Kamis, 20 April 2017

Azyumardi: Anak Muda dan Radikalisme



Anak Muda dan Radikalisme
Oleh: Azyumardi Azra

Ekstremisme dan radikalisme tampaknya tidak mengenal negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia atau negara-negara Eropa di mana kaum Muslimin merupakan komunitas minoritas. Ekstremisme tumbuh tanpa mempertimbangkan faktor demografis- banyak atau sedikitnya jumlah kaum Muslim di kawasan tertentu.

Lingkungan sosial-budaya, politik dan ekonomi yang berbeda di kedua kawasan demografis bisa menjadi faktor pembeda yang dapat membuat atau mencegah orang-khususnya anak muda-menganut paham keagamaan ekstrem dan radikal. Berbagai faktor itu dapat beramalgamasi membuat anak muda memeluk paham keagamaan ekstrem dan radikal. Anak muda adalah bagian masyarakat paling rentan terhadap pengaruh radikalisme. Kebanyakan pelaku aksi ekstrem dan radikal adalah anak muda-mereka yang berusia sejak dari 15 sampai 40-an tahun.

Berbagai studi ilmiah dan akademik menyimpulkan, kerentanan anak muda itu bersumber dari pribadi dan karakter yang belum mapan; lingkungan keluarga dan komunitas Muslim yang tidak kondusif dan suportif. Kerentanan anak muda ini kemudian dimanfaatkan kelompok dan sel radikal dan teroristik; mereka menjadikan anak muda sebagai target utama rekrutmen untuk melakukan program dan target mereka.

Dalam pembicaraan penulis “Resonansi” ini dengan kalangan pemerintahan, akademisi dan aktivis pada dua kesempatan berbeda di London dan Amsterdam pekan pertama April lalu terungkap, anak muda Muslim di berbagai negara Eropa menghadapi turbulensi sosial, budaya, dan ekonomi yang tak jarang membuat sebagian mereka tidak mampu bertahan dalam kedamaian.

Meski sebagian besar anak muda ini sudah merupakan generasi ketiga atau keempat migran Muslim, kebanyakan mereka karena perbedaan cara pandang dan tradisi sosial-budaya tetap tidak bisa atau belum terintegrasi ke dalam lingkungan Eropa sekitarnya. Karena itu, banyak di antara mereka terasing atau teralienasi dari lingkungan sosial-budaya lebih luas.

Keadaan ini diperburuk dengan kesulitan kebanyakan mereka mendapatkan pekerjaan yang memberi peluang bagi mereka untuk mencapai mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka tetap berada pada margin berbagai sektor lapangan kerja-yang tidak menjanjikan kehidupan dan masa depan lebih baik. Lingkungan keagamaan yang mereka temui juga sering tidak kondusif dan suportif untuk memberikan kedamaian bagi anak-anak muda. Komunitas Muslim di Inggris, Belanda, dan negara-negara Eropa lain sangat terfragmentasi.

Komunitas Muslim terpecah-belah, baik dalam pemahaman dan praksis keislaman maupun sosial-budaya dan politik sesuai dengan latar belakang negeri asal mereka. Orientasi yang kuat ke tanah asal masing-masing menjadi salah satu hambatan pokok bagi terciptanya hubungan antarkomunitas Muslim yang lebih kondusif. Lingkungan sosial-keagamaan yang ditandai sektarianisme agama, etnis, kabilah, dan sosial-budaya ini juga menjadi faktor penting yang membuat anak muda Muslim mudah tergelincir ke dalam pandangan dan praksis keagamaan ekstrem dan radikal.

Pandangan dan sikap ekstrem dan radikal itu dapat tumbuh lebih cepat karena kemudahan anak muda masa kini mengakses informasi instan yang beredar di dunia maya dan media sosial. Di sinilah terjadi proses radikalisasi secara sendiri (self-radicalization) yang sulit diantisipasi dan dibendung. Self-radicalization bisa terjadi di mana saja. Tidak hanya di negara-negara Eropa di mana kaum Muslim minoritas, tetapi juga di Indonesia di mana umat Muslim menjadi komunitas mayoritas tunggal mutlak.

Namun, anak muda Muslim minoritas kurang beruntung karena lingkungan dan iklim sosial-budaya keagamaan kurang kondusif baik secara internal umat Muslim secara keseluruhan maupun dengan lingkungan non-Muslim lebih luas. Karena itu, mereka agak sulit juga menemukan tempat yang nyaman secara psikologis dan spiritual. Keadaan inilah yang juga menjadi salah satu penyebab pokok relatif lebih mudahnya anak muda Muslim di Eropa terjerumus ke dalam ekstremisme dan radikalisme. Di sini sering terjadi proses transformasi keagamaan; dari semula tidak terlalu peduli pada agama untuk kemudian memahami agama secara ketat, literal, dan ad hoc.

Anak muda Muslim Indonesia jauh lebih beruntung karena lingkungan keagamaan, sosial-budaya, dan politik yang jauh lebih kondusif. Pemahaman dan praksis Islam wasathiyah jelas mencegah terjerumusnya anak muda Muslim secara mudah ke dalam ektremisme dan radikalisme. Meski demikian, ormas-ormas Islam wasathiyah yang ada di seantero Nusantara tetap lebih memperhatikan secara khusus anak-anak muda. Apalagi, sudah banyak penelitian yang menemukan bahwa anak-anak muda Muslim ini menjadi target rekrutmen sel atau kelompok radikal.

Melindungi anak-anak muda Muslim Indonesia dari infiltrasi dan rekrutmen ekstremisme dan radikalisme tak lain adalah memastikan masa depan Islam wasathiyah yang berkelanjutan. []

REPUBLIKA, 20 April 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar