Rabu, 19 April 2017

(Ngaji of the Day) Status Utang Negara dalam Hukum Islam



Status Utang Negara dalam Hukum Islam

Pertanyaan:

Assalamu alaikum wr. wb.
Perkenalkan nama saya Arif Isnaeni. Saya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Saya ingin menanyakan, apakah utang negara (Indonesia) bisa menjadi tanggungan saya apabila saya meninggal dunia? Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda,

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

Artinya, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung karena utangnya sampai utangnya dilunasi.”

Sebagai catatan tambahan, saya bukanlah orang yang memiliki kewenangan dalam mengatur APBN, dan bukan juga orang yang bisa mengatur jumlah utang luar negeri. Terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Arif Isnaeni

Jawaban:

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Dari deskripsi masalah yang kami baca, maka dalam benak pikiran kami setidaknya ada dua pertanyaan. Pertama menyangkut utang negara, apakah ia menjadi tanggung jawab warga negara secara pribadi atau tidak? Kedua, terkait soal makna dari hadits yang ditanyakan.

Dalam kesempatan ini kami akan mencoba menjawab yang pertama terlebih dahulu. Kemudian jika memungkinkan kami akan lanjutkan ke penjelasan makna hadits yang dikutip oleh penanya yang telah kami sebutkan.

Persoaalan utang-piutang adalah persoalan yang sangat serius dan tidak main-main karena berdampak bukan hanya di dunia tetapi sampai ke akhirat. Aturan main mengenai persoalan utang-piutang dapat kita lacak dalam Surat Al-Baqarah ayat 282.

Ketika kebutuhan negara yang besar tidak bisa dipenuhi dengan pemasukan yang ada, maka kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan penghematan di sana-sini. Namun jika ternyata masih belum menyelesaikan persoalan dan tidak ada jalan lain kecuali dengan berutang, maka dalam konteks ini pemerintah bisa melakukan utang.

Kebijakan pemerintah berutang tentunya harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat. Sebab, pemerintah sebagai pelaksana wewenang negara adalah wakil rakyat. Ini sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan,

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya, “Bahwa kebijakan pemerintah bagi rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Mesir, Maktabatut Tijariyyah, halaman 107).

Karena itu adalah utang negara dan ditasarufkan untuk kepentingan atau kemasalahat rakyat banyak, maka pihak yang bertanggung jawab adalah negara dengan dana kas negara. Namun bagaimana dengan hasil utang negara yang dikorup oleh pejabat tertentu?

Dalam kasus yang kedua ini, negara yang membayarnya dengan dana yang ditarik kembali dari orang-orang yang mengkorupnya. Demikian sebagaimana yang telah diputuskan Munas Alim Ulama NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423.

Sedangkan mengenai hadits yang disebutkan oleh penanya di atas, menurut Izzuddin Abdussalam adalah bahwa pengertian ‘tergantung’ ada dua macam. Pertama, tergantung dengan hukuman dan siksaan. Dalam konteks pertama ini, tidak berlaku bagi orang Muslim sepanjang ia tidak melakukan dosa dengan berhutang dan penundaan pelunasannya.

Kedua, dirinya tergatung dengan utang tersebut, dalam pengertian pahala amal kebajikannya “disita” untuk mengganti utang-utangnya dalam hal yang mubah, seperti ia menjual rumah dan budaknya (untuk melunasi hutang), dan dia tidak berdosa.

وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ. فَالتَّعَلُّقُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَعَلَّقَ تَعَلُّقَ عِقَابٍ وَمُؤَاخَذَةٍ، فَهَذَا لَا تَجْرِي فِيْ حَقِّ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ اْلإِسْلاَمِ إِذَا لَمْ يَأْثَمْ بِاْلاقْتِرَاضِ وَلاَ بِالْمَطَالِ، وَهَذَا مُحَالٌ أَنْ يُوْجَدَ فِيْ حَقِّ النَّبِيِّ، فَإِنَّهُ لَا يَقْتَرِضُ إِلاَّ فِيْ طَاعَةٍ أَوْ مُبَاحٍ. الثَّانِي أَنْ تَعَلَّقَ نَفْسُهُ بِدَيْنِهِ بِأَنْ تُؤْخَذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ مَكَانَ مَا أَخَذَ مِنَ الدُّيُوْنِ الْمُبَاحَةِ، كَمَا بَاعَ فِي الدُّنْيَا مَسْكَنَهُ وَخَادِمَهُ مَعَ أَنَّهُ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Artinya, “Adapun sabda Nabi Saw, “Diri seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai dilunasi.” Pengertian tergantung di situ terdiri atas dua macam. Pertama, tergantung dengan hukuman dan siksaan. Yang demikian ini tidak berlaku pada seorang Muslim pun, ketika ia tidak berdosa dengan utang dan menunda pelunasannya. Yang seperti ini mustahil terjadi pada pribadi Nabi SAW, karena beliau tidak berutang kecuali untuk ketaatan atau sesuatu yang mubah. Kedua, dirinya tergantung dengan utang tersebut. Dalam arti pahala-pahala amal kebaikannya diambil untuk mengganti utang-utangnya dalam hal-hal yang mubah, sebagaimana ketika di dunia ia menjual rumah dan budaknya (untuk melunasi utang), dan dia tidak berdosa,” (Lihat Izzuddin Abdussalam, Al-Fatawa, Beirut, Darul Ma’rifah, halaman 104).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Mahbub Maafi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar