Muhammad, sang Pencerah Zaman
Oleh: Komaruddin Hidayat
BAGI umat Islam, Nabi Muhammad SAW tidak saja diposisikan sebagai
nabi pamungkas seluruh nabi sebelumnya, tetapi juga sebagai sosok historis yang
memberikan andil besar dalam membangun peradaban dunia. Beliau ialah pencerah
zaman. Ajaran Islam yang diwariskan dan rekam jejak serta model kepemimpinannya
telah menarik minat para sejarawan dunia, tidak terbatas pada intelektual
muslim.
Salah satu ukuran kebesaran seorang tokoh sejarah bisa dilihat
dari warisan ajarannya yang dianut dan dijaga oleh miliaran penduduk bumi.
Kemudian, itu masih bertahan serta berkembang terus tanpa terputus mata rantai
kesejarahannya dan autentisitas dokumen kitab sucinya.
Dalam perjalanan sejarahnya semua agama, termasuk Islam, mesti
berinteraksi dengan budaya setempat sehingga pada urutannya agama dan budaya
tidak mungkin dipisahkan, sekalipun asal-usulnya bisa dibedakan. Ajaran agama
diyakini berasal dari Allah yang diwahyukan melalui Rasul-Nya, sedangkan budaya
ialah hasil kreasi budi daya manusia, yang keduanya, saling mendukung dan
memerlukan.
Agama tidak akan berkembang tanpa instrumen budaya. Agama punya
klaim kebenaran universal, sedangkan ekspresi budaya selalu bersifat
lokal-kontekstual sehingga kita mengenal konsep kebenaran normative-universal
dan kebajikan partikular (local wisdom)
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai penutup para
rasul Allah. Namun, jika sosok Muhammad diposisikan sebagai tokoh sejarah
pencerah zaman, akan terlihat bahwa setelah Muhammad memang tak ada lagi rasul
Allah yang membawa ajaran baru.
Di berbagai belahan bumi, pernah muncul tokoh-tokoh pencerah zaman
yang membawa pesan Allah yang warisannya tetap bertahan dan tumbuh meskipun
kita tidak tahu sejarah hidup pembawanya. Asumsi ini sangat sejalan dengan
Alquran yang menyatakan bahwa Allah pernah mengirim rasul-rasul-Nya ke muka
bumi, sebagian diceritakan dalam Alquran dan sebagian lagi tidak diceritakan (Al
Mukmin 40 : 78).
Berbagai warisan ajaran rasul Allah, sejak Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad, merupakan al-hikmah al-khalidah atau perennial wisdoms yang menjadi
inspirasi tumbuhnya nilai-nilai dan tradisi kebaikan (al-ma'ruf) yang
berkembang di berbagai komunitas di muka bumi, apa pun suku dan agamanya.
Kecenderungan masyarakat memilih kebaikan, yang dalam bahasa Alquran disebut
al-khair dan al-ma'ruf juga didorong fitrah yang ditanamkan Allah kepada setiap
anak Adam yang pada dasarnya selalu menyenangi kebaikan, kebenaran, kedamaian,
dan keindahan.
Jadi, menurut ajaran Rasulullah Muhammad, setiap pribadi pada
dasarnya baik dan mengarah pada kebaikan, apa pun etnik dan keyakinannya. Kata
khair (kebaikan) yang puluhan kali disebutkan dalam Alquran seakar dengan kata
khara (memilih) dan ikhtiar yang artinya sebuah tindakan akan memiliki nilai
moral kebaikan jika dilakukan atas dasar pertimbangan secara sadar dan pilihan
bebas. Bukan produk ancaman dan keterpaksaan.
Oleh karena itu, Allah berfirman, tak ada kebaikan dan kesalehan
dalam beragama jika dilakukan karena terpaksa (Albaqarah 2: 256). Jika kita mau
jujur dan berempati pada tradisi-tradisi masyarakat mana pun di muka bumi ini
akan ditemukan spirit dan dorongan untuk hidup secara baik, benar, damai, dan
indah.
Rasulullah Muhammad sendiri menyatakan bahwa kehadirannya untuk
menjaga, meneruskan, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para rasul Allah yang
sebelumnya. Dengan kata lain, ajaran Islam bersikap inklusif, menghargai
ajar-an para nabi sebelumnya dan berbagai hikmah dari mana pun datangnya. Oleh
karena itu, dalam studi Islam dibedakan antara kajian Islam tekstual-normatif
dan Islam historis-sosiologis. Yang kedua ini ialah Islam yang dipahami,
ditafsirkan, dan diekspresikan para pemeluknya sehingga melahirkan fenomena
Islam Arab, Islam Nusantara, dan Islam di berbagai wilayah lain.
Dalam konteks ini ekspresi keislaman di Indonesia jauh lebih kaya
ketimbang di Timur Tengah karena pemahaman dan perkembangan Islam tak bisa
dipisahkan dari pengaruh budaya pemeluknya. Makanya, kita perlu membedakan
antara Islamisme dan Arabisme, sebagaimana juga kita mesti membedakan antara
Islam doktrinal dan Islam kultural. Antara budaya dan wahyu. []
MEDIA INDONESIA, 30 November 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar