Kerja
adalah Ibadah
Oleh: M. Quraish Shihab
Islam adalah agama Tauhid; yakni
kepercayaan tentang Keesaan Allah. Berkeliling di sekitar Tauhid aneka kesatuan
yang lahir dari keyakinan itu, yang bila ia dilepaskan darinya, maka
terlepas pula ia dari ajaran Tauhid. Itu tak ubahnya dengan matahari yang
berkeliling di sekitarnya serta berada di bawah daya tariknya planet-planet
tata surya, yang bila terlepas dari daya tarik itu, planet tersebut akan hancur
berantakan.
Kesatuan
dunia dan akhirat adalah salah satu aspek dari Tauhid dalam arti apa yang
dilakukan di dunia itulah yang ditemukan di akhirat. Karena itu, tidaklah tepat
menyatakan bahwa ada amal duniawi dan ada pula amal ukhrawi karena keduanya
merupakan satu mata uang dengan dua wajah. Ibadah dan kerja pun sesungguhnya
harus merupakan satu kesatuan. Karena itu pula, pekerjaan apa pun yang
dilakukan oleh penganut Tauhid dapat menjadi ibadah yang dia peroleh
ganjarannya, bukan saja di dunia, tetapi juga bahkan lebih-lebih di akhirat.
Kerja didefinisikan
sebagai penggunaan daya. Manusia secara garis besar dianugerahi Allah
empat daya pokok, yaitu daya fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan
keterampilan, daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan
menghasilkan ilmu pengetahuan, daya kalbu yang menjadikan manusia mampu
berkhayal, mengekspresikan keindahan serta beriman dan merasakan serta
berhubungan dengan Allah Sang Pencipta, dan daya hidup yang menghasilkan
semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan serta menanggulangi kesulitan.
Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut—betapapun sederhananya—melahirkan
kerja atau amal. Anda tidak dapat hidup tanpa menggunakan paling sedikit salah
satu dari daya itu. Untuk melangkah, Anda memerlukan daya fisik, paling tidak
guna menghadapi daya tarik bumi. Karena itu, kerja adalah keniscayaan.
Selanjutnya karena tujuan penciptaan manusia adalah menjadikan seluruh
aktivitasnya bermula dan berakhir dengan ibadah kepada Allah (QS.
adz-Dzâriyât [51]: 56), maka seluruh penggunaan dayanya harus merupakan ibadah
kepada-Nya.
Ibadah
bukan sekadar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan
akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya
ia mengabdi. Seorang pengabdi tidak mencapai hakikat pengabdian, kecuali jika
ia tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya,
tetapi milik siapa yang kepadanya ia mengabdi. Segala usahanya pun hanya
berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi apa
yang dilarang, serta tidak memastikan sesuatu untuk ia laksanakan,
kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia mengabdi.
Ibadah
adalah kerja dan kerja adalah ibadah, tetapi perlu diingat bahwa kerja
atau amal yang dituntut-Nya bukan asal kerja, tetapi kerja yang saleh atau amal
saleh. Saleh adalah yang sesuatu yang bermanfaat lagi
memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya.
Menggunakan
salah satu dari daya-daya di atas selama saleh dan dengan motivasi yang tulus
mengikuti tuntunan Allah, maka apa yang dikerjakan itu telah menjadi ibadah.
Karena itu, Anda dapat beribadah kapan dan di mana pun. Nabi Muhammad saw.
menegaskan salah satu keistimewaan ajaran Tauhid adalah: “Allah menjadikan
persada bumi ini sebagai masjid tempat sujud (patuh kepada-Nya) dan sarana
penyuciaan.” Anda tidak perlu berkata seperti yang konon diucapkan oleh
Filsuf, Jerman Immanuel Kant, “Saya terpaksa menghentikan penelitian
ilmiah agar menyediakan tempat dalam hatiku untuk percaya atau
beribadah.” Yang diajarkan oleh al-Qur’an untuk diucapkan sekaligus
dipahami dan diamalkan adalah: “Sesungguhnya shalatku, ibadah
(murni)ku, hidupku, dan matiku hanyalah demi karena Allah, Tuhan semesta
alam” (QS. al-An’âm [6]: 162).
Mengapa
hanya demi karena Allah? Sebab kepada-Nya saja berakhir segala sesuatu
(QS. an-Najm [53]: 62). Karena itu, seorang Muslim memulai amalnya dengan
Basmalah, yakni menyadari bahwa itu tidak dapat wujud tanpa bantuan Allah dan
mengakhirinya dengan Hamdalah, yakni dengan bersyukur kepada-Nya. Dengan
demikian, Allah adalah pangkalan tempat kita bertolak dan pelabuhan tempat kita
bersauh.
Prinsip
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ilmuwan Amerika Steven
Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People, yang
mengemukakan bahwa salah satu kunci keberhasilan yaitu memulai dengan
akhir yang terdapat dalam pikiran.
Di sisi lain, kitab suci al-Qur’an
tidak memberi peluang bagi seorang Muslim untuk berleha-leha dalam hidup
ini. Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah
tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja)
sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru) sehingga
menjadi nyata,” demikian pesan QS. asy-Syarh [94]: 7. Karena itu, waktu harus
dihargai dengan mengisi dan memanfatkannya. ‘Ali Ibnu Abi Thalib ra.
mengingatkan bahwa: “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini
masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak esok hari, tetapi
waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.” Demikian, wa Allâh
A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar