Ketika Ayah Tak Diketahui
Keberadaannya, Siapa yang Berhak Jadi Wali Nikah?
Dalam proses ijab kabul perkawinan ada banyak
permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu masalah yang sering terjadi
adalah masalah yang berkaitan dengan wali nikah, di antaranya adalah wali yang
tidak diketahui keberadaannya atau yang dalam istilah fiqih disebut dengan wali
mafqûd.
Sebagai contoh kasus, seorang perempuan
hendak melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki. Ketika ditanya siapa
yang akan menjadi walinya ia menyebutkan sang kakek (bapaknya ayah) yang akan
menjadi wali. Ketika ditanya lagi di mana ayahnya calon pengantin perempuan ini
mengaku bahwa ayahnya tidak diketahui keberadaannya sudah sejak lama.
Menurutnya sejak ia masih bayi sang ayah pergi meninggalkan dirinya dan ibunya
dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Pun kabar tentang masih hidup
atau tidaknya sang ayah tak ada yang mengetahui.
Dalam kasus seperti ini pihak KUA—setelah
sebelumnya melakukan banyak penelitian tentang sang ayah—akan menetapkan wali
hakim sebagai wali pengantin perempuan dalam proses ijab kabul perkawinannya.
Atas ketetapan ini tak jarang calon pengantin perempuan merasa keberatan dan
meminta agar wali perkawinannya adalah wali nasab, bukan wali hakim.
Keberatan dan pilihan ke wali nasab ini bukan
tanpa alasan. Sudah jamak di masyarakat sebuah persepsi bahwa bila seorang
perempuan menikah dengan menggunakan wali hakim maka mereka akan beranggapan
bahwa perempuan itu adalah anak yang lahir di luar nikah. Ini salah satu hal
yang sering menjadi alasan calon pengantin perempuan enggan menikah dengan wali
hakim sebagai walinya.
Lalu bagaimana sesungguhnya fiqih mengatur
tentang hal ini?
Imam Nawawi di dalam kitabnya Al-Majmû’
Syarhul Muhadzdzab mengutip pendapat Imam Syafi’i sebagai berikut:
إذا
كان للمرأة أب أو جد فغاب الاب وحضر الجد ودعت المرأة إلى تزويجها نظرت، فان كان
الاب مفقودا بأن انقطع خبره ولا يعلم أنه حى أو ميت فان الولاية لا تنتقل إلى
الجد، وانما يزوجها السلطان، لان ولاية الاب باقية عليها، بدليل أنه لو زوجها في
مكانه لصح، وانما تعذر بغيبته فناب الحاكم عنه
Artinya: “Apabila seorang perempuan memiliki
ayah dan kakek, lalu sang ayah pergi dan yang ada adalah kakeknya, kemudian
perempuan itu meminta sang kakek untuk mengawinkannya maka dilihat; apabila
sang ayah tidak diketahui keberadaannya (mafqûd) di mana kabar tentangnya
terputus dan juga tidak diketahui hidup dan matinya, maka perwalian tidak
pindah kepada sang kakek. Yang bisa mengawinkannya adalah penguasa, karena
perwalian sang ayah masih tetap atas diri perempuan itu. Dengan alasan bila
sang ayah mengawinkan perempuan itu di tempatnya maka sah akad nikahnya, hanya
saja ketidakadaannya menjadikan ia tak bisa mengawinkan maka hakim bertindak
menggantikannya.” (Yahya bin Syarah An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab,
[Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], Juz XXVII, hal. 259)
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas bisa
dipahami bahwa seorang wali yang tidak diketahui keberadaannya dan juga tidak
diketahui masih hidup atau tidak ia masih berhak menjadi wali nikah bagi
seorang perempuan di bawah perwaliannya yang hendak menikah. Ketidakberadaannya
pada saat ijab kabul tidak menjadikan hak perwaliannya berpindah ke orang lain
yang juga bisa menjadi wali pada urutan berikutnya. Karenanya ketika sang wali
tak dapat mengawinkan karena ketidakberadaannya itu maka perkawinan tetap dapat
berlangsung dengan penguasa sebagai walinya atau yang biasa disebut dengan wali
hakim.
Ini apabila sang wali tidak diketahui
keberadaannya. Bagaimana bila sang wali diketahui keberadaannya? Imam Nawawi
lebih lanjut menuturkan:
وان
غاب غيبة غير منقطعة بأن يعلم أنه حى نظرت فان كان على مسافة تقصر فيها الصلاة جاز
للسلطان تزويجها، لان في استئذانه مشقة فصار كالمفقود. وان كان على مسافة لا تقصر
فيها الصلاة، فاختلف أصحابنا فيه، فمنهم من قال يجوز للحاكم تزويجها، وهو المذهب،
لان في استئذانه الحاق مشقة، فهو كما لو كان على مسافة القصر
Artinya: “Apabila sang ayah pergi dan tidak
terputus kabar keberadaannya di mana diketahui ia masih hidup maka dilihat;
apabila ia berada pada jarak diperbolehkannya mengqashar shalat maka diperbolehkan
bagi penguasa untuk mengawinkan perempuan itu (tanpa perlu meminta izinnya).
Karena memberatkan untuk meminta izinnya maka sang ayah dianggap seperti
mafqûd. Namun bila sang wali berada pada jarak yang tidak memperbolehkan
mengqashar shalat maka para sahabat kami berbeda pendapat. Di antara mereka ada
yang berpendapat hakim boleh mengawinkannya, ini pendapat madzhab. Karena untuk
meminta izinnya akan menemui kesulitan. Hal ini berlaku sebagaimana bila sang
ayah berada pada jarak diperbolehkannya mengqashar shalat.” (Yahya bin Syarah
An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad, tt.], Juz
XXVII, hal. 259)
Pada praktiknya apabila sang wali tidak
diketahui keberadaannya (mafqûd) maka hal ini harus dibuktikan oleh calon
pengantin dengan membuat surat pernyataan yang diketahui oleh lurah atau kepala
desa setempat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor
19 Tahun 2018 Pasal 12 ayat (5).
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar