Ketika Wali Nikah Lebih
dari Satu, Siapa yang Paling Berhak?
Sepasang calon pengantin datang ke Kantor
Urusan Agama. Sebagaimana prosedur yang ada ketika seseorang hendak
melangsungkan perkawinan sebelumnya ia mesti melakukan proses pemeriksaan data
nikah yang mesti dihadiri oleh calon pengantin laki-laki, calon pengantin
perempuan, dan wali dari calon pengantin perempuan.
Namun saat itu yang menghadiri proses
pemeriksaan data hanyalah sepasang calon pengantin saja, tanpa kehadiran
seorang laki-laki yang kelak akan menjadi wali nikah bagi pengantin perempuan.
Saat ditanya oleh petugas KUA perihal keberadaan walinya sang calon pengantin
perempuan justru menyampaikan sebuah pertanyaan, “Bolehkah yang menjadi wali
orang yang saya pilih sendiri?”
Tentunya pertanyaan ini membuat petugas KUA
menaruh curiga dan berkeinginan untuk menyelidiki lebih jauh tentang wali sang
calon pengantin perempuan. Pada akhirnya didapat satu kesimpulan bahwa orang
yang bisa menjadi wali nikah dari calon pengantin perempuan ini adalah saudara
kandung laki-lakinya.
Permasalahan muncul ketika jumlah saudara
kandung laki-lakinya lebih dari satu dan si calon pengantin perempuan
menghendaki untuk menikah dengan wali adik laki-lakinya, bukan kakak
laki-lakinya. Ia beralasan bahwa selama ini yang banyak memberikan perhatian
dan mencukupi kebutuhan hidupnya adalah si adik kandung, bukan si kakak
kandung. Karenanya untuk menghormati dan menghargai sang adik maka ia meminta
agar wali nikahnya adalah si adik. Namun sayangnya ternyata si kakak
berkeinginan untuk menjadi wali nikah.
Kasus sebagaimana di atas tidak sedikit
terjadi di masyarakat. Berkumpulnya beberapa orang yang berhak menjadi wali
nikah sering kali menimbulkan masalah tersendiri dalam proses perkawinan
sepasang calon pengantin. Tak jarang di antara para wali itu terjadi
perselisihan karena sama-sama berkeinginan dan merasa lebih berhak untuk
menjadi wali nikah bagi pengantin perempuan. Tapi juga tidak sedikit mereka
yang merasa legawa berbesar hati untuk tidak menjadi wali dan menyerahkan
sepenuhnya hak perwalian kepada yang lain.
Lalu bagaimana fiqih Islam mengatur dan
memberi solusi atas permasalahan seperti ini? Ketika ada beberapa orang yang
berhak menjadi wali nikah, siapakah yang paling berhak menjadi wali di antara
mereka?
Permasalahan seperti ini biasanya muncul
ketika ada lebih dari satu orang yang memiliki hak untuk menjadi wali nikah dan
kesemuanya memiliki derajat yang sama. Misalnya seorang perempuan yang akan
menikah tidak memiliki ayah dan kakek namun ia memiliki tiga orang saudara
laki-laki kandung, baik kakak ataupun adik, yang kesemuanya memiliki
persyaratan untuk menjadi wali sebagaimana contoh kasus di atas. Atau pengantin
perempuan memiliki wali berupa paman (saudara laki-lakinya ayah) dan jumlahnya
lebih dari satu orang.
Dalam kasus yang demikian maka bila semua
orang yang ada memiliki kesamaan derajat namun berbeda kedekatan dengan
pengantin perempuan, misal sama-sama sebagai saudara namun salah satunya adalah
saudara seayah seibu dan satunya lagi saudara seayah saja, maka saudara yang
seayah seibu lebih didahulukan dari pada saudara seayah saja.
Namun apabila semua orang yang ada memiliki
derajat dan kedekatan yang sama terhadap pengantin perempuan, misal sama-sama
saudara seayah dan seibu semua, maka yang didahulukan untuk menjadi wali nikah
adalah orang yang tertua, teralim, dan ter-wara’ di antara mereka.
Meski demikian, tidak mengapa dan akad nikah
tetap sah apabila yang menjadi wali nikah adalah bukan saudara yang tertua,
teralim dan ter-wara’ karena ia hak untuk menjadi wali masih tetap melekat pada
dirinya.
Ini berdasarkan qaul jadid yang dikutip oleh
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmû’:
وان
استوى اثنان في الدرجه وأحدهما يدلى بالابوين والآخر بأحدهما كأخوين أحدهما من
الاب والام والآخر من الاب ففيه قولان. قال في القديم: هما سواء، لان الولاية
بقرابة الاب وهما في قرابة الاب سواء، وقال في الجديد: يقدم من يدلى بالابوين لانه
حق يستحق بالتعصيب فقدم من يدلى بالابوين على من يدلى بأحدهما كالميراث، فان
استويا في الدرجة، والادلاء فالمستحب ان يقدم اسنهما واعلمهما واورعهما، لان الاسن
اخبر، والاعلم اعرف بشروط العقد، والاورع احرص على طلب الحظ، فان زوج الآخر صح لان
ولايته ثابته
Artinya: “Apabila ada dua orang yang sama
derajatnya di mana salah satunya memiliki kedekatan dari sisi bapak dan ibu
sedangkan satunya lagi memiliki kedekatan dari salah satu sisi saja, seperti
dua orang saudara laki-laki yang salah satunya sebapak dan seibu sedangkan
lainnya saudara sebapak saja, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Di dalam
qaul qadim Imam Syafi’i berpendapat bahwa keduanya sama saja karena perwalian
disebabkan adanya kekerabatan dengan ayah, sedangkan keduanya sama-sama
memiliki kekerabatan dengan ayah. Sedangkan di dalam qaul jadid Imam Syafi’i
berpendapat bahwa orang yang memiliki kedekatan sebapak dan seibu lebih
didahulukan karena ia berhak atas bagian ashabah. Maka orang yang memiliki
kedekatan sebapak dan seibu lebih didahulukan dari pada orang yang memiliki
kedekatan sebapak saja, sebagaimana dalam warisan. Sedangkan apabila keduanya
memiliki kesamaan derajat dan kedekatan maka yang disukai adalah mendahulukan
orang yang lebih tua usianya, lebih alim, dan lebih wara’. Karena orang yang
lebih tua usianya lebih berwawasan, yang lebih alim lebih mengetahui
syarat-syaratnya akad, dan yang lebih wara’ lebih berhati-hati dalam mencari
keberuntungan. Namun bila yang mengawinkan adalah orang selainnya maka tetap
sah akadnya karena perwalian orang tersebut tetap ia miliki.” (Yahya bin
Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad,
tt.], Juz XVII, hal. 242)
Pada prakteknya bila terjadi kasus yang
demikian langkah musyawarah dengan sesama anggota keluarga sangat dianjurkan.
Dengan musyawarah ini diharapkan setiap orang yang memiliki hak untuk menjadi
wali semuanya akan ridlo dan rela siapapun yang kelak ditunjuk dan bertindak
sebagai wali dalam akad nikah. Dengan demikian kerukunan semua anggota keluarga
tetap terjaga dan ijab kabul dapat berjalan dengan baik penuh berkah untuk
mengantar terbentuknya keluarga dan rumah tangga kedua mempelai yang sakinah
mawadah wa rahmah. Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar