Manakah Lebih Utama,
Menjadi Orang Kaya atau Orang Miskin?
Banyak orang berdoa agar Allah SWT memberinya
rezeki yang luas sehingga memiliki banyak harta alias menjadi orang kaya; sementara
Nabi Muhammad SAW sendiri berdoa agar dihidupkan dan diwafatkan dalam keadaan
miskin. Kedua hal yang bertolak belakang ini kadang menimbulkan kebingungan di
sebagian kalangan umat Islam sehingga memunculkan pertanyaan sebagaimana judul
di atas.
Doa memohon keluasan rezeki memang ada
contohnya, antara lain sebagai berikut:
اللّهُمَّ
إنِّي أَسألُكَ أَنْ تَرْزُقَنِي رِزْقًا حَلَالًا وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ
تَعَبٍ وَلَا مِشْقَةٍ وَلَا ضَيْرٍ وَلَانِصْبٍ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيْرٍ
Artinya: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
rezeki yang halal, luas, dan baik tanpa susah payah, tanpa kesulitan, tanpa
kerusakan, dan tanpa penderitaan. Seungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Sedangkan doa Rasulullah SAW yang
mengharapkan kemiskinan adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ
أَحْيِنِي مِسْكِيناً وَأَمِتْنِي مِسْكِيناً وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ
الْمَسَاكِيْن
Artinya: “Ya Allah, hidupkanlah dan
matikanlah aku sebagai orang miskin dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang
miskin.”(HR: At-Tirmidzi)
Pertanyaan sebagaimana judul di atas dapat
ditemukan jawabannya dalam kitab An-Nafais Al-Uluwiyah fi Masailis Shufiyyah,
karya Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad, bab Anit Tafdhil bainal
Faqri wal Ghina, halaman 66, sebagai berikut:
بسم
الله الرحمان الرحيم الحمد لله الذي جعل الفقر زينة لعباده الصالحين و حلية لخاصته
المفلحين، وذالك اذا قارنه منهم الرضا والتسليم، والشكر والصبر على ما ابتلاهم به
العزيزالعليم
Artinya: “Dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan
kemiskinan sebagai hiasan bagi hamba-Nya yang saleh dan mengkhusukannya bagi
hamba-Nya yang beruntung, dengan syarat bahwa ujian kefakiran dari Allah Yang
Maha Mulia dan Mengetahui diterimanya dengan ridha, tawakal, syukur dan sabar.”
Jadi menurut ulama pembaharu asal Hadhramaut
abad 11 H tersebut, kefakiran sesugguhnya bukan merupakan kehinaan, apalagi
adzab atau laknat dari Allah SWT, tetapi justru suatu hiasan yang indah bagi
hamba-Nya yang saleh. Bahkan juga menjadi tanda keburuntungannya dengan catatan
ia dapat menerima kefakiran itu dengan ridha, tawakal, syukur dan sabar.
Namun, jika seseorang tidak ridha menerima
kefakirannya, bahkan banyak melakukan protes, maka kefakirannya akan menjadi
musibah besar baginya dengan mendapatkan siksa dari Allah SWT. Hal ini seperti
dijelaskan lebih lanjut dalam kitab tersebut (halaman 66-67) sebagai
berikut:
فاما
اذا قارنه الجزع والضجر والاعتراض على القضاء والقدر فهو من البلاء العظيم, المؤدي
الى العذاب المقيم, فالمدح الواقع على الفقر كتابا و سنة, المراد به الفقر المقرون بالصبر والرضا وحسن الادب مع الله
تعالى
Artinya: “Akan tetapi jika kefakiran itu
diterima dengan gelisah, sedih, dan tidak ridha terhadap qadha dan qadar Allah SWT,
maka kefakirannya akan beralih menjadi bencana yang dapat menyeretnya kepada
siksa Allah SWT. Sedangkan menurut Al-Qur’an dan Sunnah, orang fakir yang
terpuji adalah yang dapat menerimanya dengan sabar, ridha, dan adab yang baik
kepada Alllah SWT.
Jadi bagi orang miskin yang tidak ridha
terhadap ketetapan dan takdir Allah SWT, maka kefakirannya akan menjauhkan
orang tersebut dari Allah SWT karena tidak bisa bersikap sabar atas ujian
dari-Nya dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Dalam hal seperti ini, menjadi orang
miskin bukan sebuah keutamaan baginya sehingga ia harus berjuang melawan
kefakirannya agar menjadi orang mampu yang bersyukur.
Kesimpulannya adalah menjadi orang miskin
bisa lebih utama daripada menjadi orang kaya dengan syarat kemiskinannya mampu
mendorongnya mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan kesabaran, keridhaan,
tawakal, dan selalu bersyukur kepada Allah SWT. Jika syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka menjadi orang kaya akan lebih utama dengan syarat kekayaannya
mampu mendorongnya mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan syukur dan
ketakwaan kepada-Nya. Jadi masalahnya adalah tergantung pada mana yang lebih
efektif mendorong mendekatkan diri kepada Allah SWT. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar