Solusi saat Jamaah Jumat
Bubar karena Hujan
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, saya salah satu karyawan
sebuah perusahaan di Kawasan Industri di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Dalam
melaksanakan ibadah shalat 5 waktu, perusahaan sudah menyediakan tempat shalat
yang cukup untuk karyawan. Namun khusus untuk ibadah di hari Jum'at (Jum'atan),
pagar perusahaan dibuka lebar-lebar sehingga warga di sekitar perusahaan yang
kebetulan sedang berada di sekitar, diperbolehkan masuk ke dalam masjid
perusahaan. Sehingga jama'ah meluber sampai halaman depan pabrik. Biasanya,
Pengurus DKM kemudian menyediakan alas terpal untuk jama'ah yang meluber.
Pertanyaannya adalah pada saat di sebelum
Jumatan atau di tengah-tengah proses Jumatan tiba-tiba hujan deras, maka jamaah
yang tidak kebagian tempat di dalam masjid (meluber di halaman) dapat
dipastikan kocar-kacir. Khutbah Jumat tidak lagi disimak dengan baik. Hanya
jamaah yang kebetulan dapat tempat di dalam bangunan masjid saja yang nyaman
dan tenang. Bagaimana menyikapi hal ini? Terima kasih. Wallahul muwaffiq ila
aqwathih thariq, Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Ananto Pratikno – Cikarang
Jawaban:
Wa’alaikumus salam wr. wb.
Bapak Ananto Pratikno yang budiman, terima
kasih telah mengajukan pertanyaan ke redaksi kami. Semoga bapak senantiasa
diberi kemudahan dalam segala urusannya.
Dalam kasus yang bapak tanyakan, setidaknya
ada dua hal yang perlu disikapi.
Pertama, sikap yang harus dilakukan jamaah
yang kehujanan.
Jamaah yang bubar barisan karena kehujanan
tergolong orang yang dimaklumi/ dimaafkan (ma’dzur). Mereka diperkenankan untuk
mencari tempat berteduh. Dalam kondisi terdesak ini, mereka diperkenankan untuk
tidak mendengarkan khutbah. Apabila hujan terus berlanjut sampai shalat Jumat
selesai, mereka diperkenankan untuk meninggalkan jumatan di tempat tersebut.
Jika memungkinkan, mereka wajib mencari
jumatan di tempat lain yang suara adzannya dapat menjangkau pendengaran mereka.
Jika mereka tidak menemukan jumatan di tempat lain atau tempat jumatan yang ada
suara adzannya tidak dapat didengar dari tempat jamaah, maka mereka tidak berkewajiban
jumatan, namun cukup diganti dengan shalat fardhu zhuhur.
Ulama menegaskan bahwa salah satu udzur yang
membolehkan meninggalkan jumat adalah ketika terjadi hujan lebat yang
menimbulkan keberatan (masyaqqah) dan seseorang tidak memiliki penutup seperti
payung.
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:
قوله
(أعذار الجمعة والجماعة
المطر) والثلج والبرد ليلا أو نهارا (إن بل) كل منهما (ثوبه) أو كان نحو البرد
كبارا يؤذي (ولم يجد كنا) يمشي فيه للاتباع
Artinya, “Udzur-udzur Jumat dan Jamaah di
antaranya adalah hujan, salju dan dingin di malam atau siang hari, bila hujan
atau salju tersebut membasahi pakaian atau cuaca dingin dalam taraf parah yang
menyakitkan, sementara ia tidak menemukan penutup yang dibuat berjalan, hal
tersebut karena mengikuti Nabi,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami,
Al-Minhajul Qawim, halaman 148).
Berkaitan dengan Jumatan hanya wajib bagi
jamaah yang mendengarkan adzan, Syekh Zakariyya Al-Anshari mengatakan:
فإن
كانوا أقل من أربعين أو أهل خيام مثلا ونداء بلد الجمعة يبلغهم لزمتهم وإن لم
يبلغهم فلا لخبر الجمعة على من سمع النداء رواه أبو داود بإسناد ضعيف لكن ذكر له
البيهقي شاهدا بإسناد جيد
Artinya, “Bila mereka kurang dari 40 orang
atau statusnya penduduk perkemahan, sementara azan tempat berlangsungnya Jumat
sampai pada mereka, maka wajib bagi mereka untuk berjumatan (ke daerah tetangga
tersebut), bila tidak terdengar azan, maka tidak wajib Jumat. Karena hadits
Nabi, Jumat wajib atas orang yang mendengar azan. Hadits riwayat Abu Daud
dengan sanad yang lemah, namun Imam al-Baihaqi menyebutkan dalil pendukung bagi
hadits tersebut dengan sanad yang baik (hasan). (Lihat Zakariyya Al-Anshari,
Asnal Mathalib, juz I, halaman 263).
Kedua, status jumatnya jamaah yang tersisa.
Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i,
pelaksanaan Jumat dihukumi sah bila didirikan oleh minimal 40 jamaah orang
laki-laki baligh yang betempat tinggal tetap tetap di daerah pelaksanaan Jumat.
Sehingga menjadi tidak sah bila jamaah jumat kurang dari bilangan tersebut.
Dalam konteks pertanyaan yang bapak tanyakan,
bisa disesuaikan dengan ketentuan ini. Bila jamaah yang tersisa masih terkumpul
40 orang yang dapat mengesahkan Jumat, maka hukum jumatan mereka sah. Namun
jika kurang, maka tidak sah.
Dalam kondisi tidak sah, kewajibannya adalah
menanti sampai genap 40 jamaah atau bergabung di tempat lain bila hal tersebut
memungkinkan. Bila tidak memungkinkan, maka cukup diganti dengan shalat Zhuhur.
Jika ketentuan hukum di atas sulit terpenuhi,
jamaah bisa mengikuti pendapat lain yang mengesahkan jumat dilakukan kurang
dari 40 orang. Dalam mazhab Syafi’i, ada tiga pendapat yang mengesahkan jumatan
kurang dari 40 orang. Pertama jumlah minimal 12 orang. Kedua, jumlah minimal 4
orang. Ketiga jumlah minimal 3 orang. Tiga pendapat tersebut bisa dijadikan
solusi dalam kondisi dibutuhkan.
Demikian jawaban yang kami sampaikan. Semoga
bisa dipahami dengan baik. Kami sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran.
Wallahul Muwaffiqu ila Aqwamit Thariq
Wassalamu’laikum wr wb.
Ustadz M Mubasysyarum Bih
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar