Senin, 03 April 2017

Kang Komar: Menjinakkan Kemarahan



Menjinakkan Kemarahan
Oleh: Komaruddin Hidayat

SUATU hari mobil sedan yang kami naiki bersenggolan dengan truk tentara. Persisnya di Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1980-an.

Saya duduk di samping Iwan Sastrowardoyo, ayahnya Dian Sastrowardoyo, sebagai sopirnya. Terlihat dari spion sopir truk turun menghampiri mobil kami dengan gayanya sebagai militer yang waktu itu merasa sebagai warga negara kelas satu di Indonesia. Iwan bilang, “Mas Komar, please, jangan turun. Cukup saya yang menghadapi. Mas Komar diam saja di mobil,” pintanya serius.

Tak lama kemudian Iwan kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan kembali ke  Jakarta. Saya penasaran, apa yang terjadi.

Iwan pun bercerita. Sesungguhnya tak ada kerusakan yang serius, cuma mungkin mereka tersinggung diklakson dan disalip.

Tapi, menurut Iwan, “Saya tak memberi kesempatan energi kemarahannya menyentuh diri saya. Saya lindungi diri saya dengan energi positif, dengan cinta, dengan kasih sayang, dan pesan damai. Dengan demikian, ketika dia akan mengeluarkan energi kemarahan yang diarahkan ke saya, energi negatif itu tertangkal oleh energi positif yang membentengi diri saya sehingga kesalnya akan kembali ke dirinya.”

Ingatan peristiwa puluhan tahun lalu itu muncul kembali ketika saya sering membaca media sosial (medsos) yang isinya sebagian penuh nada kesal dan caci maki terhadap mereka yang berbeda pilihan politiknya. Bahkan ada yang dengan menggunakan dalil-dalil agama menurut selera penafsirannya.

Saya teringat Iwan, sebagai penganut Buddha yang disiplin bermeditasi, rupanya dia sudah sangat terlatih bagaimana mengendalikan emosinya. Ajaran pengendalian diri untuk menjinakkan kemarahan sesungguhnya juga ditemukan dalam agama-agama lain. Termasuk dalam pelatihan mazhab psikologi positif.

Ketika seseorang marah, sebaiknya Anda tidak perlu terpancing ikutan marah untuk membalasnya. Biarkan kemarahan itu kembali pada pemiliknya. Cukup didengarkan dan diambil isinya yang mungkin mengandung kebenaran.

Berkaitan dengan seni menjinakkan kemarahan, ada sebuah simulasi, seorang ayah dan anak berjalan-jalan memasuki wilayah lereng gunung yang cukup luas, kanan kirinya dikelilingi tebing. Lalu anaknya disuruh teriak keras-keras.

Sang anak heran dan bingung, suara teriakannya itu menggema dan memantul kembali. Lalu sang ayah menyuruh anaknya teriak dengan kata-kata yang baik dan positif.

Ketika teriakan itu memantul kembali, sang ayah menjelaskan kepada anaknya. “Demikianlah, anakku,” katanya. “Apa yang kita katakan, entah baik atau buruk, itu semua cerminan dari kualitas diri kita yang akhirnya akan kembali kepada diri kita juga. Makanya pilihlah berbicara yang baik sehingga orang-orang di sekitar kita akan senang menerimanya dan kita pun tidak akan menyesal setelah mengucapkannya. Bahkan senang mendengarnya kembali.”

Ada sebuah kata yang bisa membantu agar kita tidak terseret pada situasi kemarahan yang diciptakan orang lain, yaitu detachment. Secara psikologis kita mengambil jarak, tidak melekat dan lebur ke dalam sebuah objek.

Contoh paling gamblang adalah ketika mobil kita tertabrak, lalu penyok, seakan hati kita ikut penyok, sedih, menggerutu, mengumpat. Mengapa? Karena terjadi attachment, bukannya detachment.

Kita menyatu dengan sosok mobil sehingga ketika ada yang menimpa mobil, hati ikut merasakan. Ketika mobil penyok, hati ikut merasa penyok. Ketika mobilnya dipuji orang, hatinya ikut merasa dipuji. Di situ telah melebur antara subjek dan objek.

Sikap detachment tidak berarti tidak punya empati kepada orang lain. Tapi seseorang mampu mengatur dan mengendalikan gerak dan arus emosinya. Emosi tidak mengendalikan dirinya, tapi emosinya yang dia kendalikan.

Ada sebuah cerita, dua mahasiswa berjalan-jalan ke Pasar Senen Jakarta untuk melihat-lihat dan membeli buku bekas. Mereka berpisah memilih toko buku yang berbeda. Satu jam kemudian mereka bertemu di tempat yang disepakati.

Mahasiswa yang satu berhasil memilih dan membeli beberapa buku, yang lain tidak menemukan sama sekali. Lalu dia ditanya, “Mengapa tidak membeli buku, padahal kita ke sini niatnya untuk mencari buku?”

Dia jawab, “Saya sesungguhnya tertarik untuk memilih dan membeli buku di toko tadi. Tapi saya enggan karena raut muka penjualnya cemberut, sikapnya tak acuh.”

Temannya yang berhasil memilih dan membeli buku balas menjawab. “Dengarkan ya,” katanya. “Soal wajah penjual buku cemberut, itu urusan dia. Itu wajah dia. Urusanmu ke sini adalah mencari buku, jangan sampai agendamu gagal karena persoalan orang lain. Mengapa wajahmu ikut cemberut gara-gara wajah orang cemberut? Berarti kamu kalah, gagal menjaga hatimu agar tidak mudah terseret arus gelombang emosi orang lain.” []

KORAN SINDO, 31 Maret 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar