Kisah
Rasulullah dengan Abul Ash, Menantunya yang Non-Muslim (Bagian I)
Dialah Amr bin Al-Ash bin Rabi’ atau biasa dikenal Abul Ash bin Rabi’. Suami dari putri tertua Rasulullah, Sayyidah Zainab. Abul Ash merupakan seorang bangsawan Quraish. Ia memiliki nasab dan status sosial yang baik dan terhormat. Sebetulnya, Abu Ash masih kerabat dengan Rasulullah. Dia adalah anak dari Halah binti Khuwailid, saudara perempuan dari istri Rasulullah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.
Abul Ash juga seorang
dengan tampang yang rupawan dan harta yang bergelimangan. Dia ahli dalam dunia
perdagangan. Ia berdagang ke luar Makkah pada musim dingin dan musim panas.
Kafilahnya mencapai 200 orang dan 100 ekor unta. Semua dagangan yang dibawanya
selalu habis terjual dan banyak laba yang didapatkannya.
Abul Ash dan Sayyidah
Zainab menikah sebelum Rasulullah diangkat menjadi seorang nabi dan rasul.
Keduanya saling mencintai. Setelah Rasulullah menerima risalah kenabian,
Sayyidah Zainab menyatakan diri untuk memeluk Islam. Sementara Abul Ash tidak.
Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad: Kisah Sehari-hari Rumah Tangga Nabi
(Nizar Abazah, 2018), Abul Ash masih setia dengan agama lamanya, menyembah
pagan.
Meski demikian,
kehidupan keduanya masih berjalan baik-baik saja karena pada saat itu belum ada
larangan Muslim menikah dengan non-Muslim. Sayyidah Zainab selalu berdoa agar
suaminya itu mendapatkan hidayah dari Allah untuk masuk Islam. Hidayah yang
diiinginkan Sayyidah Zainab itu tak kunjung datang, butuh proses dan waktu yang
panjang.
Sayyidah Zainab masih
tinggal di Makkah ketika Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Madinah. Dia masih
menjaga dan merawat suaminya dengan penuh cinta. Begitu pun dengan Abul Ash.
Bahkan, Abul Ash juga tidak pernah mengusik dan mengganggu keislaman istrinya.
Dia baik-baik saja dengan hal itu.
Saat Perang Badar
meletus, Abul Ash berada di barisan kafir Quraisy Makkah. Keadaan ini membuat
Sayyidah Zainab dilema. Di satu sisi, ia mengkhawatirkan ayahandanya,
Rasulullah. Di sisi lain, ia cemas apabila terjadi suatu hal yang buruk
terhadap suaminya, Abul Ash.
Singkat cerita, pasukan
kafir Quraisy kalah dan Abul Ash menjadi salah satu tawanan perang umat Islam.
Sebagaimana kebijakan yang diterapkan kepada para tawanan lainnya, Abu Ash akan
dibebaskan manakala kerabatnya di Makkah memberikan uang tebusan.
Kabar itu sampai di
telinga Sayyidah Zainab. Seketika itu juga, Sayyidah Zainab mengutus saudara
Abul Ash untuk berangkat ke Madinah –dengan membawa harta tebusan- untuk
menjemput suaminya itu. Setelah sampai di Madinah, utusan Sayyidah Zainab itu
langsung menemui Rasulullah dan menyerahkan harta tebusan dari Sayyidah Zainab.
Rasulullah langsung
menitikan air mata ketika melihat harta tebusan itu. Bagaimana tidak, harta
tebusan yang diberikan Sayyidah Zainab untuk membebaskan Abul Ash itu adalah
kalung yang dulu dipakai Sayyidah Khadijah. Kalung itu kemudian dihadiahkan
Sayyidah Khadijah ketika Sayyidah Zainab menikah dengan Abul Ash.
Setelah melihat
kalung itu, Rasulullah teringat dengan kenangan-kenangannya bersama istri
tercinta, Sayyidah Khadijah. Keadaan ini membuat Rasulullah sulit; tetap
menerima harta tebusan atau mengembalikannya. Rasulullah sendiri condong untuk
mengembalikan Abul Ash dan tebusan itu kepada Sayyidah Zainab. Akan tetapi,
Rasulullah tidak semena-mena memutuskan hal itu. Ia kemudian bermusyawarah
dengan para sahabatnya apakah menerima atau menolak harta tebusan untuk Abul
Ash itu.
Para sahabat yang
mengerti keadaan Rasulullah berpendapat bahwa Abul Ash dibebaskan tanpa uang
tebusan. Namun ada syarat, yaitu mengizinkan Sayyidah Zainab untuk hijrah ke
Madinah. Abul Ash menyanggupi hal itu dengan berat hati karena dia masih sangat
mencintai istrinya itu.
Kejadian usai Perang
Badar itu rupanya belum membuat Abul Ash mendapatkan hidayah. Setelah Abul Ash
hidup beberapa hari di Makkah –usai ia dibebaskan Rasulullah- bersama Sayyidah
Zainab, turun wahyu bahwa Muslim dilarang menikah dengan orang musyrik.
Rasulullah pun meminta Abul Ash untuk menceraikan anaknya.
Abul Ash juga
menunaikan janjinya, yaitu membiarkan –bahkan mengantarkan- Sayyidah Zainab
untuk berhijrah ke Madinah. Setelah persiapan keberangkatan selesai, Sayyidah
Zainab yang ditemani adik iparnya, Kinanah bin Rabi’, berangkat ke Madinah
dengan menaiki unta yang sudah dilengkapi dengan ‘haudaj’. Semacam kubah yang
dirancang sedemikian rupa untuk melindungi dari sengatan matahari dan hawa
panas.
Namun sayang, ketika
sampai di daerah yang bernama Dzy Thuwa mereka dicegat dan diganggu oleh
seorang kafir Quraisy, Habbar bin al-Azwad bin al-Muthalib. Sebagaimana
diceritakan buku Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan
Hadits-hadits Shahih (M Quraish Shihab, 2018), Habbar menakut-nakuti Sayyidah
Zainab dengan mengacung-ngacungkan panahnya. Kinanah bin Rabi’ yang ditugaskan
untuk menemani dan menjaga Sayyidah menghunuskan anak panahnya. Siap untuk
menyerang Habbar.
Kejadian itu membuat
Sayyidah Zainab terjatuh dari untanya sehingga membuatnya keguguran. Pada saat
itu, Sayyidah Zainah tengah mengandung anak Abul Ash.
Namun tiba-tiba Abu
Sufyan datang. Ia berusaha untuk menengahi agar tidak terjadi pertumpahan
darah. Abu Sufyan juga mengusulkan agar Sayyidah Zainah dan Kinanah putar balik
ke Makkah dan pergi lagi ke Madinah pada malam hari agar tidak diketahui orang.
Kinanah dan Sayyidah Zainab setuju dengan usul Abu Sufyan itu. Mereka
mengadakan perjalanan ke Madinah lagi pada malam hari.
Sementara itu,
Rasulullah mengutus seseorang dari Anshar dan Zaid bin Haritsah, untuk
menjemput Sayyidah Zainab. Dalam buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman
al-Mubarakfuri, 2012), sebagaimana perintah Rasulullah mereka menunggu Sayyidah
Zainab di perkampungan Ya’juj. Selang beberapa waktu, Sayyidah Zainab sampai di
perkampungan Ya’juj dan utusan Rasulullah itu langsung membawanya ke Madinah.
[]
Bersambung....
(A Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar