Senin, 11 Desember 2017

Kang Komar: Muhammad, sang Pencerah Zaman



Muhammad, sang Pencerah Zaman
Oleh: Komaruddin Hidayat

BAGI umat Islam, Nabi Muhammad SAW tidak saja diposisikan sebagai nabi pamungkas seluruh nabi sebelumnya, tetapi juga sebagai sosok historis yang memberikan andil besar dalam membangun peradaban dunia. Beliau ialah pencerah zaman. Ajaran Islam yang diwariskan dan rekam jejak serta model kepemimpinannya telah menarik minat para sejarawan dunia, tidak terbatas pada intelektual muslim.

Salah satu ukuran kebesaran seorang tokoh sejarah bisa dilihat dari warisan ajarannya yang dianut dan dijaga oleh miliaran penduduk bumi. Kemudian, itu masih bertahan serta berkembang terus tanpa terputus mata rantai kesejarahannya dan autentisitas dokumen kitab sucinya.

Dalam perjalanan sejarahnya semua agama, termasuk Islam, mesti berinteraksi dengan budaya setempat sehingga pada urutannya agama dan budaya tidak mungkin dipisahkan, sekalipun asal-usulnya bisa dibedakan. Ajaran agama diyakini berasal dari Allah yang diwahyukan melalui Rasul-Nya, sedangkan budaya ialah hasil kreasi budi daya manusia, yang keduanya, saling mendukung dan memerlukan.

Agama tidak akan berkembang tanpa instrumen budaya. Agama punya klaim kebenaran universal, sedangkan ekspresi budaya selalu bersifat lokal-kontekstual sehingga kita mengenal konsep kebenaran normative-universal dan kebajikan partikular (local wisdom)

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai penutup para rasul Allah. Namun, jika sosok Muhammad diposisikan sebagai tokoh sejarah pencerah zaman, akan terlihat bahwa setelah Muhammad memang tak ada lagi rasul Allah yang membawa ajaran baru.

Di berbagai belahan bumi, pernah muncul tokoh-tokoh pencerah zaman yang membawa pesan Allah yang warisannya tetap bertahan dan tumbuh meskipun kita tidak tahu sejarah hidup pembawanya. Asumsi ini sangat sejalan dengan Alquran yang menyatakan bahwa Allah pernah mengirim rasul-rasul-Nya ke muka bumi, sebagian diceritakan dalam Alquran dan sebagian lagi tidak diceritakan (Al Mukmin 40 : 78).

Berbagai warisan ajaran rasul Allah, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, merupakan al-hikmah al-khalidah atau perennial wisdoms yang menjadi inspirasi tumbuhnya nilai-nilai dan tradisi kebaikan (al-ma'ruf) yang berkembang di berbagai komunitas di muka bumi, apa pun suku dan agamanya. Kecenderungan masyarakat memilih kebaikan, yang dalam bahasa Alquran disebut al-khair dan al-ma'ruf juga didorong fitrah yang ditanamkan Allah kepada setiap anak Adam yang pada dasarnya selalu menyenangi kebaikan, kebenaran, kedamaian, dan keindahan.

Jadi, menurut ajaran Rasulullah Muhammad, setiap pribadi pada dasarnya baik dan mengarah pada kebaikan, apa pun etnik dan keyakinannya. Kata khair (kebaikan) yang puluhan kali disebutkan dalam Alquran seakar dengan kata khara (memilih) dan ikhtiar yang artinya sebuah tindakan akan memiliki nilai moral kebaikan jika dilakukan atas dasar pertimbangan secara sadar dan pilihan bebas. Bukan produk ancaman dan keterpaksaan.

Oleh karena itu, Allah berfirman, tak ada kebaikan dan kesalehan dalam beragama jika dilakukan karena terpaksa (Albaqarah 2: 256). Jika kita mau jujur dan berempati pada tradisi-tradisi masyarakat mana pun di muka bumi ini akan ditemukan spirit dan dorongan untuk hidup secara baik, benar, damai, dan indah.

Rasulullah Muhammad sendiri menyatakan bahwa kehadirannya untuk menjaga, meneruskan, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para rasul Allah yang sebelumnya. Dengan kata lain, ajaran Islam bersikap inklusif, menghargai ajar-an para nabi sebelumnya dan berbagai hikmah dari mana pun datangnya. Oleh karena itu, dalam studi Islam dibedakan antara kajian Islam tekstual-normatif dan Islam historis-sosiologis. Yang kedua ini ialah Islam yang dipahami, ditafsirkan, dan diekspresikan para pemeluknya sehingga melahirkan fenomena Islam Arab, Islam Nusantara, dan Islam di berbagai wilayah lain.

Dalam konteks ini ekspresi keislaman di Indonesia jauh lebih kaya ketimbang di Timur Tengah karena pemahaman dan perkembangan Islam tak bisa dipisahkan dari pengaruh budaya pemeluknya. Makanya, kita perlu membedakan antara Islamisme dan Arabisme, sebagaimana juga kita mesti membedakan antara Islam doktrinal dan Islam kultural. Antara budaya dan wahyu. []

MEDIA INDONESIA, 30 November 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar