ParadigmaBerpikir dalam Al – Qur’an
Sebagaiwahyu, al-Qur’an menuntun umat untuk selalu tadabur dan tafakurterhadapkandungan makna ayat-ayatnya (QS an-Nisa’ [4]: 82 dan QS Ali Imran [3]:191). Bertolak dari semangat ini, manusia dibekali perangkat lunak yang berupa“pemikiran” yang hendaknya selalu seirama dengan realitas ayat-ayat al-Qur’an.Ar-Raghib al-Ashfihani berkata, “Pemikiran adalah suatu kekuatan yang berusahamencapai suatu ilmu, dan tafakur (berpikir) adalah bekerjanya kekuatan itudengan bimbingan akal.”
Disamping sebagai wahyu, al-Qur’an juga suatu mukjizat. Berdasarkan beberapaindikasi ayat yang tersurat di dalamnya, kemukjizatan al-Qur’an tidak ditujukankecuali kepada mereka yang menyangkalnya. Perihal kebenaraannya dapatdibuktikan melalui rumusan definitif mukjizat yang mengandung makna "tahaddi"(tantangan). Adapun orang Islam, dengan ikrar keislamannya, sudah dianggapmeyakini kebenaran al-Qur’an sebagai Kalam Allah.
Untukmengakui sebuah kebenaran, manusia mesti berhubungan dengan akal. Sementaraakal senantiasa berjalan beriringan dengan perkembangan situasi.Sehingga,potensi non fisik manusia tersebut (akal) tidak akan begitu sajatunduk pada keputusan yang instan atau sudah disepakati validitas kebenarannya.Ia senantiasa akan berdalih untuk tidak fanatik pada satu mazhab, satupendapat, berikut ketetapan-ketetapan paten yang lain. Akal selalu ada dalamkelabilan dan ketidakpastian.
Entriakal dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 49 kali. Kata kerja ta’qilûnterulang sebanyak 24 kali, kata kerja ya’qilûn sebanyak 22 kali. Sedangkan kata kerja 'aqala, na'qiludan ya'qilumasing-masing satu kali. Yang mencolok dari redaksi tersebut adalah pengunaanbentuk istifhâminkâri (pertanyaan negatif yang bertujuan memberikan dorongan danmembangkitkan semangat).
Salahsatu contoh: firman Allah yang artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguhtelah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat ataudibunuh, kamu akan berbalik menjadi murtad?”(QS an-Nisa’ [3]: 144).Di dalam ayat ini terdapat istifhâm taubîkh inkâri (pertanyaan yangmengandung kecaman sekaligus larangan untuk melakukannya).
Kalauayat ini kita korelasikan dengan kajian psikologi, maka mengisyaratkan beberapahal berikut:Pertama,menilai baik buruknya sebuah ide hendaknya tidak berdasarkan ukuran kebendaan(materi) atau panca indera yang timbul dari kebutuhan primer. Kedua,menilai baik buruknya sebuah ide hendaknya tidak berdasarkan atas keteladananyang diberikan seseorang.
Fenomenayang bisa dijadikan tamtsîl adalah bagaimana ketika orang beranggapanbahwa baja adalah materi yang padat. Akan tetapi, setelah dilakukan eksperimen,sinar x membuktikan bahwa baja memiliki pori-pori.
Dengandemikian, kita dapat memahami, bahwa al-Qur’an tidak membatasi pola berpikirhanya pada dua hal di atas, tetapi lebih menekankan pada pola berpikir yang“lebih dewasa” yakni penilaiaan terhadap sebuah ide hendaknya didasarkan padaunsur-unsur ide itu sendiri, tanpa ada pengaruh materi atau pun subyektivitaspribadi.
Paradigmaberpikir yang diajarkan al-Qur’an tidaklah sama dengan apa yang ada pada cabangkeilmuan lain, walaupun itu lahir dari al-Qur’an sendiri. Maka, dalam kaca mataal-Qur’an, ritme pemikiran yang diajarkan tidak terkesan stagnan atau jumud.Al-Qur’an berupaya mencetak manusia produktif yang tumbuh melalui perangkatrasionalnya. Sudut pandang al-Qur’an dalam memahami sebuah ide bukan atas dasarnilai-nilai subyektivitas, materi, dan juga wujud personal yang dijadikanobyek. Dalam al-Qur’an tidak ada dua macam warna pemikiran, “hitam” atau“putih”, tidak gegabah, tidak sepihak, dan tidak dikebiri oleh logika formal (al-Manthiq ash-Shûrî).
Berkacapada upaya para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan-pendekatantafsir, seperti at-tahlîli, al-ijmâly, dan maudhû'i, kita ketahui,bahwa upaya yang mereka lakukan adalah dalam rangka meletakkan dasar-dasarrasional bagi pemahaman kemukjizatan al-Qur’an. Maksudnya al-Qur’an bukansemata-mata wahyu yang memiliki kemukjizatan material-indrawi, terbatas dantemporal, akan tetapi lebih pada kemukjizatan imaterial; akal diberikankesempatan untuk membuktikan otensitas kebenarannya sampai kapanpun.
Rasionalitasal-Qur’an sangat jelas. Orang yang membaca akan menemukan ruh kerasionalan,dengan catatan, membacanya tanpa didasari fanatisme. Akan tetapi, pemahamanakal semata akan hakikat kebenaran tidaklah cukup. Harus dilakukan transformasimenuju akal aktif dan mengetahui bahwa kebaikan dan kemaslahatan adalah denganmengikuti apa yang telah menjadi ketetapan Tuhan.
Akaltidak berdiri sendiri, tetapi memiliki pusat sebagai fondasi. Mayoritas ulama,di antaranya adalah Imam Syafii, berpendapat, bahwa posisi akal berada padahati. Pendapat itu didasarkan pada ayat: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu merekamempunyai hati yang dengan itu mereka memahami” (QS al-Haj[22]: 46) dan "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapatperingatan bagi orang-orang yang mempunyai hati"(QS Qaaf [50]: 37).
Karenakerja akal diakomodir oleh hati, maka implementasi akal seseorang dapat ditakarmelalui beberapa hal: pertama, cenderung pada budi pekerti yangterpuji; kedua,menjauhi perbuatan yang tercela; ketiga, senang memberi nasihat untuk berbuatbaik; keempat,menjauhi tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan dan berdampak pada buruknyareputasi si empunya.
Darihati ini pula, pola berpikir seseorang akan lebih dominan pada salah satuparadigma yang telah dicetuskan pertama kali oleh Thomas Kuhn, yakni paradigmametafisik (metaphysicparadigm), yakni konsensus dalam suatu disiplin ilmu yang mampumembatasi bidang-bidangnya sehingga dapat mengarahkan ilmunya untuk melakukansebuah pendekatan dan penelitian. Rumusan paradigma tersebut tidak saja berasaldari pola pikir yang rasional, tetapi juga dapat dirangkai dari sistem nilaiyang sakral, metafisik, dan berasal dari luar manusia yang terkait dengan apayang dinamakan dengan agama.
Ilmutidak akan berakar, berkembang, dan meluas, bahkan tidak akan terbentuk kecualidalam kondisi yang siap untuk berpikir. Dengan kata lain, al-Qur’an mengajak danmemberikan tuntunan untuk membentuk akal yang bebas, obyektif, serta menolakpemikiran yang jumud, serta akal yang mengikuti hawa nafsu.
Tetapiperlu diingat, kedewasaan memahami ide yang ditawarkan al-Qur’an tersebut bukanberarti tawaran kebebasan (liberal) dalam merasionalkan satu permasalahan. Akantetapi lahirnya kebebasan dari sebuah analogi atau pendekatan yang tetapmengikuti aturan main, tidak lantas kebablasan, sehingga menjamur pakar-pakar tafsiratau bahkan ta'wîlprematur sekaliber Musailamah al-Kadzab serta cucu-cucunya, sepertiArkoun, Fazlur Rahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd.
*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi Buletin IstinbaT KuliahSyariah Pondok Pesantren Sidogiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar