Laknat
Korupsi
Oleh: Moh
Mahfud MD
Meskipun
hukum pidana Islam (jinayat) tidak berlaku di dalam hukum positif Indonesia,
tetapi sebagai bagian dari ilmu banyak juga yang mempelajarinya, terutama di
pondok pesantren. Di beberapa fakultas hukum, apalagi di fakultas syariah, fiqh
jinayat bahkan menjadi mata kuliah tersendiri. Melalui media sosial sangat banyak
juga masyarakat yang menanyakan kemungkinan pemberlakuan ancaman dan penjatuhan
hukum pidana Islam bagi pelaku kejahatan di Indonesia. Misalnya soal hukuman
bagi kejahatan narkoba dan kejahatan korupsi.
Apa
ancaman hukuman pidana korupsi menurut hukum Islam? Bisakah dihukum mati atau
dihukum potong tangan seperti jenis-jenis hukuman yang berlaku di dalam hukum
pidana Islam? Jawabannya, tentu saja, jinayat atau hukum pidana Islam tidak
berlaku sebagai hukum di Indonesia. Di Indonesia, hukum pidana Islam bukanlah
hukum dalam arti "peraturan resmi yang berlaku dan mengikat",
melainkan sekadar bagian dari objek ilmu hukum yang bisa dipelajari secara
akademis.
Terhadap
kejahatan korupsi di Indonesia tidak bisa diberlakukan hukum pidana Islam.
Tetapi usulan agar pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman mati memang
bisa saja diberlakukan, bukan karena ada di dalam jinayat, melainkan didasarkan
pada undang-undang yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri.
Bahkan
untuk hukum pidana yang berlaku sekarang ancaman hukuman mati bagi pelaku
korupsi memang sudah ada di Indonesia, yakni di dalam UU Nomor 30/2002 tentang
Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam
undang-undang tersebut ancaman hukuman bagi pelaku korupsi adalah hukuman
penjara paling lama 20 tahun atau seumur hidup, tetapi bisa juga dijatuhi
hukuman mati jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, misalnya dalam
keadaan krisis.
Untuk
sekadar diketahui, sebagai ilmu dapat dikemukakan bahwa hukum pidana Islam sama
sekali tidak menentukan jenis hukuman apa bagi pelaku korupsi.
Jenis-jenis
hukuman di dalam Islam terdiri dari qishash, hudud (had), dan ta’zir. Qishash
adalah penghukuman pidana secara sama dengan pidana yang dilakukannya yang
biasanya terkait dengan kejahatan terhadap fisik manusia, misalnya, yang
membunuh dijatuhi hukuman dibunuh juga, yang membuat cacat tubuh dijatuhi
hukuman pencacatan tubuh.
Adapun
hudud adalah penghukuman yang jenisnya ditentukan dalam kualitas tertentu
sesuai dengan jenis perbuatannya, misalnya, penzina yang masih bujang dicambuk
masing-masing 100 kali, pencuri dipotong tangan, penzina muhshan (sudah punya
istri atau suami) dirajam sampai mati.
Di luar
ancaman hukuman yang sudah ditentukan berdasar qishash dan hudud ada jenis
hukuman atau penghukuman berdasar ta’zir, yakni, hukuman yang ditetapkan oleh
hakim berdasar pertimbangannya sendiri sesuai dengan kualitas atau berat dan
ringannya tindak pidana yang dilakukan.
Penghinaan
terhadap orang lain atau penggelapan dokumen, misalnya, tidak ada jenis
hukumannya yang pasti di dalam hukum pidana Islam. Begitu juga kejahatan
narkoba, tidak ada ancaman hukumannya yang bisa dijadikan patokan oleh hakim.
Dalam tindak pidana yang tidak ada patokan penghukuman itulah hakim bisa
membuat hukuman sendiri berdasarkan ta’zir, yakni hukuman yang ditentukan
sendiri oleh hakim sesuai dengan penilaiannya atas tindak pidana tersebut.
Bagaimana
dengan tindak pidana korupsi? Seperti dikemukakan di atas, banyak yang
mengusulkan agar koruptor dijatuhi hukuman potong tangan karena hakikat korupsi
itu sama dengan mencuri.
Ada juga
yang mengusulkan koruptor dijatuhi hukuman mati karena kejahatan tersebut tak
kalah kejam dari pembunuhan, bahkan korupsi itu bisa berskala pembunuhan
terhadap banyak orang.
Jika
dikaitkan dengan tiga jenis pemidanaan (qishash, hudud, dan ta’zir) maka jelas
bahwa tindak pidana korupsi tidak masuk dalam penghukuman dengan qishash atau
hudud. Artinya, menurut hukum pidana Islam pun sebenarnya tindak pidana korupsi
termasuk dalam lingkup ta’zir, yakni tindak pidana yang hukumannya bisa
ditentukan oleh hakim secara kasus per kasus.
Dengan
kewenangan menghukum berdasar ta’zir hakim bisa menjatuhkan hukuman pidana
kepada koruptor secara bervariasi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Yang
melakukan korupsi karena kemiskinan (by need), misalnya, menaikkan harga
pembelian kertas atau alat tulis lain yang jumlahnya tidak banyak karena ingin
membayar uang sekolah anaknya bisa hanya dijatuhi hukuman ringan seperti denda.
Tetapi
yang melakukan korupsi karena keserakahan atau kerakusan (by greed) sampai
miliaran atau ratusan miliar rupiah bisa dijatuhi hukuman berat seperti
pemenjaraan selama bertahun-tahun, bahkan dijatuhi hukuman mati.
Jadi
jenis hukuman atas korupsi, karena tidak masuk dalam qishash dan hudud, maka
bisa juga dilakukan dalam bentuk penghukuman mati, jika berdasar rasa keadilan
yang digalinya, hakim menganggap layak untuk itu.
Meski
korupsi tidak termasuk dalam hukuman qishash atau hudud, Islam menganggap
korupsi merupakan kejahatan yang sangat serius. Nabi Muhammad SAW menyatakan
korupsi itu terlaknat, dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Laknat
tentu lebih berat daripada hudud atau qishash, sebab laknat itu dijatuhkan
untuk perusak sekelas iblis. Pelaknatan atas iblis, misalnya, disebutkan di
dalam Alqur’an Surat Alhijr ayat (35) ketika Allah berfirman kepada Iblis,
”Laknatlah atasmu sampai hari pembalasan.” []
KORAN
SINDO, 04 Juli 2015
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar