Monopoli dan Rekayasa Pasar
Menurut Hukum Islam
Salah satu asumsi dasar tentang pasar
monopoli adalah bahwa pengusaha/pedagang monopolis mempunyai kemampuan untuk
menetapkan harga (price setter) karena ia merupakan penjual tunggal di
pasarnya. Sebenarnya anggapan ini tidak sepenuhnya benar, dan juga tidak
sepenuhnya keliru. Seorang pengusaha monopolis mau tidak mau ia harus
dihadapkan pada tabiat ekonomi pasar, yaitu “bila harga barang turun, maka
permintaan barang menjadi naik. Sebaliknya, bila harga barang naik, maka
permintaan barang menjadi turun.”
Seorang pialang keuangan yang terkenal di
tahun 1997, George Soros dalam suatu kesempatan menyebut mekanisme seperti ini
adalah mekanisme “keadilan pasar” dan akan selalu berlaku di pasar mana saja.
Inilah sebabnya, untuk praktik monopoli tidak bisa dihapus begitu saja di mana
pun praktik itu dilaksanakan ia akan selalu ada dan berlaku. Tidak hanya di
masyarakat primitif, akan tetapi juga di pasaran modern, prinsip monopoli ini
akan selalu ada.
Dengan demikian, maka tepat apa yang
dinyatakan oleh Imam Syafi’i, bahwa hukum monopoli adalah makruh untuk bahan
makanan pokok suatu negara. Hanya karena faktor merugikan dan mempersempit
ruang gerak masyarakat saja, yang menyebabkan monopoli ini dihukumi haram.
Dengan demikian, butuh kearifan seorang pengusaha monopolis untuk menyikapinya.
Sebenarnya, kearifan pengusaha ini tidak
hanya menguntungkan konsumen, melainkan juga pengusaha disebabkan ada posisi
setimbang antara lakunya produk di pasaran dengan harga. Posisi equilibrum/setimbang
ini yang senantiasa dipertahankan oleh pengusaha di mana saja ia berada.
Namun, karena objek monopoli itu beragam,
maka tidak semua mekanisme monopoli bisa dibiarkan begitu saja. Kadang
pemerintah (waliyyu al-amri) perlu campur tangan mengatasinya. Biasanya,
campur tangan pemerintah dilakukan lewat rekayasa pasar. Teks menyebut rekayasa
pasar ini sebagai prinsip tas’ir (penetapan harga). Kapan waliyyu al-amri harus
ikut serta campur tangan? Berikut penjelasan dari Syekh Ahmad Yusuf dalam Uqûdu
al-Mu’âwadlât al-Mâliyyatu fi Dhaui Ahkâmi Al-Syar’iyyah al-Islâmiyyah:
لما
كان الإحتكار ظلما لما فيه من الإضرار بجماعة المسلمين فإن على ولي الأمر الإسراع
برفعه عنهم وذلك بأمره المحتكر ببيع ما احتكره ماعدا ما يحتاج إليه التاجر لشخصه
وأهله فإن أصر على الإحتكار عزره زجرا له سوء صنعه
Artinya: “Ketika ada gejala kezaliman pada
praktik monopoli dengan dampak merugikan terhadap masyarakat kaum muslimin,
maka wajib atas waliyu al-amri bersegera mengatasinya, dengan jalan
memerintahkan kepada pengusaha monopolis menjual barang yang ditimbunnya di
luar hal yang dibutuhkan oleh pribadi pengusaha untuk diri dan keluarganya.
Jika pengusaha itu abai dengan tetap memonopoli, maka pemerintah bisa
menta’zirnya disebabkan buruk pekertinya.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât
al-Mâliyyatu fi Dhaui Ahkâmi Al-Syar’iyyah al-Islâmiyyah. Islamabad: Dâru
al-Shidqi, tt., 64).
Menurut Syekh Ahmad Yusuf di atas, campur
tangan pemerintah ikut terlibat adalah apabila:
- Mulai ada gejala kezaliman dari pengusaha
terhadap masyarakat. Maksud dari menzalimi di sini adalah akibat penaikan harga
yang tidak bisa ditolak oleh masyarakat. Umumnya, hal seperti ini terjadi dalam
bentuk tariff, atau bea ekspor-impor barang, atau tariff jasa transportasi yang
kadang pengelolaannya diserahkan kepada swasta.
- Langkah campur tangannya pemerintah adalah
lewat intruksinya kepada pengusaha untuk segera mengedarkan barangnya di
pasaran. Jika kepada pengusaha jasa transportasi atau ekspedisi, maka bisa
ditetapkan dengan jalan menerbitkan instruksi.
- Bila pengusaha abai tidak segera
melaksanakan, maka pemerintah boleh menta’zirnya akibat perilaku buruk sistem
bisnisnya. Ta’zir adalah mekanisme pemberian sanksi usaha. Untuk skala besar,
biasanya dengan jalan pencabutan ijin usaha.
Melihat wilayah yang menjadi objek garapan
campur tangan pemerintah di atas, maka objek monopoli yang masih dapat
ditoleransi oleh pemerintah adalah pada sektor-sektor riel dan tidak mencakup
hajat kebutuhan masyarakat secara luas, melainkan hanya scope kecil pengguna
jasa. Langkah penanganan indikasi kezaliman ini biasanya dengan jalan mencabut
peran entry barriers – yaitu: aturan yang menghambat produsen lain masuk
ke dalam jalur kompetisi - sehingga memberikan kesempatan kepada pengusaha lain
yang menjadi kompetitor jasa untuk ikut masuk mengisi ruang yang diambil oleh
pengusaha monopolis lama. Akibatnya, timbul persaingan usaha yang sehat dan
bisa menekan pengusaha lama guna menurunkan harga jasa yang
disediakannya.
Di Indonesia, praktik monopoli untuk hal yang
dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak, seperti bumi, air, udara dan segala
isinya, serta kekayaan alam Indonesia adalah dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana ini tertuang dalam
konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Pasal 33. Secara
tidak langsung, konstitusi negara kita ini sebenarnya telah memberikan
legitimasi bagi regulasi praktik monopoli secara umum.
Bentuk peran yang lain dari pemerintah dalam
rekayasa pasar adalah menjaga jumlah stock barang yang beredar dan antisipasi
terhadap kemungkinan gejala alam ekstrim yang di luar prediksi sebelumnya.
Seperti misalnya peran Bulog (Badan Urusan Logistik). Umumnya orang memandang
bahwa setiap monopoli dan penimbunan barang adalah buruk, padahal anggapan ini
tidak selalu tepat. Kadang, penimbunan ini sangat penting bila dilakukan oleh
negara. Pada masa khalifah Umar bin Khathab, peran penimbunan ini dimainkan
oleh dewan hisbah, yaitu dewan pengawas pasar dan perilaku pasar. Di Indonesia,
dewan hisbah ini mungkin menyerupai Bulog dan Kementerian Pangan saat
ini.
Bulog lewat instruksi Kementerian Koordinator
Bidang Pangan, juga melakukan penimbunan. Namun, penimbunan yang dilakukan
Bulog tidak dimaksudkan untuk melakukan ihtikâr yang dilarang, melainkan
justru untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan pangan di masyarakat
sehingga harga barang tetap stabil. Ihtikar Bulog ini sering dikenal
dengan istilah monopoly by law.
Demikian pula dengan negara apabila
memonopoli sektor industri tertentu yang penting dan mengusai hajat hidup orang
banyak, bukan dikategorikan sebagai ihtikâr negatif. Ihtikâr negatif
terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi:
1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik
dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barries sehingga
produsen kompetitor tidak bisa masuk ke dalam jalur usaha tertentu.
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi
dibandingkan harga sebelum munculnya kelangkaan barang di pasaran.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi
dibandingkan keuntungan sebelum poin 1 dan 2 di atas dilakukan.
Dengan demikian menurut UUD 1945, sektor yang
menguasai hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api
dan sektor-sektor lain yang karena sifatnya memberi pelayanan untuk masyarakat
dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan baik dari sisi Undang-Undang
dan syariat kita.
Sayangnya banyak pihak yang masih
menyalahartikan maksud mulia dari kandungan UUD 1945, seperti misalnya asas
kekeluargaan ditafsirkan sebagai keluarga pelaku usaha sendiri. Sehingga kita
sering melihat pada suatu instansi atau perusahaan, hanya kerabat mereka saja
yang turut serta dilibatkan. Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas
penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan
lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.
Monopoli yang berlaku adalah monopoly by law.
Selain monopoly by law, ada juga monopoly
by nature, yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena
didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Contoh dari monopoly by
nature ini adalah tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki
keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai
seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat
yang cocok dengan tempat di mana mereka tumbuh. Keunggulan yang dimilikinya dan
sesuai dengan iklim setempat ini menjadikan produk usaha tertentu menjadi cocok
menguasai pangsa pasar wilayahnya. Mungkin pembaca pernah mendengar orang
bilang bahwa pecel Kediri sangat enak menurut masyarakat Banyuwangi sementara
bakso Kediri disebutnya tidak enak oleh mereka? Sebaliknya, orang Kediri
bilang, bahwa Bakso Banyuwangi sangat enak dibanding Pecel Banyuwangi. Cita
rasa lidah baik masyarakat Kediri maupun masyarakat Banyuwangi ini menyebabkan
tumbuhnya monopoly by nature.
Terakhir adalah monopoly by licence.
Kekayaan hak cipta dan paten menjadikan pemerintah menerapkan kebijakan UU hak
cipta dan paten. Bagi pencipta dan pemilik hak paten memiliki hak monopoli atas
kekayaan intelektual yang dimilikinya. Pemerintah hanya berperan melindungi dan
menjamin haknya atas kekayaan intelektual yang dimiliki. Wallahu a’lam bish
shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar