengetahuan karena bisa saja seseorang
memiliki informasi yang banyak, tetapi apa yang diketahuinya tidak bermanfaat
baginya. Karena itu, pesan Luqman as. Kepada anaknya: “Anakku! Tidak ada
baiknya mempelajari apa yang belum engkau ketahui selama engkau belum
memanfaatkan apa yang telah engkau ketahui. Ini seperti pengumpul kayu yang tak
mampu memikulnya, tetapi ia menambah lagi kayu yang lain untuk dipikulnya.”
Pengetahuan adalah nur, cahaya yang dicampakkan Allah ke hati siapa yang
mempersiapkan diri untuk meraihnya. Di sisi lain, perlu diingat bahwa kemajuan
ilmiah satu bangsa tidak diukur dengan banyaknya alat-alat atau canggihnya
laboratorium yang mereka miliki, tetapi bagaimana alat-alat itu mereka gunakan
untuk memperoleh rahasia alam raya dan menggali kekayaan alam, bahkan kepemilikan
alat-alat itu dan―jika bersumber dari bangsa lain, baik karena pembelian maupun
hibah―sama sekali tidak dapat dijadikan ukuran kemajuan walau ia telah
digunakan dengan baik. Yang maju adalah pencipta alat-alat itu. Memang
teknologi bukanlah alat-alat yang telah diproduksi, tetapi sistem dan metode
yang melahirkan alat-alat itu. Karena itu pula, kemajuan ilmu bersyarat dengan
adanya iklim yang mendorong terciptanya keinginan untuk melakukan penelitian
dan pengembangan, dan inilah pada hakikatnya yang dilakukan oleh kitab suci
al-Qur’an.
elanjutnya, bila kecerdasan-kecerdasan di atas
terhimpun pada diri seseorang, maka ia secara sadar akan berkata ‘Saya tidak
tahu’ menyangkut hal yang tidak diketahuinya karena kecerdasan―seperti yang
penulis kemukakan di atas―tidak selalu dihadapkan dengan ketidaktahuan. Karena
itu, seorang yang berkata ‘Saya tidak tahu’ menyangkut hal-hal yang berada di
luar kemampuannya justru lebih cerdas daripada yang mengaku tahu padahal
sebenarnya ia tidak tahu, apalagi tidak mampu tahu. Sayyidina Abubakar ra.
pernah ditanyai tentang hakikat ketuhanan.
Si penanya berkata:
بم عرفت ريّك
“Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu?”
Beliau menjawab:
عرفت ربي بربي : “Aku mengenal
Tuhanku melalui Tuhanku.”
Lalu si penanya melanjutkan:
و كيف عرفته
“Bagaimana engkau mengenalnya ?”
Abubakar ra. menjawab:
العجز عن الإدراك إدراك Maksud
beliau: “(Kesadaran tentang) Ketidakmampuan menjangkau sesuatu―yang memang
tidak terjangkau―itulah keterjangkauan.”
Kepada Imam Malik pernah diajukankan 48
pertanyaan, hanya dua belas diantaranya yang beliau jawab, sisanya beliau
katakan, “Aku tak tahu.“ Pernah seorang bertanya kepada Imam Syafi’i dan
mengulang-ulangi pertanyaannya, namun tidak juga dijawab oleh beliau. Si
penanya berkata: “Ucapkanlah sesuatu, baik menjawab pertanyaanku maupun tidak.“
Akhirnya, Imam itu berkata: “Aku sebenarnya sedang berpikir yang mana yang
lebih baik kutempuh, diam atau menjawab pertanyaanmu.” Demikian kecerdasan yang
tampak dari mereka, bukan hanya ketika mereka menjawab, tetapi juga ketika
mereka diam. Itulah sebabnya dalam tradisi keilmuan ulama, jawaban “Aku tidak
tahu“ atau Allâh
A’lam (Allah yang Maha Mengetahui) merupakan hiasan bibir dan
karya-karya ilmiah mereka.
Dengan aneka kecerdasan di atas, seseorang akan
menyandang pakaian ruhani. Dengan pakaian ruhani terpelihara identitasnya lagi
anggun penampilannya, Anda akan menemukan ia selalu bersih walau miskin, hidup
sederhana walau kaya, terbuka tangan dan hatinya, tidak berjalan membawa fitnah,
tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak menuntut yang bukan haknya, dan
tidak menahan hak orang lain. Bila beruntung, ia bersyukur. Bila diuji, ia
bersabar. Bila berdosa, ia istighfar. Bila bersalah, ia menyesal. Dan bila
dimaki, ia tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar