Pemimpin dan Kepemimpinan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pada suatu pagi dalam siaran sebuah stasiun pemancar radio, ada
dialog tentang pemimpin dan kepemimpinan. Sudah tentu setelah wawancara dengan
narasumber, dilakukan dialog interaktif dengan para pendengar radio itu. Nara
sumber dialog itu menyatakan, bahwa terdapat kaitan sangat erat antara seorang
pemimpin dan kepemimpinan yang ditunjukannya. Keadaan yang saat ini amburadul,
dikembalikannya kepada langkahnya pemimpin dan kepemimpinan dikalangan
bangsa ini pada waktu sekarang. Ketika sesi dialog interaktif, seorang
pendengar menyatakan, bahwa pernah terjadi kita memiliki pemimpin dan
kepemimpinan yang tinggi kualitasnya. Yaitu ketika pemerintahan Perdana Menteri
Syarifudin Harahap -mungkin yang ia maksudkan adalah Burhanudin Harahap-
yang pernah menjadi Perdana Menteri kita untuk waktu yang cukup pendek.
Menurut penulis sebenarnya kita cukup mempunyai beberapa orang
pemimpin pada awal-awal kemerdekaan bangsa. Untuk membatasi jumlah pemimpin
hanya pada diri seorang saja, seperti Burhanudin Harahap sangatlah riskan dan
menimbulkan beberapa pertanyaan. Apa ukuran yang dilakukan, dan adakah dasar
bagi penilaian seperti itu? Para pemimpin yang memperjuangkan dan kemudian
mempertahankan kemerdekaan kita, menunjukkan bahwa sebagai bangsa, kita dahulu
dipimpin oleh para pemimpin bangsa, yang sebenarnya telah menunjukkan kemahiran
dan kematangan sebagai pemimpin. Tidak peduli apa sifat-sifat pribadi yang
mereka miliki, secara keseluruhan mereka berhasil memimpin bangsa kita mencapai
kemerdekaan. Berbagai ragam corak kepemimpinan telah mereka perlihatkan,
walaupun secara keseluruhan dapat diperlihatkan adanya kepemimpinan bangsa yang
sangat kompak. Ketika Hatta dan Iwa Kusumasumantri memimpin perhimpunan
Indonesia di Belanda tahun 1940, terlihat bagaimana mereka memperlihatkan
kepemimpinan atas dasar keyakinan yang sangat kuat akan kemerdekaan bangsa.
Ketika HOS Cokroaminoto memimpin Syarikat Islam di Surabaya pada
tahun 20-an, lagi-lagi menunujukkan kepemimpinan dan lahirnya sang pemimpin
dengan gamblang. Ketika Soekarno mempertahankan diri dengan membacakan
pembelaan/pledoi di muka pengadilan di Bandung tahun 1931, jelas ia telah
memperlihatkan kepemimpinan yang mengagumkan. Bahwa ia kemudian dijatuhi
hukuman 4 tahun penjara, tetap tidak mengurangi arti kepemimpinan itu. Ketika
para pemimpin gerakan Islam mendirikan Majelis Islam A’la Muslimin Indonesia
(MIAI) pada tahun 1943, terlihat sekali lagi munculnya sejumlah pemimpin
bangsa. Dan semasa para pemuda kita, dibawah pimpinan B.M Diah dan Sukarni
berhasil “memaksa” Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan kita pada
tanggal 17 Agustus 1945, deretan para pemipin bangsa bertambah panjang. Sudah
tentu, bukan hanya mereka yang menjadi pemimpin bangsa tetapi termasuk juga
orang-orang seperti Tan Malaka, Agus Salim dan Moch. Yamin. Hal itu membuktikan
bahwa kita pernah memiliki sejumlah pemimpin bangsa dengan kepemimpinan mereka
yang sangat beragam coraknya.
Kita tidak akan mengupas hal itu dalam tulisan ini, melainkan
hanya menyebutkan bahwa kita pernah mempunyai para pemimpin seperti mereka.
Kecenderungan untuk mempersempit pada pembatasan pemimpin pada satu-dua orang
saja, sebenarnya telah mengingkari kenyataan sejarah yang penting, yaitu
kecukupan jumlah pemimpin yang kita miliki dimasa lampau. Bahwa mereka tidak
pernah mempunyai pandangan yang sama mengenai pengaturan kehidupan bangsa ini,
tidak berarti mereka tidak menyukai kemerdekaan bangsa. Hal itu mereka
perjuangkan habis-habisan sehingga pantaslah mereka menjadi para pemimpin bangsa
kita pada waktu itu.
Perbedaan terbesar antara mereka pada saat itu adalah tentang masa
depan bangsa ini. Ada yang berideologi agama dan menginginkan sebuah negara
agama. Ada juga yang menentang hal itu, dan menganggap bahwa bangsa kita harus
memisahkan antara negara dan agama. Hal itu mengakibatkan kemacetan dalam
sidang-sidang Dewan Konstituante dalam memutuskan undang-undang dasar kita. Di
satu pihak mereka yang menentang negara agama mengumpulkan suara 52%, sehingga
penetapan Pancasila sebaga dasar negara kita tidak dapat dilakukan, karena
dibutuhkan suara sebesar 67% untuk itu. Apalagi dengan mereka yang menghendaki
negara agama, karena mereka hanya berhasil mengumpulkan 48% suara. “Kemacetan”
konstitusional itu akhirnya melahirkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, untuk
kembali pada Pancasila sebagai dasar negara, yang “dijiwai oleh Piagam Jakarta”
dari dekrit ini lahirlah negara otoriter dengan apa yang dinamakan Demokrasi
Terpimpin yang dipimpin oleh Soekarno.
Nah, sistim pemerintahan otoriter itu kemudian mengakibatkan
terpenjaranya para pemimpin yang pandangannya berbeda dari Soekarno.
Penyimpangan ke arah Demokrasi Terpimpin itu, kemudian “dikoreksi” oleh
pemerintahan Orde Baru. Tetapi pemerintahan tetap dilakukan secara otoriter,
dengan menggunakan ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) sebagai tiang
penyangga pemerintahan. Mereka yang tidak bersepandapat dengan pemerintahan
Orde Baru dan ingin melaksanakan demokrasi, dianggap sebagai “kaum liberal.”
Dengan gigihnya pemerintahan Orde Baru menerapkan sistemnya sendiri, yaitu
mereka yang berkuasa menguasai segala-galanya. Mereka yang menentang ada yang
dipenjara dan ada yang “dipatahkan” inisiatifnya. Walhasil, walaupun Orba
adalah kritik yang diajukan terhadap Demokrasi Terpimpin, tapi dasar-dasar kekuasaan
tetap otoriter. Demikianlah kita diperintah selama hampir 4 dasawarsa oleh dua
‘orientasi’ pemerintahan.
Ketika “reformasi” lahir tahun 1998, orientasi baru yang tidak
otoriter belum sampai membentuk pemerintahan yang benar-benar demokratis. Yang
tercapai hanyalah pemerintahan quasi demokrasi (seolah-olah demokrasi), dengan
akibat “menghilangnya” para pejuang demokrasi, dan para pemimpin dengan
kepemimpinan mereka dari roda pemerintahan. Pemerintahan akhirnya jatuh
ketangan mereka yang berambisi politik. Sangat besar tetapi tidak memiliki
kepemimpinan dengan orientasi yang benar. Mereka hanya memikirkan kekuasaan
golongan sendiri, dan mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompok
sendiri, tentu saja dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Sikap itu
tetap bertahan sampai sekarang, dan terlihat mewarnai persiapan-persiapan untuk
pemilu yang akan datang. Dan akhirnya membuat masyarakat kita seolah-olah
terbelah dua. Pertama, mereka yang benar-benar ingin menginginkan demokrasi
dalam bentuk kedaulatan hukum penuh dan persamaan perlakuan kepada semua warga
negara di hadapan undang-undang. Kedua, mereka yang hanya ingin keuntungan
golongan sendiri.
Pemilu yang akan datang, dalam bentuk pemilu legislatif dan pemilu
kepresidenan, akan merupakan batu ujian. Benarkah kita mampu melahirkan
pemimpin dan kepemimpinan yang benar. Inilah sebenarnya yang menjadi taruhan
kita semua. Kalau kita memilih pemimpin dengan kepemimpinan yang benar, maka
untuk selanjutnya kita akan menjadi bangsa yang benar-benar demokratis. Kalau
benar demikian, maka kita akan menjadi bangsa yang besar, sesuai dengan jumlah
warga negara yang sudah mencapai lebih dari 205 juta jiwa. Kalau tidak, maka
untuk jangka waktu cukup lama, kita akan memiliki pemerintahan yang
mementingkan golongan sendiri. Inilah yang sebenarnya merisaukan cukup banyak
kalangan di negeri kita dewasa ini. Kekuatan yang mendorong demokratisasi
dengan kuat dan konsisten, tidak tampak dipermukaan. Karenanya, banyak kalangan
“meramalkan” hasil pemilu yang akan datang hanya memperkokoh corak pemerintahan
dengan kekuatan politik berimbang seperti yang terjadi saat ini.
Sebaliknya, penulis yakin bahwa “Silent Majority” (mayoritas yang
tidak bersuara) justru akan menjadi penentu dalam pemilihan umum legislatif dan
Presiden yang akan datang. Karena itu, ia memulai upaya “membersihkan”
partainya dari ketergantungan pada sikap mementingkan golongan sendiri.
Akibatnya, ia dimarahi kanan-kiri dalam parpolnya sendiri sebagaimana
dinyatakan dalam Rakernas (Rapat Kerja Nasional) parpolnya sendiri di Hotel
Millenium Jakarta baru-baru ini. Kebanyakan Dewan Pimpinan Wilayah dalam
parpolnya menganggap bahwa penulis tidak menyiapkan bahan-bahan persiapan yang
cukup bagi pemilu itu. Contoh issu yang mereka kemukakan berkisar pada kenapa
penulis tidak mempersiapkan tim sukses hingga saat ini. Padahal ada issue
yang lebih besar dari hal itu. Mereka seolah-olah menganggap demokratisasi
kehidupan bangsa ini bukanlah issue yang cukup besar bagi khalayak ramai, yang
akan memberikan suara dalam kedua macam pemilu itu. Memang mudah mengatakan
demokratisasi namun dalam kenyataan hal itu sulit dilaksanakan menurut pendapat
orang banyak, bukan? []
Jakarta, 11 Maret 2004
Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar