Senin, 09 September 2019

(Ngaji of the Day) Monopoli dan Rekayasa Pasar Menurut Hukum Islam


Monopoli dan Rekayasa Pasar Menurut Hukum Islam

Salah satu asumsi dasar tentang pasar monopoli adalah bahwa pengusaha/pedagang monopolis mempunyai kemampuan untuk menetapkan harga (price setter) karena ia merupakan penjual tunggal di pasarnya. Sebenarnya anggapan ini tidak sepenuhnya benar, dan juga tidak sepenuhnya keliru. Seorang pengusaha monopolis mau tidak mau ia harus dihadapkan pada tabiat ekonomi pasar, yaitu “bila harga barang turun, maka permintaan barang menjadi naik. Sebaliknya, bila harga barang naik, maka permintaan barang menjadi turun.” 

Seorang pialang keuangan yang terkenal di tahun 1997, George Soros dalam suatu kesempatan menyebut mekanisme seperti ini adalah mekanisme “keadilan pasar” dan akan selalu berlaku di pasar mana saja. Inilah sebabnya, untuk praktik monopoli tidak bisa dihapus begitu saja di mana pun praktik itu dilaksanakan ia akan selalu ada dan berlaku. Tidak hanya di masyarakat primitif, akan tetapi juga di pasaran modern, prinsip monopoli ini akan selalu ada. 

Dengan demikian, maka tepat apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i, bahwa hukum monopoli adalah makruh untuk bahan makanan pokok suatu negara. Hanya karena faktor merugikan dan mempersempit ruang gerak masyarakat saja, yang menyebabkan monopoli ini dihukumi haram. Dengan demikian, butuh kearifan seorang pengusaha monopolis untuk menyikapinya. 

Sebenarnya, kearifan pengusaha ini tidak hanya menguntungkan konsumen, melainkan juga pengusaha disebabkan ada posisi setimbang antara lakunya produk di pasaran dengan harga. Posisi equilibrum/setimbang ini yang senantiasa dipertahankan oleh pengusaha di mana saja ia berada.

Namun, karena objek monopoli itu beragam, maka tidak semua mekanisme monopoli bisa dibiarkan begitu saja. Kadang pemerintah (waliyyu al-amri) perlu campur tangan mengatasinya. Biasanya, campur tangan pemerintah dilakukan lewat rekayasa pasar. Teks menyebut rekayasa pasar ini sebagai prinsip tas’ir (penetapan harga). Kapan waliyyu al-amri harus ikut serta campur tangan? Berikut penjelasan dari Syekh Ahmad Yusuf dalam Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyatu fi Dhaui Ahkâmi Al-Syar’iyyah al-Islâmiyyah:

لما كان الإحتكار ظلما لما فيه من الإضرار بجماعة المسلمين فإن على ولي الأمر الإسراع برفعه عنهم وذلك بأمره المحتكر ببيع ما احتكره ماعدا ما يحتاج إليه التاجر لشخصه وأهله فإن أصر على الإحتكار عزره زجرا له سوء صنعه 

Artinya: “Ketika ada gejala kezaliman pada praktik monopoli dengan dampak merugikan terhadap masyarakat kaum muslimin, maka wajib atas waliyu al-amri bersegera mengatasinya, dengan jalan memerintahkan kepada pengusaha monopolis menjual barang yang ditimbunnya di luar hal yang dibutuhkan oleh pribadi pengusaha untuk diri dan keluarganya. Jika pengusaha itu abai dengan tetap memonopoli, maka pemerintah bisa menta’zirnya disebabkan buruk pekertinya.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyatu fi Dhaui Ahkâmi Al-Syar’iyyah al-Islâmiyyah. Islamabad: Dâru al-Shidqi, tt., 64). 

Menurut Syekh Ahmad Yusuf di atas, campur tangan pemerintah ikut terlibat adalah apabila:

- Mulai ada gejala kezaliman dari pengusaha terhadap masyarakat. Maksud dari menzalimi di sini adalah akibat penaikan harga yang tidak bisa ditolak oleh masyarakat. Umumnya, hal seperti ini terjadi dalam bentuk tariff, atau bea ekspor-impor barang, atau tariff jasa transportasi yang kadang pengelolaannya diserahkan kepada swasta.

- Langkah campur tangannya pemerintah adalah lewat intruksinya kepada pengusaha untuk segera mengedarkan barangnya di pasaran. Jika kepada pengusaha jasa transportasi atau ekspedisi, maka bisa ditetapkan dengan jalan menerbitkan instruksi. 

- Bila pengusaha abai tidak segera melaksanakan, maka pemerintah boleh menta’zirnya akibat perilaku buruk sistem bisnisnya. Ta’zir adalah mekanisme pemberian sanksi usaha. Untuk skala besar, biasanya dengan jalan pencabutan ijin usaha.

Melihat wilayah yang menjadi objek garapan campur tangan pemerintah di atas, maka objek monopoli yang masih dapat ditoleransi oleh pemerintah adalah pada sektor-sektor riel dan tidak mencakup hajat kebutuhan masyarakat secara luas, melainkan hanya scope kecil pengguna jasa. Langkah penanganan indikasi kezaliman ini biasanya dengan jalan mencabut peran entry barriers – yaitu: aturan yang menghambat produsen lain masuk ke dalam jalur kompetisi - sehingga memberikan kesempatan kepada pengusaha lain yang menjadi kompetitor jasa untuk ikut masuk mengisi ruang yang diambil oleh pengusaha monopolis lama. Akibatnya, timbul persaingan usaha yang sehat dan bisa menekan pengusaha lama guna menurunkan harga jasa yang disediakannya. 

Di Indonesia, praktik monopoli untuk hal yang dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak, seperti bumi, air, udara dan segala isinya, serta kekayaan alam Indonesia adalah dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana ini tertuang dalam konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Pasal 33. Secara tidak langsung, konstitusi negara kita ini sebenarnya telah memberikan legitimasi bagi regulasi praktik monopoli secara umum. 

Bentuk peran yang lain dari pemerintah dalam rekayasa pasar adalah menjaga jumlah stock barang yang beredar dan antisipasi terhadap kemungkinan gejala alam ekstrim yang di luar prediksi sebelumnya. Seperti misalnya peran Bulog (Badan Urusan Logistik). Umumnya orang memandang bahwa setiap monopoli dan penimbunan barang adalah buruk, padahal anggapan ini tidak selalu tepat. Kadang, penimbunan ini sangat penting bila dilakukan oleh negara. Pada masa khalifah Umar bin Khathab, peran penimbunan ini dimainkan oleh dewan hisbah, yaitu dewan pengawas pasar dan perilaku pasar. Di Indonesia, dewan hisbah ini mungkin menyerupai Bulog dan Kementerian Pangan saat ini. 

Bulog lewat instruksi Kementerian Koordinator Bidang Pangan, juga melakukan penimbunan. Namun, penimbunan yang dilakukan Bulog tidak dimaksudkan untuk melakukan ihtikâr yang dilarang, melainkan justru untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pangan di masyarakat sehingga harga barang tetap stabil. Ihtikar Bulog ini sering dikenal dengan istilah monopoly by law.

Demikian pula dengan negara apabila memonopoli sektor industri tertentu yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak, bukan dikategorikan sebagai ihtikâr negatif. Ihtikâr negatif terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi: 

1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barries sehingga produsen kompetitor tidak bisa masuk ke dalam jalur usaha tertentu. 

2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan barang di pasaran.

3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum poin 1 dan 2 di atas dilakukan. 

Dengan demikian menurut UUD 1945, sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api dan sektor-sektor lain yang karena sifatnya memberi pelayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan baik dari sisi Undang-Undang dan syariat kita. 

Sayangnya banyak pihak yang masih menyalahartikan maksud mulia dari kandungan UUD 1945, seperti misalnya asas kekeluargaan ditafsirkan sebagai keluarga pelaku usaha sendiri. Sehingga kita sering melihat pada suatu instansi atau perusahaan, hanya kerabat mereka saja yang turut serta dilibatkan. Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang. Monopoli yang berlaku adalah monopoly by law.

Selain monopoly by law, ada juga monopoly by nature, yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Contoh dari monopoly by nature ini adalah tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat di mana mereka tumbuh. Keunggulan yang dimilikinya dan sesuai dengan iklim setempat ini menjadikan produk usaha tertentu menjadi cocok menguasai pangsa pasar wilayahnya. Mungkin pembaca pernah mendengar orang bilang bahwa pecel Kediri sangat enak menurut masyarakat Banyuwangi sementara bakso Kediri disebutnya tidak enak oleh mereka? Sebaliknya, orang Kediri bilang, bahwa Bakso Banyuwangi sangat enak dibanding Pecel Banyuwangi. Cita rasa lidah baik masyarakat Kediri maupun masyarakat Banyuwangi ini menyebabkan tumbuhnya monopoly by nature

Terakhir adalah monopoly by licence. Kekayaan hak cipta dan paten menjadikan pemerintah menerapkan kebijakan UU hak cipta dan paten. Bagi pencipta dan pemilik hak paten memiliki hak monopoli atas kekayaan intelektual yang dimilikinya. Pemerintah hanya berperan melindungi dan menjamin haknya atas kekayaan intelektual yang dimiliki. Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar