Melihat Allah di Dunia,
Mungkinkah? (1)
Kehidupan surga merupakan suatu harapan yang
didamba-dambakan oleh setiap manusia, bayang-bayang kenikmatan surga banyak
digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai balasan bagi siapa saja yang
iman dan patuh kepada-Nya. Namun ada sebagian kecil manusia yang cinta dan
patuh kepada-Nya tidak lagi mendambakan surga, melainkan suatu nikmat yang
lebih besar dari itu, yaitu “melihat Allah” (ru’yatullah).
Salah satunya adalah Rabi’ah al-Adawiyah (W
135 H), seorang wanita yang terkenal ta’at dalam beribadah, dalam syairnya ia
berkata :
أُحِبُّكَ
حُبَّينِ حُبَّ الهوَى ... وَحُبًّا لأنَّكَ أَهْلٌ ِلذاكا
فأمَّا
الذى هُو حُبُّ الهوى ... فَشُغْلِى بذكرِك عَمَّنْ سِواكا
وأما الذى
أنْتَ أهْلٌ لَهُ ... فَكَشْفُكَ لى الحُجْبَ حتَّى أَراكا
فَلا
اْلحَمْدُ في ذا ولا ذاكَ لِى ... ولَكِنْ لَكَ الحَمْدُ فِي ذَا وذاكا
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta karena rindu dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena rindu adalah
kesibukanku yang senantiasa mengingati-Mu
Dan cinta karena diri-Mu adalah
keadaan-Mu menyingkap tabir hingga kulihat-Mu.
(Pujianku) ini-itu, bukanlah untukku,
melainkan semua pujian tersanjung untuk-Mu
Bait ketiga dari syair di atas, Rabi’ah
Al-Adawiyah mengungkapkan cintanya kepada Allah SWT karena (kelak) ia akan
melihat Allah, dan cinta seperti inilah yang paling tinggi derajatnya di antara
kedua cinta di atas, tegas Imam Al-Ghazali. Lalu pertanyaannya apakah orang
mu’min dapat melihat Allah, baik di dunia maupun akhirat?
Ru’yatullah (melihat Allah) di Dunia
Menurut Qadli Iyadh (w. 544H) melihat Allah
di dunia adalah sesuatu yang jaiz menurut akal. Menurutnya hal ini tidak ada
dalil syara’ secara pasti yang melarang akan hal ini, selain itu Allah adalah
dzat yang wujud dan setiap yang wujud hukumnya jawaz dilihat (Al-Qadli
‘Iyadh, 2013: 249-250).
Ia berargumen berdasarkan permintaan Nabi
Musa AS kepada Allah agar ia bisa melihat-Nya, seperti dalam QS, Al-a’raf
143;
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan
kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung)
kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman:
"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat
melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya
gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan
aku orang yang pertama-tama beriman”.
Merupakan suatu yang muhal bagi Nabi apabila
ia tidak tahu tentang sesuatu yang jaiz atau tidak bagi Allah, oleh karena itu
permintaan Nabi Musa (melihat) kepada Allah adalah termasuk sesuatu yang ja’iz
bagi Allah dan bukan hal yang mustahil, akan tetapi permintaan Nabi Musa
tersebut merupakan suatu permintaan yang ghaib dan tiada yang mampu
mngetahuinya melainkan bagi orang yang benar-benar telah diberi pengetahuan
oleh-Nya. Maka Allah pun berkata kepada Nabi Musa (لن
تراني) bahwa kamu tidak akan
mampu (kuat) melihat-Ku, lalu Allah mencontohkan sebuah gunung yang lebih kuat
daripada Nabi Musa (dan gunung tersebut pun hancur).
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh
Ibrahim Al-laqqoni dalam nadzam Jauharatu Al-Tauhid :
وَمِنْهُ
اَنْ يُنظَرَ بِاْلاَبْصار # لَكِنْ بِلَا كَيْفٍ ولا انْحِصار
للمؤمنين
اِذْ بجائزْ علّقت # هذا ولِلمُخْتار دُنْيًا ثبتَتْ
Termasuk jaiz aqli adalah melihat Allah
melalui mata kepala bagi orang mu’min, akan tetapi hal itu tanpa kaifiyah dan
tanpa batas ata. Hal ini (melihat Allah di dunia) berlaku bagi orang
terpilih (Rasulullah )
Mengenai nadzam di atas, syaikh Ibrahim
Al-Baiuri menjelaskan bahwa melihat Allah baik di dunia maupun di akhirat
termasuk sesuatu yang jaiz aqli, karena Allah adalah dzat yang maujud dan
setiap yang maujud sah untuk dilihat, maka Allah sah untuk dilihat, namun di
dunia hanya berlaku bagi Rasulullah SAW saja (Al-Bajuri, tt: 71). Selanjutnya
mengenai khususiyah Rasulullah melihat Allah dengan kedua mata, dalam hal ini
terdapat perbedaan di kalangan para ulama’:
Pertama, menguatkan pendapat yang menafikan
ru’yah bil ‘ain bagi Rasulullah di dunia
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya, seperti berikut ini :
وَأَمَّا
" الرُّؤْيَةُ "
فَاَلَّذِي ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ : "
رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ بِفُؤَادِهِ مَرَّتَيْنِ " وَعَائِشَةُ أَنْكَرَتْ الرُّؤْيَةَ . فَمِنْ
النَّاسِ مَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَالَ : عَائِشَةُ أَنْكَرَتْ رُؤْيَةَ
الْعَيْنِ وَابْنُ عَبَّاسٍ أَثْبَتَ رُؤْيَةَ الْفُؤَادِ . وَالْأَلْفَاظُ
الثَّابِتَةُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ هِيَ مُطْلَقَةٌ أَوْ مُقَيَّدَةٌ بِالْفُؤَادِ
تَارَةً يَقُولُ : رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ وَتَارَةً يَقُولُ رَآهُ مُحَمَّدٌ ؛
وَلَمْ يَثْبُتْ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ لَفْظٌ صَرِيحٌ بِأَنَّهُ رَآهُ بِعَيْنِهِ .
وَكَذَلِكَ " الْإِمَامُ أَحْمَد " تَارَةً يُطْلِقُ الرُّؤْيَةَ ؛
وَتَارَةً يَقُولُ : رَآهُ بِفُؤَادِهِ ؛ وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ إنَّهُ سَمِعَ
أَحْمَد يَقُولُ رَآهُ بِعَيْنِهِ ؛ لَكِنَّ طَائِفَةً مِنْ أَصْحَابِهِ سَمِعُوا
بَعْضَ كَلَامِهِ الْمُطْلَقِ فَفَهِمُوا مِنْهُ رُؤْيَةَ الْعَيْنِ ؛ كَمَا
سَمِعَ بَعْضُ النَّاسِ مُطْلَقَ كَلَامِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَفَهِمَ مِنْهُ رُؤْيَةَ
الْعَيْنِ . وَلَيْسَ
فِي الْأَدِلَّةِ مَا يَقْتَضِي أَنَّهُ رَآهُ بِعَيْنِهِ وَلَا ثَبَتَ ذَلِكَ
عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَلَا فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مَا يَدُلُّ
عَلَى ذَلِكَ ؛ بَلْ النُّصُوصُ الصَّحِيحَةُ عَلَى نَفْيِهِ أَدَلُّ ؛ كَمَا فِي
صَحِيحِ مُسْلِمٍ { عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : سَأَلْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ رَأَيْت رَبَّك ؟ فَقَالَ : نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ {
Ibarat di atas dapat dipahami bahwa Ibnu
Taimiyah menafikan ru’yah bil ain bagi Rasulullah (di dunia) dengan
dasar:
- Keterangan yang sahih dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa “Rasulullah SAW, telah melihat tuhannya dua kali dengan
hatinya”. Sedangkan Aisyah menafikan adanya ru’yah. Sehingga kedua keterangan
tersebut jika di jam’u (dikompromikan) adalah “Aisyah mengingkari adanya
ru’yah dengan mata, sedangkan Ibnu Abbas menetapkan adanya ru’yah dengan
hati”
- Keterangan-keterangan dari Ibnu Abbas tidak
ada satu pun redaksi yang sharih yang menunjukkan bahwa Rasulullah pernah
melihat Allah dengan mata kepala, melainkan redaksinya bersifat mutlaq ( رأى محمد ربه)
atau ada yang di-qayyidi dengan kata bi fu’adihi (dengan hatinya). Begitu pula
keterangan yang diambil dari Imam Ahmad.
Dengan demikian, menurut Ibnu Taimiyah, tidak
ada dalil yang menuntut adanya ru’yah bil ain bagi Rasulullah (di dunia), baik
Al-kitab Al-sunnah, maupun keterangan dari sahabat. Namun justru yang ada
adalah adanya hadis sahih yang menafikan hal itu, seperti hadis yang
diriwayatkan dari Abi Dzar;
عَنْ
أَبِى ذَرٍّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- هَلْ رَأَيْتَ
رَبَّكَ قَالَ « نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
».
Dari Abi Dzar berkata, aku bertanya
Rasulullah, apakah engkau pernah melihat tuhanmu? Rasulullah menjawab “Cahaya,
bagaimana aku bisa melihat-Nya.”
Kedua, menguatkan pendapat yang menetapkan
adanya ru’yah bil ain bagi Rasulullah di dunia
Di antara yang berpendapat tentang hal ini
adalah Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim-nya, setelah ia
memaparkan penjelasan Al-Qadli ‘Iyadh dan Sahibu At-Tahrir tentang ru’yah,
bahwa pendapat yang kuat menurut mayoritas ulama, ia berkata;
فَالْحَاصِل
أَنَّ الرَّاجِح عِنْد أَكْثَر الْعُلَمَاء : أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ بِعَيْنَيْ رَأْسه لَيْلَة الْإِسْرَاء
لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس وَغَيْره مِمَّا تَقَدَّمَ . وَإِثْبَات هَذَا لَا يَأْخُذُونَهُ إِلَّا بِالسَّمَاعِ
مِنْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا مِمَّا لَا يَنْبَغِي
أَنْ يُتَشَكَّك فِيهِ
Kesimpulannya: bahwa pendapat yang kuat
menurut mayoritas ulama adalah sesungguhnya Rasulullah SAW, melihat Tuhannya
dengan dua mata kepala pada malam Isra’ berdasarkan hadis Ibnu Abbas dan lainya
seperti yang telah disampaikan. Dan mereka (mayoritas ulama)dalam menetapkan
hal ini tiada lain kecuali berdasarkan (keterangan) yang didengar dari
Rasulullah SAW, ini merupakan hal yang tidak pantas untuk diragukan.
Selain Imam An-Nawawi, Ibnu Abbas (menurut
keterangan yang mashur darinya), Abu Al-Hasan Al-asy’ari dan sebagainya juga
menetapkan ru’yah bil ain bagi Rasulullah (di dunia) seperti diutarakan oleh
Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, Vol VII, hlm 52, sebagai
berikut :
وعن
ابن عباس أنه رآه بعينه، هذا هو المشهور عنه. وحجته قوله تعالى:" ما كَذَبَ
الْفُؤادُ ما رَأى ". وقال عبد الله بن الحارث: أجتمع ابن عباس وأبي بن كعب،
فقال ابن عباس: أما نحن بنو هاشم فنقول إن محمدا رأى ربه مرتين. ثم قال ابن عباس: أتعجبون أن الخلة تكون لإبراهيم والكلام
لموسى، والرؤية لمحمد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وعليهم أجمعين. قال: فكبر
كعب حتى جاوبته الجبال، ثم قال: إن الله قسم رؤيته وكلامه بين محمد وموسى عليهما
السلام، فكلم موسى ورآه محمد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وحكى عبد الرزاق
أن الحسن كان يحلف بالله لقد رأى محمد ربه. وحكاه أبو عمر الطلمنكي عن عكرمة،
وحكاه بعض المتكلمين عن ابن مسعود، والأول عنه أشهر. وحكى ابن إسحاق أن مروان سأل
أبا هريرة: هل رأى محمد ربه؟ فقال نعم وحكى النقاش عن أحمد بن حنبل أنه قال: أنا
أقول بحديث ابن عباس: بعينه رآه رآه! حتى انقطع نفسه، يعني نفس أحمد. وإلى هذا ذهب
الشيخ أبو الحسن الأشعري وجماعة من أصحابه (أن «3» محمدا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ) رأى الله ببصره وعيني رأسه
Keterangan dari Ibnu Abbas, sesungguhnya
Rasulullah SAW melihat Tuhannya dengan kedua matanya, ini merupakan keterangan
yang masyhur darinya, ia berhujjah dengan fiman Allah QS, Al-Najm 11,
“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah
dilihatnya.’’
Abdullah bin Harist berkata; telah berkumpul
Ibnu Abbas dan Ubay bin ka’ab, kemudian Ibnu Abbas berkata: adapun kami Bani
Hasyim berkata sesungguhnya Muhammad Saw telah melihat Tuhannya dua kali, lalu
Ibnu Abbas berkata lagi: tidakkah kalian kagum sesungguhnya (gelar) al-khalil
bagi Nabi Ibrahim, dan al-kalim bagi Nabi Musa sedangkan melihat Allah
diperoleh Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Kharist berkata: maka bertakbirlah
Ka’ab, lalu ia berkata; sesungguhnya Allah telah membagi ru’yah dan kalam-Nya
antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS, Allah berbicara kepada Nabi Musa AS
dan memperlihatkan Nabi Muhammad SAW kepada-Nya.
Abdul Rozaq telah bercerita sesungguhnya
Al-Hasan telah bersumpah atas nama Allah sesungguhnya Muhammad telah melihat
Tuhannya. Dan Abu Umar Al-Tholamankiy telah meriwayatkannya dari Ikrimah, dan
sebagian mutakallimin meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud, sedangkan riwayat
pertama lebih mashur.
Ibnu Ishaq telah meriwayatkan sesungguhnya
Marwan bertanya kepada Abu Hurairah “apakah Muhammad telah melihat tuhannya?”
Abu hurairah menjawab “ya”.
An-Naqqosyi telah meriwayatkan dari Ahmad bin
Hanbal, sesungguhnya ia berkata; aku berkata berdasarkan hadisnya Ibnu Abbas
“dengan matanya ia (Muhammad) telah melihat Tuhannya” sampai-sampai napas-napas
(Imam Ahmad) terputus (ketika mengatakannya).
Dan sesuai pendapat inilah pendapatnya Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari beserta sekelompok sahabatnya sesungguhnya Nabi Muhammad
SAW telah melihat Allah dengan penglihatan melalui kedua mata kepalanya.
Namun bagi yang menetapkan adanya ru’yah,
menurut Said Faudah, bukan berarti Rasulullah mengetahui hakikat Allah, akan
tetapi bertambahnya idrak (memahami dan mengenal) kepada Allah pada diri
Rasulullah, dan idrak ini pun tidak sampai pada batas ihathah (meliputi)
terhadap kesempurnaan Allah SWT (Said Faudah, tt: 632). Di samping itu ihktilaf
di antara para sahabat hanya terhadap “terjadinya ru’yah pada diri Rasulullah
di dunia” bukan mengenai ke “jawaz”an ru’yah di dunia, karena tidak ada
keterangan sahih yang menjelaskan adanya ikhtilaf di antara sahabat mengenai
“kejawazan” ru’yah di dunia, tegas Said Faudah.
Ketiga, tawaqquf di antara keduanya
Di antara ulama yang menguatkan hal ini,
menurut Ibnu Hajar adalah Imam Al-Qurtubi di dalam kitabnya Al-Mufham karena
menurutnya tidak ada dalil pasti yang menjelaskan masalah ini, di samping itu,
masalah ini adalah masalah “keyakinan” maka dibutuhkan adanya dalil qat’i
(Ibnu Hajar, Vol VIII : 608). []
Khifni Nasif, Sekretaris Aswaja Center GP
Ansor Kudus, Pengajar di Madrasah Diniyah Darul Ulum Ngembalrejo Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar