Argumentasi
Penerimaan Konsep Negara Bangsa
Kesadaran berbangsa
muncul atas dasar kondisi senasib sepenaggungan yang menimpa bangsa Indonesia
karena kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan. Kesadaran kolektif sebagai
sebuah bangsa perlu dibangunkan dan digerakkan sehingga Indonesia mempunyai
kekuatan dalam upaya melepaskan diri dari kungkungan penjajah.
Kesadaran sebagai
satu bangsa ini yang menjadi alasan mendasar bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia
bukan hadiah dari penjajah, tetapi hasil dari perjuangan dan pengorbanan
seluruh elemen bangsa, tak terkecuali. Di antara kelompok yang kerap
bersinggungan dengan penjajah ialah kalangan pesantren, kiai dan santri.
Sebab itu, kalangan
ini hingga sekarang mengerti dan paham bagaimana menjaga Indonesia. Termasuk
dari rongrongan kelompok yang berusaha melakukan bughot (pemberontakan)
terhadap eksistensi negara. Sejarah mencatat, Nahdlatul Ulama merupakan
organisasi terdepan yang menolak pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta maupun PKI
karena menolak dasar negara yang telah menjadi konsensus bersama, yaitu
Pancasila.
Konsekuensi yang
diterima NU sudah tentu menjadi sasaran pemberontakan tersebut. Namun, komitmen
menjaga bangsa dan negara tidak akan surut karena perdamaian bisa dicapai
karena kesepakatan bersama apalagi Indonesia mencapai kemerdekaan atas dasar
perjuangan bersama seluruh rakyat.
Ideologi komunis yang
dibawa PKI yang berusaha mendirikan negara soviet maupun ideologi khilafah yang
dibawa DI/TII yang berupaya mendirikan negara Islam menjadi perhatian serius
dari NU. Bagi jami’yyah yang didirikan oleh para kiai ini, Pancasila sebagai
konsensus bersama terbukti menyatukan rakyat dan mewujudkan perdamaian.
Pergerakan nasional
telah sejak lama dilakukan oleh kalangan pesantren, termasuk menggembleng para
pemuda untuk mencintai bangsanya. Perjuangan ini lalu ditindaklanjuti oleh
perjuangan para pemuda dalam meneguhkan negara berdasar asas kebangsaan.
Peletakan negara bangsa (nation state) dilakukan oleh para pemuda pada Kongres
Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Dalam catatan Abdul
Mun’im DZ (Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011), gema Sumpah Pemuda Satu Nusa,
Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia menggelora di seluruh penjuru
Nusantara sehingga menjadi bahasan semua kalangan pergerakan termasuk dalam NU
dan dunia pesantren secara umum.
Namun, salah satu
butir yang menjadi perhatian adalah munculnya aspirasi negara bangsa (nation state)
sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tersebut. Konsep negara bangsa
tersebut sekaligus menjadi persoalan krusial bagi sebagian umat Islam yang
masih berpandangan untuk mendirikan negara Islam.
Karena persoalan ini
menjadi bahan perbincangan umat Islam, maka sebagai bentuk tanggung jawab
sosial, NU kemudian membawa persoalan tersebut ke dalam Muktamar ke-11 NU tahun
1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Setelah diadakan
penyelidikan, baik yang bersifat historis bahwa kawasan Tanah Jawi atau Bumi
Nusantara adalah sebuah negara yang diperintah oleh sejumlah kerajaan Islam. Di
dalam pemerintahan kerajaan Islam tersebut berkembang tradisi dan kebudayaan
Islam, baik dalam bentuk kesenian, sistem pengetahuan, sistem politik, dan
perekonomian. Para sultan atau raja memerintah atas dasar ajaran dan tradisi
Islam. Apalagi mereka mendapat bimbingan para wali dan ulama sehingga di dalam
pemerintahan berjalan norma-norma Islam.
Pemerintahan
raja-raja Islam kemudian direbut oleh penjajah Belanda yang kemudian berganti
menjadi pemerintah Hindia-Belanda di atas Bumi Nusantara. Namun, walaupun Bumi
Nusantara telah di-ghasab (dijarah) oleh Belanda tetapi bumi ini tetap
merupakan masyarakat Islam. Sebab, meskipun ratusan tahun dijajah Belanda,
budaya Nusantara tetap berhasil dipertahankan dan mayoritas penduduknya Islam.
Apalagi dengan sikap
kalangan ulama pesantren yang tetap melakukan perlawanan terhadap semua budaya
yang dibawa oleh penjajah Belanda. Maka tradisi masyarakat Islam di bumi
Nusantara tetap lestari, baik sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, hukum,
termasuk politik tetap dipertahankan.
Meskipun mayoritas
masyarakatnya Nusantara beragama Islam, begitu pun tradisi dan budaya yang
dikembangkan, bukan berarti di negeri Indonesia wajib didirikan negara Islam.
Konsep negara bangsa yang digelorakan para pemuda tidak membatasi agama Islam
di Indonesia. Dengan kata, nation state sudah sesuai dengan aspirasi Islam.
Singkatnya, dalam
Muktamar tersebut, NU mempertegas bahwa nation state tidak bertentangan dengan
prinsip dan ajaran Islam, juga sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena di
dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya
secara bebas. Dengan demikian, Islam tidak perlu membuat negara lain yang
berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan (negara bangsa) telah
memenuhi aspirasi Islam. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar