Ketika Mbah Muqoyyim
Dirikan Setu Patok
Sungai-sungai
mengalir ke hilir yang sempit. Saat air melimpah, muara tak lagi menampung
sehingga menimbulkan bah. Ia menggenangi sawah dan perkampungan yang
keberadaannya berdekatan. Hal ini terjadi berulang kali di sebuah daerah di
Cirebon sehingga menarik tokoh setempat, Ki Entol Rujitnala, membuat sayembara.
Siapapun yang berhasil mengatasi permasalahan tersebut, ia akan dinikahkan
dengan putrinya, Nyai Randu Lawang.
Mbah Muqoyim
terpanggil untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut. Tentu bukan semata
ingin mendapat putri Ki Entol, tetapi membantu mereka yang terus-terusan
mendapat musibah agar dapat kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa.
Meskipun demikian,
dengan ketawadhuannya, pendiri Pondok Buntet Pesantren itu mengajukan syarat
agar Ki Entol juga menemaninya dalam membuat solusi tersebut. Keduanya berjalan
mengitari suatu tempat. Di setiap ujungnya, dipasang sebuah patok. Setiap
pemasangan itu, mereka berdoa.
Air pun tak lagi
keluar menggenangi pemukiman lagi. Ia tertampung pada tanah yang sudah diberi
patok itu. Saat ini, tanah tersebut sudah dibangun sebuah situ yang dinamai
Setu Patok mengingat dibangun dengan mengandalkan patok.
Sebelumnya, Ki Entol
telah berkali-kali berusaha untuk mengatasi hal tersebut dengan membuat
bendungan. Namun usahanya belum berhasil sampai akhirnya diatasi bersama dengan
Mbah Muqoyim.
KH Ade Nasihul Umam
saat menceritakan legenda ini kepada penulis mengungkapkan tiga pelajaran
penting dari dua tokoh tersebut. Pertama, dalam setiap gelaran sayembara menjadi
ajang untuk menghilangkan kesombongan. Sebab, pembuat sayembara mesti bukanlah
orang sembarangan yang memiliki kekuatan lebih.
Sayembara membuat
penyelenggaranya merasa bahwa dirinya tidak lebih kuat ketimbang siapapun yang
dapat mengatasi problematika yang tak dapat ia atasi sendiri.
Namun, bukan seorang
ulama jika ia tak tawadlu. Mbah Muqoyyim juga enggan menyombongkan diri dapat
menjawab tantangan itu sekaligus menunjukkan diri sebagai orang yang lebih
kuat. Tidak demikian. Untuk menghapus pikiran itu, ia enggan sendirian dalam
mengatasi permasalahan tersebut.
Justru, ia meminta
penyelenggara, Ki Entol, untuk membantunya. Hal ini agar Mbah Muqoyyim tidak
merasa bahwa ia sendiri yang membuat situ itu.
Di samping itu, hal
lain yang hampir tak pernah alpa dalam setiap sayembara adalah hadiah bagi yang
dapat melaksanakannya berupa pernikahan dengan putri penyelenggara. Mbah
Muqoyyim pun dinikahkan dengan Nyi Randulawang yang juga dikenal sebagai Nyi
Pinang.
"Ada dua tujuan
sayembara, littazwij dan menghilangkan kesombongan," kata Kiai Ade pada
Ahad (6/10) lalu. []
(Syakir NF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar