Rabu, 05 April 2017

Jurus Debat Kiai Wahab Chasbullah



Jurus Debat Kiai Wahab Chasbullah

Dalam sejarah Nahdlatul Ulama, Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971) merupakan tokoh debat dan diplomat yang piawai memainkan jurus politiknya. Kiai Wahab merupakan rujukan, bagaimana memainkan jurus politik dalam banyak laga, dengan memperhitungkan langkah taktis lawan sembari menyusun strategi. Langkah-langkah strategis Kiai Wahab dalam sejarah panjang perjuangan pesantren dan pendirian Nahdlatul Ulama, merupakan sejarah abadi bagaimana santri-kiai mengaktualisasi fiqh as-siyasah (fikih politik).

Kiai Wahab setidaknya menjadi maestro debat dalam tradisi pesantren. Beliau menguasai ragam ilmu fiqh, ushul fiqh, manthiq, tata bahasa Arab hingga dengan cerdik melakukan gerak politik yang dilandasi etika. Kiai Wahab selalu tampil pede dalam beragam laga tandang dengan lawan politiknya, juga selalu siap beradu argumentasi dengan para kiai sepuh. Kisah-kisah yang penulis temukan dari kiai-kiai sepuh maupun Gawagis penikmat humor, Kiai Wahab kalau berdebat sangat konsisten mempertahankan prinsip dan argumentasinya. Bahkan, sampai menggebrak meja menggunakan kaki.

Sebuah kisah yang disampaikan Gus Yahya Staquf, Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri berdebat tentang hukum drum band. Dalam perdebatan ini, Kiai Bisri menggebrak meja untuk mempertahankan prinsipnya. Kiai Wahab tidak mau kalah, beliau menggebrak meja menggunakan kaki! Peserta bahtsul masail tercengang, dan khawatir jika NU menjadi bubar hanya karena drum band. Namun, ketika jamuan makan, beliau berdua berebut untuk saling melayani. Sungguh etika debat yang luar biasa. Di luar panggung perhelatan, para pesilat akan saling menghormati. Di luar ruangan bahtsul masail, para kiai akan saling melayani dan melempar tawa.

Kiai Wahab Chasbullah merupakan tulang punggung pergerakan Nahdlatul Ulama. Bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dan Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab menggerakkan roda organisasi dengan silaturahmi ke ribuan kiai dan pesantren di seluruh kawasan Nusantara. Selama berminggu-minggu, Kiai Wahab melakukan perjalanan untuk konsolidasi jaringan pesantren. Mengaktifkan kembali para kiai agar mau bergabung dalam jam'iyyah (organisasi), tidak sekedar terikat dalam jama'ah (komunitas).   

Indonesianis Greg Fealy menggambarkan peran penting Kiai Wahab Chasbullah, dalam jurnal Tashwirul Afkar, mengungkapkan betapa Kiai Wahab merupakan ahli dekat yang dihormati. "Wahab dicirikan secara menonjol dalam hal-hal sebagai berikut. Seorang ahli debat yang giat dan semangat, mahir memadukan diskusi serius mengenai prinsip hukum dengan anekdot jenaka atau kisah yang tepat dari kitab dan sejarah Islam. Meski mendukung usaha-usaha kalangan modernis dalam pembaruan bidang pendidikan dan sosial, dia menolak serangan mereka atas ortodoksi Sunni dan keutamaan Ulama" (1996: 10).

Kisah interaksi Kiai Wahab dengan kelompok Islam modernis, patut dicermati. Pada awalnya, Kiai Wahab berkawan baik dengan Mas Mansur, yang dianggap sebagai sahabatnya. Pada 1924, Mas Mansur bertemu dengan Kiai Wahab Chasbullah. Pertemuan keduanya, terjadi dalam forum sesama anggota Indonesische Studie Club, sebuah kelompok studi yang didirikan oleh dr. Soetomo di Surabaya pada Juli 1924. Kagum akan kekompakan yang ada dalam kelompok ini, kedua kiai muda ini pernah berselisih pendapat, bersepakat untuk mengadakan sebuah pertemuan yang bertujuan menggalang persatuan.

Namun, selanjutnya cita-cita keduanya untuk membentuk satu organisasi bersama, harus tenggelam karena perbedaan prinsip. Mas Mansur membentuk Mardi Santosa, sedangkan Kiai Wahab Chasbullah mendirikan Syubbanul Wathan. Pada periode selanjutnya, Syubbanul Wathan bermetamorfosis menjadi Angkatan Nahdlatul Oelama (ANO), yang kemudian menjadi Gerakan Pemuda Ansor.

Hubungan antara kelompok Islam modernis yang dimotori Mas Mansur dan kelompok Islam tradisionalis yang dikomando jaringan pesantren Kiai Wahab, mengalami dinamika ketegangan. Keretakan hubungan ini, di antaranya karena ketidakpuasan para ulama tradisional yang aspirasinya tidak terwakili. Ketika itu, utusan ulama yang berangkat ke Makkah adalah Mas Mansur (1896-1946) dan Tjokroaminoto (1882-1934). Keduanya mewakili delegasi MAHIS (Mu'tamar al-Alamul Islami far'ul Hindish Syarqiyyah), Kongres Islam Sedunia Cabang Hindia Timur (semula bernama Kongres al-Islam), untuk menghadiri Kongres Khilafah yang diprakarsai Raja Ibn Saud di Makkah pada 1 Juni 1926. Kisah ini, terdokumentasi dalam Kiai Haji Mas Mansur 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran (2005: 57).  

Padahal, Kiai Wahab juga terpilih sebagai salah satu dari tiga utusan umat Islam yang berangkat ke Makkah, tapi urung dikirim sebagai delegasi. Pada kongres al-Islam ke-4 dan ke-5, nama Kiai Wahab dimunculkan sebagai utusan resmi mewakili umat Islam Hindia Belanda. Akan tetapi, Kiai Wahab tidak lantas memusuhi tokoh-tokoh muslim dari kelompok modernis. Mereka tetap bergerak untuk melayani ummat, dengan membangun komunitas yang sesuai dengan visi masing-masing.

Kisah lain, Kiai Wahab juga berani berdebat dengan Charles Olke Van Der Plas (1891-1977). Sebagai utusan Hindia Belanda, Van Der Plas memiliki kedudukan sangat penting, dalam mengatur politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahan. Van Der Plas juga pernah menjadi Gubernur Jawa Timur (1936-1941), serta pernah menjadi konsul Belanda di Jeddah. Perdebatan antara Kiai Wahab dan Van Der Plas, dalam bidang teologi yang merujuk pada keimanan terhadap Nabi Isa dan Muhammad. Singkat kisahnya, perdebatan ini dimenangi Kiai Wahab, dengan jurus diplomasi yang bersendi ilmu manthiq.

Dalam ilmu debat dan jurus diplomasi di komunitas santri, Kiai Wahab adalah Koentji. []

Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, buku terbarunya bertema "Gus Dur & Jaringan Tionghoa Nusantara", dalam proses terbit. (Komunikasi via email: moena.aziz@gmail.com). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar