Ahli Ibadah yang Terancam Masuk Neraka
Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam
al-Bukhari mencatat hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang
menggambarkan ahli ibadah yang terancam masuk neraka. Silahkan simak haditsnya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا
رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةً تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ، وتفعلُ،
وتصدقُ، وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَا
خَيْرَ فِيهَا، هِيَ من أهل النار
قَالُوا: وَفُلَانَةٌ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ، وَتَصَّدَّقُ
بِأَثْوَارٍ، وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu,
ia berkata: Dikatakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat
malam, gemar puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah, tapi
sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.”
Mereka (para sahabat) berkata (lagi):
“Fulanah (lainnya hanya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan
beberapa potong keju, tapi tidak (pernah) menyakiti seorang pun.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia adalah penghuni surga.” (Imam al-Bukhari, al-Adab
al-Mufrad, Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1989, h. 54-55)
****
Kita semua tahu Allah itu al-Tawwab (Maha
Penerima Taubat). Kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya. Rahmat-Nya jauh lebih
luas dari azab-Nya. Selama seorang hamba memohon ampun kepadaNya, Allah akan
mengampuninya. Namun, manusia tidak seluas itu kasih sayangnya. Manusia tidak sedalam
itu pewajarannya. Bisa dibilang manusia adalah mahluk yang paling susah meminta
maaf dan memaafkan.
Karena itu, Rasulullah mengajari umatnya
untuk menahan diri. Jangan mudah mengumbar kata; jangan gampang menyebar
berita; jangan sering menghardik sesamanya. Karena Rasulullah tahu, ruang maaf
manusia terbatas, tidak seluas dan sedalam Tuhannya. Mendapatkan maaf manusia
jauh lebih berat dan susah. Belum lagi jika kita tidak merasa bersalah, tapi
orang lain memendam kesal kepada kita. Mengetahui diri kita salah saja, kita
masih enggan meminta maaf, apalagi tak merasa bersalah sama sekali.
Hadits di atas adalah contoh nyata. Seorang
wanita ahli ibadah, rajin shalat malam, gemar berpuasa, banyak bersedekah dan
beramal, tapi lidahnya selalu membawa rasa sakit bagi tetangganya. Rasulullah
mengatakan: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Artinya,
amal ibadah yang tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial yang baik,
ibadahnya kekurangan makna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
(HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim):
لَا
يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ النَّاسَ
“Allah tidak mengasihi orang yang tidak
mengasihi manusia (lainnya).” (Imam al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, 1989, h.48)
Dalam riwayat lain dikatakan, “man lâ yarham
lâ yurham—orang yang tidak mengasihi, maka tidak akan dikasihi.” Ini
menunjukkan bahwa kasih sayang sesama manusia tidak kalah pentingnya dengan
ibadah yang bersifat ritual, bahkan Allah, dalam hadits di atas, tidak akan
mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya. Artinya, Allah menghendaki
hamba-hambanya membangun dunia yang harmonis; menciptakan lingkungan yang sehat
dari kebencian; membiasakan kepedulian; membudayakan sayang-menyayangi;
mengembangkan “saling asa” dan “asuh”, serta hal-hal positif lainnya. Minimal
tidak berbuat kerusakan di muka bumi, termasuk menyakiti perasaan sesamanya.
Karena itu, ketika diceritakan kepada
Rasulullah tentang seorang wanita yang ibadahnya biasa-biasa saja, hanya
menjalankan shalat wajib dan bersedekah ala kadarnya, tapi tidak pernah
menyakiti perasaan orang lain, Rasulullah mengatakan: “Dia adalah penghuni
surga.” Jika dipahami secara mendalam, hadits ini sedang berbicara tentang
keadilan. Wanita itu memenuhi kewajibannya sebagai seorang hamba dengan melaksanakan
perintah-Nya (shalat wajib), juga memenuhi hak-hak orang dengan tidak pernah
menyakiti perasaan mereka.
Berbeda halnya dengan cerita pertama, ia
memang berhasil memperbanyak amalnya dengan shalat malam, puasa, sedekah dan
amal-amal baik lainnya, tapi gagal memenuhi hak-hak orang lain dengan selalu
menyakiti perasaan mereka.
Padahal, hak-hak orang lain tidak kalah
kedudukannya dengan ibadah ritual. Karena keduanya diperintahkan oleh Allah.
Perbedaan dasarnya terletak pada penyelesaiannya. Berdosa kepada Allah bisa
diselesaikan dengan sederhana, cukup memohon ampunan-Nya, dan Allah akan
mengampuninya, karena Dia adalah al-Tawwâb al-Rahîm (Maha Penerima Taubat lagi
Maha Pengasih).
Tapi dengan manusia, sangatlah rumit. Ada
beberapa kerumitan yang harus dimengerti terlebih dahulu. Pertama,
ketidak-sadaran manusia akan kesalahannya. Setiap manusia dengan bawaan lahir
dan budayanya, memiliki standar dan sudut pandang yang berbeda-beda tentang
sesuatu. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan nilai moral.
Moral yang sedang kita bicarakan di sini
adalah “cabang”, bukan “akar”. Karena secara umum, manusia memiliki “akar” atau
dasar nilai moral yang sama. Contohnya memukul orang tua adalah perbuatan
amoral, tapi cabangnya berbeda-beda karena terkait dengan budaya. Misalnya,
bagi masyarakat tertentu menyentuh kepala itu tidak sopan, tapi bagi masyarakat
lainnya biasa saja. Ini tentu menjadi masalah. Tapi perlu diingat, ini sekedar
contoh rumitnya standar benar-salah di antara manusia. Artinya, manusia sering
tidak merasa dirinya telah menyakiti perasaan orang lain. Padahal, ketersakitan
itu akan mendapatkan haknya di akhirat kelak. Berbeda ketika berhubungan dengan
Allah yang Maha Mengetahui. Karena Allah sudah mengampuni terlebih dahulu
kekeliruan, kelupaan dan keterpaksaan hamba-Nya yang tanpa disengaja.
Rasulullah bersabda (HR. Imam Ibnu Majah):
إِنَّ
اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا
عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari
umatku kekeliruan, kealpaan (lupa) dan apa-apa yang dipaksakan atas mereka.”
Kedua, keengganan atau gengsi meminta maaf.
Banyak orang yang mengetahui kesalahannya tapi tidak pernah meminta maaf karena
“gengsi”. Di permukaan, ia mencitrakan diri sebagai orang yang benar dan tidak
bersalah, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia bersalah. Inilah kerumitan lain
yang sukar diatasi oleh manusia. Karena orang di tipe ini tahu bahwa ia
berdosa, tapi kegengsian menghalanginya untuk meminta maaf.
Ketiga, menganggap sepele kesalahannya pada
orang lain. Kerumitan tipe ini tidak jauh berbeda dengan yang kedua.
Perbedaannya terletak pada asalnya. Jika tipe yang kedua berasal dari “gengsi”,
tipe ini berasal dari “anggapan tidak penting,” sehingga membiarkannya mengalir
seperti air tanpa merasa perlu untuk mengucapkan kata “maaf”. Anggapan seperti
ini bisa jadi karena pengetahuan agama yang kurang sehingga tidak tahu
bahayanya membawa dosa “menyinggung orang lain” di akhirat.
Keempat, belum tentu mendapatkan maaf. Ini
kerumitan yang tidak bisa dipandang remeh. Tidak semua orang mudah memberi
maaf, tapi paling tidak, bagi orang yang telah menyadari kesalahannya dan
meminta maaf, ia mendapatkan pahala karena telah mengakui kesalahannya dan
berusaha untuk memperbaikinya. Syekh al-Zarqani (1645-1710 M) dalam Syarh
al-Muwatha’ mengutip ucapan Imam Ibnu Ruslan (w. 844 H):
لو
صالح أحدهما الآخر فلم يقبل غفر للمصالح
“Jika salah satunya berusaha berdamai dengan
lainnya tapi tidak diterima, maka orang yang berusaha berdamai itu diampuni.”
(Syekh Muhammad al-Zarqani, Syarh al-Zarqânî ‘Ala Muwaththa’ al-Imâm Mâlik,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyya, 2011, juz 4, h. 335)
Maka dari itu, kita harus mulai
mengingat-ingat kembali kesalahan kita, lalu meminta maaf pada orang yang
pernah kita sakiti satu persatu. Jika ada yang belum berkenan memaafkan, kita
jangan berhenti memintanya sembari berdoa kepada Allah agar hatinya
dilapangkan. Jadi, jangan sakiti sesamamu, mohon maaflah dan berilah maaf
kepada siapapun yang memintanya.
Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok Pesantren al-Islah,
Kaliketing, Doro, Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar