Rabu, 06 Desember 2017

(Buku of the Day) Meluruskan Pemahaman Hadits Kaum Jihadis



Menangkal Argumen Salah Kaprah soal Hadits Jihad


Judul        : Meluruskan Pemahaman Hadits Kaum Jihadis
Penulis     : Abdul Karim Munthe, dkk
Penerbit    : Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhori
Cetakan    : I, April 2017
Tebal        : xxiv + 170 halaman
ISBN        : 978-602-74686-2-7
Peresensi : Wildan Imaduddin Muhammad

Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang belum mendalami ilmu agama, propaganda kelompok radikal dengan menggunakan hadits-hadits Nabi adalah suatu kebenaran yang wajib diimani dan dijalankan. Kita tidak memungkiri bahwa hadits Nabi Muhammad merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Tetapi perlu diingat, memahami hadits tanpa ilmunya akan menjurumuskan kita pada salah paham dan perbuatan yang salah kaprah.

Kelompok radikal yang dimaksud adalah IS (Islamic State)—dulunya bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Suria). Dengan memakai hadits seputar hijrah, jihad, "ghuraba", dan lain lain, mereka berhasil merekrut ribuan anggota dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Padahal, hadits-hadits yang dijadikan alat propaganda dan alat legitimasi oleh mereka itu perlu dikaji ulang.

Buku ini merupakan bentuk ikhtiar dari teman-teman el-Bukhari Institute (eBI) yang memang telah mendalami ilmu hadits dan tahu persis bagaimana semestinya hadits-hadits itu dipahami untuk menangkal propaganda IS. Kelompok radikal ini sangat militan mempromosikan gerakannya lewat internet terutama media sosial, salah satunya dengan majalah Dabiq. Nah, majalah ini memuat hadits-hadits dari berbagai topik untuk menggalang simpatisan dan anggota. 

Tim penyusun buku mendata hadits-hadits dari majalah Dabiq dan menklasifikasikannya menjadi sebelas topik. Hadits tersebut dikupas secara tuntas dan gamblang dalam bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Meski memakai bahasa populer, bobot buku ini tidak berkurang sedikit pun karena sumber referensi yang otoritatif disertakan sebagai catatan kaki.

Buku ini menguraikan bahwa untuk memahami hadits sedikitnya diperlukan dua metode: pertama kritik sanad untuk melihat sejauh mana hadits itu terpercaya (tsiqqah) dari segi periwayatan, dan kedua metode pemahaman hadits, yakni dengan melihat konteks kemunculan (asbab wurud) dan relevansinya di masa sekarang. (halaman 6)

Ketika memahami hadits tentang hijrah dalam kitab Ahmad dan Abu Dawud, misalnya, dijelaskan bahwa salah satu perawi dari jalur periwayatannya lemah (dhaif). Selain bermasalah dari sisi periwayatan, diterangkan pula dari sisi konteks kesejarahan dan fikih. Pada dasarnya hadits tentang hijrah mesti dipahami dalam naungan kebebasan praktik ibadah. (halaman 22)

Contoh lain adalah hadits mengenai jihad dengan berperang. Meskipun dari jalur periwayatan tidak diragukan kesasihannya, tetapi hadits ini tidak serta merta harus diamini begitu saja. Jihad tidak selalu tentang perang, tetapi jihad yang sesungguhnya adalah menebar kebaikan dan perdamaian. Ditambah lagi perlu dibedakan konteks situasinya, hadits ini muncul dalam situasi konflik. Hadits tentang jihad berperang ini semestinya diletakkan di bawah hadits tentang perdamaian, bukan malah sebaliknya. (halaman 32)

Menurut buku ini, kesalahpahaman atas hadits yang diperlihatkan IS tidak berhenti pada aspek riwayat dan konteksnya saja. Tetapi seringkali mereka memotong hadits dengan tidak menyertakan redaksi hadits secara utuh. Seperti contoh hadits tentang Negara Islam, kelompok IS tidak memperlihatkan semua bunyi hadits. Hadits ini berbunyi: “Aku (Nabi Muhammad SAW) berlepas diri dari setiap Muslim yang hidup di tengah-tengah orang musyrik. Tidak akan terkumpul dua api mereka berdua.”

Padahal, konteks haditsnya terkait Khalid bin Walid dalam perang Khats’am. Khalid tetap membunuh orang-orang yang sudah menyerah. Kemudian Nabi SAW menghukum pasukan Khalid dengan membayar diyat (denda). Dan bunyi sabda Nabi SAW mengenai "berlepas diri", sebenarnya dimaksudkan agar pasukan Khalid tidak tinggal di wilayah konflik. Pemaknaan IS malah terbalik, mereka mengajak umat Muslim untuk hijrah ke negara konflik. (halaman 60)

Yang menjadikan buku ini sangat penting, selain karena kontennya, adalah testimoni dari berbagai tokoh tingkat nasional dan internasional. Sebut saja Guru Besar Kajian Islam Said Aqil Al-Munawwar, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Rais Syuriyah PCINU Australia-Selandia Baru Nadirsyah Hosen, dan lain lain. Artinya, buku ini penting karena sudah dibaca oleh orang-orang penting.

Penulis resensi ini sengaja tidak menampilkan informasi yang diuraikan terkait empat hadits di atas secara utuh. Agar lebih jelas, segera baca buku ini! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar